Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Terobosan Baru Ogoh-ogoh

Ogoh-ogoh berakar dari tradisi pengerupukan sebelum Nyepi. Bukan sekadar boneka raksasa, kreasinya makin beragam dan menarik.

14 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ogoh-ogoh berakar dari tradisi pengerupukan.

  • Menjadi parade budaya setelah era Orde Baru.

  • Kreasinya makin beragam dengan kelengkapan teknologi.

IA bertelanjang dada dengan kalung berbandul seperti bentuk cakar. Tangan kirinya memegang gunungan, sementara tangan kanannya yang bercincin memegang kaki di atas lutut. Sebilah keris tampak terselip di pinggangnya. Figur boneka raksasa setinggi empat meter itu dikelilingi oleh patung anak-anak kecil berkepala gundul yang segera mengingatkan pada sosok tuyul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitulah gambaran ogoh-ogoh karya sekaa teruna (perkumpulan remaja) dari Banjar Tegal Agung, Denpasar Barat. Karya berjudul Tumbal Rare itu menjadi pemenang pertama di Kota Denpasar dalam serangkaian lomba ogoh-ogoh yang digelar Pemerintah Provinsi Bali di sembilan kabupaten dan kota menjelang hari raya Nyepi lalu. Lewat karya tersebut, kreatornya, Anak Agung Bagus Suendra Diputra, 20 tahun, ingin menyampaikan fakta pembuangan bayi. Ia mencermati fakta mengenai banyaknya berita penemuan orok yang dibuang sembarangan karena orang tua yang tak mampu menghidupinya. Patung-patung kecil itu mencerminkan bayi-bayi terbuang tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagus Suendra lalu menghubungkannya dengan kisah kesaktian dalang di Bali yang memiliki ilmu wariga kala-kala hingga mampu menghidupkan arwah orang yang mati dan memeliharanya. Pemilik kesaktian itu kemudian menjadikan arwah anak-anak sebagai benteng untuk melindungi dirinya dari serangan gaib. “Saya ingin masalah pembuangan bayi lebih diperhatikan dan bisa dicegah,” kata Suendra, yang menyabet hadiah puluhan juta rupiah dari Gubernur Bali dan Pemerintah Kota Denpasar.

Suendra merancang ogoh-ogohnya pada Februari lalu. Ada enam anggota tim inti saat pembuatan kerangka awal dari kayu serta ulat-ulatan atau anyaman bambu yang menjadi bagian tubuhnya. Namun jumlah pemuda yang terlibat bertambah menjadi puluhan saat pelapisan badan dari kertas koran dan pembungkusan plastik yang dilumatkan dimulai. Selanjutnya dilakukan pembungkusan dengan plester dan kembali dilapisi dengan kertas koran serta tisu untuk membentuk tekstur tubuh. Bagian luar juga dilapisi dengan sejenis plastisin sebelum diwarnai dengan cat tembok. “Biasanya kami bekerja dari sore sampai tengah malam. Tergantung semangat teman-teman saja,” ucap Suendra, mahasiswa Institut Seni Indonesia Denpasar.

Bagus Suendra/Ade Gita Ahimsa

Bahan-bahan pembuat ogoh-ogoh diperoleh dari sumbangan warga. Toh, mereka tetap merogoh kocek hingga Rp 12 juta untuk bahan-bahan yang harus dibeli. Dananya diperoleh dari kas pemuda ditambah penjualan kupon bazar. Dari dokumentasi yang ada, tradisi pembuatan ogoh-ogoh di banjar ini hadir sejak 1971. Suendra mewarisi ilmu dari ayahnya, Anak Agung Ngurah Alit Suendra, 49 tahun, seorang undagi (arsitek) untuk pembuatan bade (patung) ukuran besar. Bade berguna untuk mengangkut mayat saat upacara palebon atau ngaben. Umumnya bade berbentuk seekor sapi.

Pembuatannya mengacu pada pakem awal bahwa kata “ogoh-ogoh” berarti boneka raksasa yang diam. Ia akan memiliki roh atau karisma saat diarak dan menjalani ogah-ogah alias digoyang-goyangkan sehingga tampak menakutkan. Belakangan, perkembangan ogoh-ogoh di Denpasar memang ditandai oleh penggunaan alat hidrolik sehingga bagian tubuhnya bisa bergerak sendiri. Namun para pemuda Banjar Tegal Agung tak melengkapi ogoh-ogoh mereka dengan peralatan hidrolik. “Palingsir (sesepuh) kami tak berkenan kalau kreasinya sampai ke sana,” ujarnya. Mereka merebut gelar juara kedua di tingkat Kecamatan Denpasar Barat, yang menjadi tiket untuk melaju ke level berikutnya di Festival Kesanga.

Ogoh-ogoh dipanggul oleh 30 orang menggunakan tegen (usungan) dari bambu. Dalam waktu tak lebih dari 10 menit, mereka kemudian diberi kesempatan menarikannya dengan iringan gamelan bleganjur yang gegap gempita oleh penabuh anak-anak. Sebagian dari anak-anak itu berperan sebagai bocah mirip tuyul yang mendampingi boneka sang dalang.

Berbeda dengan Bagus Suendra, Komang Gede Sentana Putra atau akrab dipanggil Kedux dari Banjar Tainsiat merancang ogoh-ogoh Garuda Suwarnakaya yang bisa bergerak. Dia mendokumentasikan proses pembuatannya di YouTube. Sebuah ogoh-ogoh berupa sosok garuda berbadan manusia. Kepalanya bermuka burung garuda, tangannya bercakar menekuk di depan dada. Satu kakinya bertumpu pada lutut dan kaki yang lain menekuk 45 derajat ke dalam. Di punggungnya terdapat sayap dan ekor.

Mulanya Kedux mensketsa calon ogoh-ogohnya. Dia lalu merancang penggerak hidrolik dari stik es krim dan mewujudkannya dalam rancangan anyaman bambu, yang membentuk seluruh bagian tubuh dengan kepala burung. Ada pula bagian dengan rangka dari besi. Setelahnya dilapisi kertas dan lem. Di bagian kepala yang membentuk paruh, dilapisi lagi dengan tanah liat dan dicat. Kedux menambahkan teknologi hidrolik di bagian punggung untuk menggerakkan tangan, ekor, dan sayap. Setelah selesai didandani, ogoh-ogoh diusung dan diarak. Di depan juri, patung ini terlihat bergerak. Tangannya menari dan melambai, sementara sayap dan ekornya mengembang dengan anggun.

Pemerintah daerah Bali setiap tahun menggelar sejumlah lomba ogoh-ogoh di tingkat kabupaten dengan kriteria penilaian yang ketat, sejak berproses di tingkat kecamatan. Seniman I Gede Anom Ranuara, juri lomba, menyebutkan penilaian meliputi tampilan boneka dan paradenya. “Kami juga melihat prosesnya karena, saat penilaian di kecamatan, peserta harus menampilkan dokumentasi kegiatan,” katanya.

Panitia juga mensyaratkan penggunaan bahan ramah lingkungan sehingga styrofoam, spons, dan plastik sekali pakai sangat dilarang. Selain itu, ada syarat dimensi ogoh-ogoh: tingginya harus 3-5 meter diukur dari atas alasnya. Unsur penilaian meliputi aspek estetika, yakni terkait dengan tema, bahan, konstruksi, anatomi/proporsi, ekspresi, dan kreativitas. Kemudian aspek etika seperti busana, gelungan, pepayasan (riasan), dan nilai religiusnya. Sementara dulu masyarakat melihat wujud ogoh-ogoh hanya berupa patung raksasa berwarna hitam-putih, kini kreasi estetikanya makin beragam.

Keberadaan ogoh-ogoh, menurut budayawan I Made Bandem, berakar dari tradisi pengerupukan atau tawur kesanga sehari sebelum Nyepi di berbagai desa di Bali. Boneka raksasa itu menjadi simbol bhuta kala yang harus ditempatkan di alamnya sendiri agar tak mengganggu brata (ibadah) penyepian, yakni amati geni (tak menghidupkan api), amati karya (tak bekerja), amati kalanguan (tak bersenang-senang), dan amati lelungan (tak bepergian).

Tangkapan layar Ogoh-ogoh Garuda Suwarnakaya dari instagram kedux garage/Dok Instagram.com/@keduxgarage

Dalam kosmologi Bali, alam semesta dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Bhur (alam bawah) yang dihuni bhuta kala, Bwah (alam tengah) yang dihuni manusia, dan Swah (alam atas), tempat para dewa. “Tugas manusia adalah menjaga keharmonisan ketiganya melalui berbagai upacara,” ucapnya. Ogoh-ogoh lalu diarak mengelilingi desa, digoyang dan diputar-putar di catus pata (perempatan desa) dan kemudian di-pralina atau dimusnahkan.

Dalam catatan Bandem, tradisi ogoh-ogoh yang bukan bagian dari ritual keagamaan baru marak di seluruh Bali pada 1983, setelah ada penetapan Nyepi sebagai hari raya nasional oleh Presiden Soeharto. Parade ogoh-ogoh pertama kali digelar di Denpasar pada 1986 dan dihadiri Menteri Pendidikan Fuad Hasan. Gubernur Bali Ida Bagus Mantra mengusulkan idenya untuk memperluas figur ogoh-ogoh. Bukan hanya figur bhuta kala, tapi juga dewa dan manusia agar menjadi teladan.

“Sejak awal kreativitas dalam pembuatan ogoh-ogoh memang sangat terbuka,” ujar Bandem. Saking bebasnya, kadang ada yang dianggap kurang pas. Misalnya ada yang mencantumkan kata-kata yang kurang pantas atau tema politik (ogoh-ogoh tokoh politik Anas Urbaningrum digantung di Monumen Nasional, Jakarta). “Yang seperti itu semestinya tak boleh terjadi,” tutur mantan Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut. Fungsi lomba yang diadakan pemerintah, kata dia, untuk menjaga agar pakem dasarnya tetap ada betapapun kreativitas dalam pembuatan ogoh-ogoh berkembang.

Inovasi dalam pembuatan ogoh-ogoh, menurut Bandem, tak perlu dipermasalahkan. Bahkan mahasiswa dari lembaga pendidikan yang didirikannya, Institut Teknologi dan Bisnis Stikom Bali, pada 2020 menginisiasi lomba ogoh-ogoh mini berbasis mesin dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence. “Kami padukan antara kekayaan budaya dan kehebatan teknologi,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus