KETIKA mulai membersihkan rumah yang baru saja dibelinya, Haji
Djarkasih terperanjat. Dari langit-langit rumah tua itu
tiba-tiba jatuh sebuah buntalan kain, nyaris menimpa kepala Pak
Haji. Setelah beberapa saat menenangkan diri, ia mencoba membuka
buntalan usang itu. Mata petani cengkih dari Desa Narimbang,
Sumedang (Ja-Bar) itu terbelalak. Isinya: 50 helai kain batik
antik 40 bahan kebaya, beberapa sarung, selendang, dan pakaian
laki-laki. Semua diperkirakan dibuat pada zaman Belanda dan
Jepang -- tapi tetap utuh dan tampak baru.
Belum cukup. Dalam buntalan yang sama ia temukan pula sebilah
keris dan sekantung uang logam perak. Menurut Haji Djarkasih,
semua bernilai lebih dari Rp 1 juta -- jumlah yang cukup besar,
karena rumah itu sendiri berharga Rp 1,7 juta. Tapi Djarkasih
merasa harta karun itu bukan miliknya. Meskipun orang Sunda
sudah sepakat uteuk tongoh, walang taga: jika terjadi jual beli
rumah, semua yang ada dalam rumah kosong itu jadi milik pembeli.
Dengan suka cita benda-benda itu pun diterima Hidayat, si
penjual rumah. Ia menduga, almarhum ayahnya yang meninggal 1950
sengaja menyembunyikan semua itu agar lepas dari rampasan
Belanda, Jepang, atau gerombolan DI. Tapi sebelum almarhum ingat
pada simpanannya, ia keburu meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini