IMPIAN seorang mistikus bisa menuntut biaya yang mahal. Para
pengikut Aurobindo, filosof kebatinan India, pada akhirnya
berusaha mewujudkan isi ajaran guru mereka dalam bentuk sangat
fisik: lambang-lambang kerohanian berupa bangunan-bangunan
dengan arsitektur yang khas, dalam satu permukiman yang untuk
ukuran orang biasa mengada-ada. Itulah sebuah "kota" di India
Selatan, yang direncanakan menjadi "pusat kebudayaan dunia,
tempat bertemu nilai kebudayaan dan peradaban yang berbeda-beda,
sebuah lingkungan yang serasi".
Marc Peyrou, fotografer dan pematung yang pernah bekerja di
Timur Tengah dan Asia, satu ketika meninjau tempat itu. Dan
pengalamannya kemudian dituliskan Mona Brand, pengarang dan
penyair Australia, di majalah Journey, lengkap dengan sekadar
gambaran akan ajaran yang berdiri di belakang proyek mewah itu.
Ajaran ini berpangkal pada Sri Aurobindo Ghose. Orang Benggali
lulusan Oxford ini pulang ke India pada usia 21, dan termasuk
barisan pertama yang berjuang melawan pemerintah Inggris di
negerinya. la pernah dipenjarakan beberapa kali. Bahkan akhirnya
dijatuhi hukuman mati, tetapi berhasil meloloskan diri dan pergi
ke Pondicherry. Wilayah ini waktu itu dikuasai Prancis, hingga
kemudian diserahkan kepada pemerintah India, 1954.
Di Pondicherry Aurobindo berkenalan, kemudian bekerja sama
dengan Paul Richard, wartawan Prancis. Mereka menerbitkan
majalah filsafat Arya. Pada 1920 penerbitan Aryatamat. Bersama
Myriam, istri Paul Richard, Aurobindo kemudian mendirikan sebuah
pusat kerohanian dan keagamaan yang diberi nama Sri Aurobindo
Ashram. Aurobindo bertindak sebagai guru, Myriam menjadi semacam
pemimpin organisasi. Nasib Paul Richard sendiri lantas tidak
begitu jelas.
Myriam kemudian lebih terkenal dengan panggilan 'Ibunda'. Dalam
bukunya, Entretien avec La Mere, janda (atau masih istri ?)
wartawan Prancis ini secara ulung melukiskan gagasan-gagasan
Aurobindo yang serba intuitif dan mistis.
Ajaran ashram mereka ialah 'Yoga Integral'. Ini merupakan
sintese semua yoga, dan kepercayaan bahwa setiap insan harus
memusatkan usaha untuk menemukan cara hidup yang "sesuai dengan
aspirasi individualnya".
Ketika tokoh itu meninggal pada usia 72 tahun, 1950, ashramnya
sudah berdiri mapan di Pondicherry. Dan di hari kematian
Aurobindo itu pulalah Ibunda dan para pengikut yang setia
bercita-cita mendirikan sebuah permukiman sebagai persembahan
kepada Sang Guru. Permukiman itu akan diberi nama Auroville.
Sampai sekarang, rancangan pertama Auroville masih bisa dilihat
di Paris. Permukiman itu direncanakan menjadi kota ultra modern,
kombinasi beton dan taman-taman hijau serta pepohonan menjulang.
Tidak sekadar proyek arsitektur baru seperti Chandigargh, kota
yang dibangun di kaki Himalaya pada 1953 dengan perencanaan
arsitek terkemuka Le Corbusier. Auroville dirancang lebih dari
itu. Kota ini dimaksudkan sebagai eksperimen baru dalam
kehidupan antarbangsa, "tempat umat semua agama menikmati
kesejahteraan yang lebih baik".
Menurut rencana aslinya, Auroville dibangun dalam bentuk spiral,
meliputi areal seluas 40 km2, dengan penduduk tidak lebih dari
50 ribu. Wilayahnya akan dibagi empat: permukiman, kawasan
industri, kawasan kebudayaan, dan kawasan antarbangsa. Disain
yang luar biasa akan membuat keempat kawasan itu "berdampingan
secara serasi".
Kawasan Kebudayaan akan menampung seniman dan cendekiawan dari
segala penjuru dunia, demikianlah dimaksudkan. Di kawasan
antarbangsa akan dibangun anjungan-anjungan yang sekaligus
menjadi "kedutaan besar" kebudayaan, kesenian, dan kerajinan
tangan setiap negeri. Waktu itu diperkirakan, 20 tahun sudah
cukup untuk melengkapi kota impian ini.
Syukurlah: di tahun-tahun pertama Auroville berhasil memancing
dana yang tidak sedikit dari negeri-negeri Eropa. Cuma,
pendorongnya ternyata tidak seluruhnya merupakan dukungan kepada
gagasan Aurobindo maupun Ibunda. Melainkan sebuah salah kaprah:
anak-anak muda Eropa mengirayang bakal didirikan adalah
'Euroville' -- Kota Eropa -- di India.
Pada 1968 seluruh perencanaan dianggap matang. Maka pembangunan
dimulai. Dua tahun kemudian secara resmi Auroville dibuka --
oleh Ibunda. Upacara itu dihadiri wakil-wakil UNESCO dan
beberapa organisasi kebudayaan.
Seminggu lamanya Marc Peyrou, wartawan kita ini, singgah di
Pondicherry, membaca pelbagai bahan mengenai Aurobindo dan
Ibunda, dan mencoba mempelajari Auroville. "Dalam gambaran kami,
permukiman itu sebuah kota futuristik dan sophisticated, dengan
penduduk yang sibuk terlibat dalam pengembangan kehidupan
individual dan kemanusiaan," tulis Mona. Entah jenis kesibukan
yang mana pula itu.
Berkendaraan sepanjang jalan-pesisir ke arah Madras, tak sebiji
pun tanda lalu lintas memberi petunjuk menuju Auroville. Marc
terpaksa kembali ke Pondicherry, dan beruntung ketemu beberapa
penduduk Auroville yang sedang berbelanja di situ. Mereka inilah
yang kemudian dijadikannya penunjuk.
Setelah beberapa kilometer melintasi jalan sempit dan sibuk,
yang dipagari pohon-pohon palma dan kebun sayur, kendaraan tiba
di Batu Enam. Di sini tampak awal sebuah jalan tak beraspal,
kering kerontang, berwarna merah bata, kontras sekali dengan
hijau pepadian dari tanah pertanian sekitarnya.
Berangsur-angsur mulai kelihatan bangunan bergaya Eropa. Terasa
agak aneh memang, pemandangan ini muncul di bagian pedusunan
India Selatan yang sebagian besar belum tercemar, dan miskin.
Akhirnya kendaraan berhenti di depan sebuah bangunan raksasa
yang setengah jadi. Inilah Matrimandir -- alias Kuil Ibunda.
Beberapa pekerja India tampak mengaduk semen dan pasir.
Menurut model yang bisa disaksikan di kantor Auroville, kuil ini
akan berbentuk bola keemasan, terletak di tengah 12 taman yang
dimaksud melambangkan kelopak teratai yang sedang mengorak. Di
dalam, sesuai dengan rancangan arsitek Prancis terkemuka, Roger
Ander, ada tangga menuju sebuah kamar, dengan kelandaian yang
berpuncak pada balai meditasi. Ruangan ini dikelilingi 12 sisi,
konon lambang persatuan kerohanian.
Sebuah bola menjulang ke atas, ditopang oleh tiang tunggal. Bola
ini akan memancarkan sinar ke dua ruang utama. Hingga 1978 kuil
ini masih belum lengkap seluruhnya, walau setiap hari terjadi
kemajuan setapak demi setapak.
Beberapa kilometer dari Kuil Ibunda terdapat sebuah bangunan
besar dan indah. Terbuat dari daun palma, dengan anyaman bambu
dan tiang terpancang pada alas beton. Bangunan ini tadinya
dijadikan dapur umum untuk penghuni Auroville dan para tamu.
Tetapi akhirnya, semangat menerima tamu surut perlahan-lahan.
Kini, para pengunjung pada kesan pertama bahkan merasakan
suasana tidak bersahabat. Tidak ada sambutan selamat datang yang
berbudaya itu. Orang asing dibiarkan menginap dan memasak di
kendaraannya sendiri, dan penghuni Auroville tidak akan ambil
peduli.
Ketika malam jatuh, langit tersapu warna jingga dan biru. Inilah
saatnya merenungkan, betapa berbeda Auroville dalam kenyataan
dan dalam bayangan -- yang kelihatan memukau si wartawan ini
sendiri.
Seminggu setelah berada di permukiman, baru seorang Jerman yang
mengaku warga Auroville berkunjung. Dia ternyata pembuat film,
dan ingin meminjam sebuah alat. Sebagai gantinya Marc Peyrou
meminta kesempatan menggunakan listri k yang terdapat di tempat
sineas itu. Dengan cara ini Marc mulai berhubungan dengan warga
Auroville lainnya.
Mereka itu antara lain terdiri dari orang-orang Prancis, Jerman,
Inggris, Amerika, dan Australia. Hingga kini beberapa orang
dari generasi pionir masih terdapat di situ. Tetapi, sebagian
penghuni sebenarnya datang karena memperoleh kesempatan yang
datang tiba-tiba.
Salah satu kesulitan utama para pendatang yang bukan anggota
Persemakmuran Inggris di Auroville, ialah meminta perpanjangan
visa setelah enam bulan. Prosedur ini memang dipersulit
pemerintah India untuk mencegah pertambahan penduduk. Tetapi,
tanpa problem ini pun daya tarik Auroville tampaknya memang
semakin surut. Turis-turis makin lebih tertarik ke tempat lain.
Menghadap laut terbuka, 130 kilometer di selatan Madras, Negara
Bagian Tamil Naidu, Auroville terdiri dari beberapa kawasan
permukiman yang saling terpisah beberapa kilometer,
diselang-selingi tanah kosong dan perkampungan India.
Masing-masing permukiman diberi nama khusus, misalnya Aspirasi,
Utilite, Fraterrlite, Beringin Dua, Sentral, Pantai Jauh,
Agarbatti.
Penghuni kulit putih yang pertama telah menggali sumur, sehingga
sumber air, beberapa meter di bawah permukaan tanah, dapat
dimanfaatkan sampai sekarang. Kelompok-kelompok penghuni dari
berbagai ukuran kemudian berkembang di sekitar sumur
masing-masing. Tiap kelompok berkisar di sekitar 50 orang.
Kegiatan di permukiman cukup banyak dan bervariasi. Tetapi
umumnya bisa dibagi dua: industri dan pertanian. Kawasan
industri ditandai oleh tumpukan beton, dan daerah pertanian
menampilkan dirinya dalam wujud tanaman pepadian yang dilindungi
pohon-pohonan, membentuk sabuk hijau di sekitar Auroville.
Kelompok yang paling padat terdapat di Aspirasi . Di sini
dijumpai perkantoran arsitek, percetakan, bengkel, kedai
komunal, dapur umum, kantor pos, perawatan anak, perpustakaan.
Di Agarbatti dan Fraternite terdapat pabrik kecil yang
mempekerjakan buruh India. Pabrik ini memproduksi berbagai
barang, antara lain hio, yang sekarang diekspor ke berbagai
penjuru dunia.
Suhu udara Tamil Naidu hanya kadang-kadang saja turun dari 20ø C.
Bila musim hujan datang di pertengahan Oktober, banyak terjadi
bencana alam. Tetapi penduduk sudah terlatih untuk berjuang
mengatasi problem tahunan.
Pada musim hujan pula, ular dan kalajengking lebih sering datang
menghampiri perumahan yang rapuh itu. Tidak banyak yang bisa
dikerjakan di luar rumah. Langit mendung sepanjang hari.
Kesulitan komunikasi di antara masing-masing kelompok ialah
langkanya jalan beraspal. Di musim kemarau, tanah yang
retak-retak sungguh tidak nyaman dijalani. Debu mengepul dikebut
angin kemarau. Pada musim hujan, lumpur membuat orang nyaris
putus asa.
Di Auroville hanya terdapat beberapa mobil. Orang lebih banyak
menunggang kereta angin atau sepeda motor. Pada musim kering,
Februari sampai September, suhu naik hingga 35ø C. Jika tidak
disirami air sehari dua kali, bunga dan pepohonan pasti mati.
Dari semua kelompok permukiman itu, Utilite mungkin yang paling
terbuka untuk pengunjung musiman ataupun pendatang baru yang
ingin menetap. Di tempat ini orang bisa tinggal seminggu,
sebulan, atau bahkan setahun dua. Uang yang harus dibelanjakan
untuk membeli makanan dan mendapat tempat tinggal yang
menyenangkan tidaklah terlalu banyak. Di kalangan penghuni
Auroville, Utilite sering dijuluki quest house.
Masyarakat Auroville adalah vegetarian. Suplai yang diberikan
kedai komunal, kendati tidak mewah, dapat dikatakan mencukupi --
terdiri dari beras, buah-buahan, sayur-mayur, dan beberapa jenis
makanan tradisional India.
Bergabung dengan masyarakat Auroville berarti bersedia tunduk
pada tata tertibnya. Bangun pukul setengah tujuh pagi. Kemudian
mengerjakan tugas yang sudah dijadwalkan semalam sebelumnya.
Misalnya menyiapkan sarapan pagi di dapur, atau menyirami
tanaman.
Tidak ada PAM. Semua air dipompa dari sumur. Tetapi, karena
sabun mandi yang digunakan di permukiman ini sabun murni, air
limbah kamar mandi bisa dipakai menyiram tanaman. Sarapan pagi
terdiri dari bubur, yoghurt, susu lembu, dan roti bikinan
sendiri.
Selesai makan pagi cukup banyak jadwal kerja yang menanti.
Misalnya memperbaiki drainase, mengangkut pupuk dengan kereta,
menanam pohon, berkebun, atau membantu di dapur umum. Setelah
makan siang, yang terdiri dari nasi, selada, sayuran, dan
buah-buahan, beberapa orang kelihatan berteduh di bawah sebatang
pohon bugenvil sembari menikmati secangkir teh yang dibubuhi air
jeruk. Penghuni yang lain mendapat giliran bertugas mencuci
piring dan membereskan meja makan.
Ada waktu untuk tidur siang, disusul dengan jalan-jalan ke
pantai, berkunjung ke kelompok lain, atau bepergian ke
Pondicherry untuk membeli gula-gula, es krim, atau teh. Semuanya
tersedia di kafetaria Ashram. Adapun di Airofood, toko
permukiman yang menyediakan berbagai bahan makanan, pembelanja
boleh mengambil barang dengan menunjukkan kupon yang dikeluarkan
masing-masing kelompok.
Tanaman disirami sekali lagi pada petang hari. Menjelang malam
suhu mulai turun, dan suasana sejuk membuat penghuni tampak
lebih hidup, ramah, dan suka mengobrol. Tapi kegiatan baru
segera menyusul: acara meditasi. Ini dilangsungkan di sebuah
tempat tertentu yang semerbak dengan bau dupa dan berbagai
bunga. Para penghuni duduk melingkar. Masing-masing memusatkan
perhatian dan pikirannya kepada Sri Aurobindo, dan khususnya
kepada Ibunda.
Pada akhir upacara, setangkai bunga dikelilingkan ke seantero
peserta, dan masing-masing berusaha menghirup baunya. Acara
dilanjutkan dengan diskusi tentang problem kelompok dan rencana
kerja hari berikutnya.
Kadang-kadang ada pembicaraan umum atau permainan serunai maupun
gitar. Namun setiap penghuni Auroville terbiasa beristirahat di
pangkal malam. Pada pukul sembilan biasanya semua orang sudah
pulang ke pondok masing-masing, lalu mematikan lampu minyak
tanahnya. Malam sangat senyap di sini. Tidak ada radio, pesawat
televisi, bahkan surat kabar. Hidup aman, tenteram, senang, dan
"lain", yang tentu saja bisa merupakan pilihan yang sangat
menarik khususnya bagi orang Barat.
Tetapi, "setelah setahun tinggal di situ, makin jelas buat saya
kesulitan yang bakal dihadapi permukiman ini," tulis Mona Brand
berdasar penuturan Marc Peyrou. Sesudah Ibunda wafat dalam usia
95 tahun, 1973, beberapa problem segera terasa. Terutama yang
muncul antara para pemimpin Ashram di Pondicherry dan penghuni
Auroville. Ketegangan juga terasa antara pemukim Barat dan
penduduk India setempat.
Kesulitan juga timbul di sekitar pembiayaan pembangunan
Matrimandir yang terus saja bertambah mahal. Auroville
menghidupi dirinya sebagian besar dari dana yang dikumpulkan di
luar negeri. Dengan kata lain, ini sebenarnya proyek konsumtif.
Pengeluaran ekstra ditutupi dengan penghasilan kedai di Aspirasi
dan Pondicherry. Keduanya menjual barang-barang produksi
Auroville, misalnya hio, seprei, pakaian anak-anak dan orang
dewasa, dan barang cetakan. Berbeda dengan kelompok kerohanian
tertentu, Auroville memang sama sekali tidak kaya, sebab tujuan
utama mereka memang bukan mencari duit. Bahkan para penghuni
bisa saja memperoleh tunjangan hidup dari yang di namakan
Organisasi Keuangan Auroville.
Namun, "yang pasti, Auroville yang saya saksikan berbeda sudah
dengan Auroville yang direncanakan," kata Marc Peyrou yang tetap
saja menggebu-gebu. Mungkin rencana itu sendiri terlalu
ambisius, dengan tujuan yang hanya mereka sendiri yang sangat
paham, dan membutuhkan banyak uang ketimbang yang secara nyata
bisa dikumpulkan. Pelbagai bahan yang diperlukan untuk membangun
permukiman itu ternyata sulit ditemukan di India.
Lihatlah. Proyek "rohaniah" itu memerlukan arsitek dan insinyur
profesional. Juga tenaga staf yang terdidik model Eropa. Sadar
akan berbagai problem ini, kini penduduk Auroville mulai
berpikir: agaknya sebuah kota luar biasa bukan idam-idaman Sang
Guru untuk "pengembangan kepribadian".
Apalagi dalam kenyataannya sekarang Auroville hanya tempat
bermukim beberapa ratus orang bule. Mereka hidup sehat wal afiat
dalam kelompok sekitar 20 orang, tersebar di sana-sini. Ada
beberapa pabrik dengan orang Eropa sebagai manajer dan orang
India sebagai pekerja kasar. Hidup untuk orang-orang Barat itu
menjadi sangat santai dan mudah. Dan orang India yang bekerja di
sana juga merasa lebih berbahagia -- ketimbang saudara sebangsa
yang tenggelam dalam lautan pengangguran.
Hanya itu. Di luar kelompok mereka, dunia yang kalut dan lapar
seolah tak ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini