Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Candu Tanah Keluarga Pung

Keluarga Hadi Poernomo mengumpulkan tanah di berbagai daerah. Ada yang nilainya diturunkan.

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAELANI sigap memburu tanah. Lima tahun lalu, makelar di Kabupaten Pringsewu, Lampung, itu membujuk kakaknya, yang memiliki tiga bidang tanah. Ia juga membujuk penduduk lain di Gading Rejo, desa di kabupaten baru itu. "Tanah mereka dihargai cukup tinggi dibanding harga pasar," katanya kepada Tempo, Mei lalu.

Sang makelar menerima order dari orang penting: istri pejabat dari pusat. Dialah Melita Setyawati, istri Hadi Poernomo, Direktur Jenderal Pajak ketika itu. Pada awalnya, Melita mencari tanah di desa itu untuk membangun pompa bensin. Berada di jalur lintas barat Sumatera, Gading Rejo cocok buat bisnis ini. Ia mencari tanah luas yang stra tegis, berada di pinggir jalan utama.

Adalah Santi Gina Haryanti, istri Rizal Admeidi, Kepala Kantor Wilayah Pajak Lampung dan Bengkulu, yang mengenalkan Melita dengan Zaelani. Istri bawahan Hadi Poernomo ini le bih dulu hilir-mudik ke desa itu dan mencari tempat strategis. Belakang an, niat membangun pompa bensin diurungkan. Menurut Zaelani, Santi meyakinkan Melita bahwa bisnis sarang burung walet lebih menjanjikan di lokasi itu.

Melalui Zaelani, Melita berhasil men dapatkan berbidang tanah. Total luasnya lebih dari satu hektare, dengan nilai sekitar Rp 1 miliar. "Bayarnya dicicil melalui Santi, karena saya tidak pernah berhubungan langsung dengan Melita dan Hadi Poernomo," katanya. "Saya mendapat komisi dua setengah persen dan diberi proyek membangun tiga gedung walet senilai hampir Rp 1 miliar."

Perinciannya, biaya pembangunan gedung tiga lantai Rp 625 ribu per meter persegi, dengan total luas bangunan 960 meter persegi. Zaelani juga membangun pagar setinggi tiga meter, dengan biaya Rp 250 ribu per meter. "Pembangunan gedung itu satu paket dengan pembebasan lahan berikut izin dari tetangga kanan dan kiri," tuturnya.

Alih-alih menyenangkan penduduk sekitar, transaksi miliaran rupiah ini membuat Kepala Desa Gading Rejo, Prastowo, kecewa. Ia merasa tidak dilibatkan dalam jual-beli. "Dari transaksi yang serba gelap, desa hanya kebagian Rp 250 ribu. Semua melalui jalur bypass," ujar Prastowo kesal.

Menurut catatan Desa Gading Rejo, Melita hanya mendaftarkan tiga bidang tanah sebagai obyek wajib pajak. Tagihannya hanya Rp 132 ribu per tahun. Aparat desa, melalui kepala lingkungan, biasanya mengantar surat tagihan pajak itu ke Widaryanto, peng urus rumah walet, sebelum diserahkan ke Santi, karib Melita.

Kegemaran mengumpulkan tanah juga dimilikiRatna Permata Sari, putri pertama Hadi Poernomo-Melita. Bersa ma sang ibu, Ratna berburu tanah di Desa Serang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, untuk mendapatkan tiga bidang tanah yang dianggap "baik". Bukan hal mudah buat membeli tanah di daerah itu. Ada ketentuan pembeli harus berdomisili di sekitar tanah. Namun "pembeli dari Jakarta" itu punya cara jitu: membuat surat domisili Serang.

Jamhuri, mantan Pejabat Sementara Kepala Desa Serang, mengaku menerbitkan surat domisili buat Melita dan Ratna. Ia beralasan, ketika datang ke kantor kepala desa, ibu dan anak itu membawa surat pengantar dari ketua rukun tetangga setempat. Di situ disebutkan keduanya tercatat sebagai warga Serang. "Saya tidak mendapat bayaran sepeser pun," kata Jamhuri.

Perburuan tanah pun dilakukan Hadi Poernomo sendiri. Bersama ibu mertua dan istrinya, ia mencari tanah di daerah Sawangan, Depok, Jawa Barat. Menurut Thayeb, 76 tahun, dulu makelar tanah daerah itu, Hadi membeli tanah bekas persawahan pada 1984. Awalnya dibuatkan sertifikat atas nama Soeprapti, ibu mertua Hadi. Belakangan, tanah dibaliknamakan menjadi atas nama Melita.

Thayeb masih ingat, suatu malam, ia diminta datang pada penyerahan uang. Transaksi dilakukan di sebuah kantor notaris di daerah Cilodong, Jakarta. Hadi menenteng duit dalam dus, didampingi istri dan ibu mertuanya. Tanah lalu ditanami berbagai tanaman hias, konon untuk diekspor ke Australia. Bisnis tanaman ini berakhir tiga-empat tahun lalu.

Pada 2006, Hadi memperluas tanah nya di wilayah ini. Ia membeli tanah hampir satu hektare di Desa Kedaung, yang dulu sempat dimiliki Abdul Gafur, Menteri Pemuda dan Olahraga Orde Baru. Transaksinya melalui jalur bawah tangan sesuatu yang membuat berang Hendrik Sugiyanto, anggota staf kelurahan desa itu. Menurut dia, transaksi itu dilakukan dengan menurunkan harga jual pada aktanya. "Di situ ditulis Rp 285 ribu per meter persegi, padahal nilai jual obyek pajak di sini sudah Rp 430 ribu pada 2006," ujarnya. "Mungkin buat menurunkan pajak penghasilan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan."

Nilai transaksi yang diturunkan je las merugikan pemasukan aparat desa. Apalagi, kata Hendrik, transaksi dilakukan langsung melalui notaris. "Ini tiba-tiba ada jual-beli di depan mata kita, di wilayah kita, dan kita ditinggalin," ujarnya. Toh, tanah Hadi tetap meluas.

Hadi menjadi "kolektor" tanah sejak usia muda. Ia mengatakan menggunakan uang dan hadiah pernikah annya buat berbisnis tanah. Ia ikut membebaskan tanah di daerah Segara Makmur, kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu berlanjut ke daerah Pondok Pinang di Jakarta. Tak butuh waktu lama, kantongnya menggendut dengan untung besar.

Pada awal kariernya di Direktorat Jenderal Pajak, ia berkongsi dengan teman-temannya membangun bisnis perhotelan. Mereka memiliki Hotel Untung Slamet Suwarni di Cisarua, Bogor. Pada masa itu pula ia ikut membebaskan lahan Agung Podomoro di Jakarta Utara. Di sini, dengan pintar ia menggandeng Camat Jakarta Utara ketika itu, Harun al-Rasyid pernah menja di Gubernur Nusa Tenggara Barat dan kini anggota Dewan Perwakilan Rak yat dari Gerindra. Menurut Harun, hampir saban hari Pung, begitu Hadi biasa disapa, menyambangi kantornya. Tujuannya mencari tahu lokasi tanah yang akan dibebaskan.

Hadi mengatakan juga menjalin hubungan akrab dengan camat, lurah, dan tokoh masyarakat informal. Mere ka menjadi "tengkulak" tanah buat Hadi. Mereka tersebar di pelbagai daerah dan tetap berkomunikasi dengan Hadi hingga kini.

Buat "mengamankan" aneka transaksinya, menurut sumber Tempo, Hadi tak jarang membuat akta bertanggal mundur. Bekas kolega Hadi di Direktorat Pajak itu menyebutkan Hadi sering memerintahkan anak buahnya mencari meterai kuno dan mesin ketik yang sesuai dengan periode tertentu.

Hadi Poernomo mengatakan tidak pernah membuat akta yang dibuat mundur. Ia pun menyatakan tak pernah mencari meterai dan kertas segel kuno. "Hobi saya mencari benda antik berupa keramik atau rumah kudus," katanya. "Mencari itu nyandu."

Kertas segel kuno dan meterainya banyak dijual di sekitar Gedung Fi lateli, Jakarta Pusat. Orang kerap mencarinya untuk membuat akta palsu jual-beli tanah. Bisa juga untuk memundurkan tahun kepemilikan tanah.

Manti adalah pedagang yang ber jualan di sisi dalam halaman parkir Gedung Filateli. Pada awal 2009, ia mengingat seorang pembeli datang ke tempatnya berjualan. Kepada sang pedagang, pria itu menanyakan surat segel tahun 1930 dan 1931. "Yang ada logo uang benggolnya," kata Manti, menirukan permintaan lelaki itu.

Barang itu ternyata tersedia di tempat Manti. Ia menjualnya Rp 150 ribu per lembar. Sang pembeli menawarnya seratus ribu. "Ya, jangan mahal-mahal dong, Pak," kata sang pembeli. Manti mengingat, pria itu ditemani dua pria lain yang "mirip-mirip pengawal". Barang lain yang dicari adalah meterai dengan tahun-tahun tertentu. Total belanjaan si perlente sekitar Rp 350 ribu.

Tempo menunjukkan lima foto besar Hadi Poernomo dalam berbagai pose kepada Manti. Ia segera menyahut yakin, "Ya, ini orangnya." Menurut Manti, sang pembeli "ramah dan suka bicara".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus