Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hamparan Harta Amtenar

Properti itu terbentang dari pelosok Sawangan, Bogor, hingga Los Angeles, Amerika Serikat. Banyak dibeli pada 1980-an, ketika pemiliknya menjadi auditor pajak.

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Covina, yang dihuni cukup banyak warga Asia, adalah tipikal kota satelit di wilayah Los Angeles timur. Lingkung an ini dibangun pada 1980-an, ketika bisnis properti mengalami lonjakan. Hadi Poernomo ikut membeli rumah di sana kala itu. Pilihannya jatuh pada paviliun di Cypress Place, kompleks perumahan tertutup di persimpangan Jalan Cypress dan Jalan Badillo. Ketika itu dia tengah menem pati pos auditor Direktorat Pemeriksaan, Direktorat Jenderal Pajak. ”Saya kenal baik dengan dia,” kata Challyandra Soedjana, staf senior Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Los Angeles (LA), kepada Tempo, dua pekan lalu.

Lingkungan Cypress Place cukup asri dan tertata rapi, berjarak sekitar satu setengah jam dari pusat kota Los Angeles. Huniannya berupa kondomi nium, terdiri dari dua bangunan. Luas setiap unit kondominium sekitar 160 meter persegi, dengan garasi indoor. Di kompleks ini ada kolam renang dan spa untuk umum.

Hadi mengaku membeli rumah itu pada 1983-1984 dengan uang hibah dari orang tuanya. ”Saya dulu sering ke sana (LA Red.) kalau cuti,” kata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini. Dalam laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Hadi melaporkan properti itu bernilai Rp 564 juta. Tapi menurut harga pasar di sekitarnya, properti di situ minimal berharga US$ 300 ribu atau hampir Rp 3 miliar.

Rumah di Covina sesungguhnya cu ma satu dari 27 properti milik Hadi. Se bagian besar atas nama Melita Se tyawati, istrinya. Total nilai properti itu, me nurut laporannya ke Komisi Pembe rantasan Korupsi, sekitar Rp 36 miliar.

Agaknya Hadi cukup gandrung pada Negara Bagian California. Selain di LA, Tempo mendapat informasi, dia memiliki rumah lain di Jalan Cordov, Alhambra, dan Lawrence Welk Drive, di Escondido. Terletak di utara San Diego, kota ini terbentang di sebuah lembah dan menjadi pilihan ”hideaway ” di akhir pekan bagi warga California yang bosan dengan keriuhan kota-kota besar LA atau San Francisco. Cocok dengan namanya, Escondido dalam bahasa Spanyol artinya tersembunyi.

Perumahan di Jalan Cordov agak jauh dari akses jalan utama alias highway ramp. Model rumahnya unit tunggal model 1980-an. Ketika Tempo me ngunjungi tempat itu pada akhir Mei lalu, mobil Volvo Wagon warna emas diparkir di samping rumah. Kendati bel rumah dipencet berkali-kali, tak ada sahutan dari dalam.

Alhambra juga banyak dihuni penduduk Asia. Tak sedikit papan reklame dan layanan umum menggunakan bahasa Mandarin, termasuk konsultan hukum dan konsultan pajak. Berjarak sekitar dua setengah jam dari pusat kota Los Angeles, lokasi ini awalnya peternakan yang diubah menjadi rumah-rumah peristirahatan, lengkap dengan lapangan golf.

Hadi menyatakan, properti di Alhambra dan Escondido itu sudah dijual. ”Itu dagangan,” katanya. ”Waktu itu harga rumah turun, lalu saya beli. Saya jual lagi dua tahun kemudian karena sudah untung.”

l l l

”Hobi” Hadi Poernomo mengumpulkan properti tergambar dari daftar kekayaannya. Di Kembangan, Jakarta Barat, ia memiliki tanah yang hampir dua hektare, yang dia kumpulkan sepetak demi sepetak. Tempo melihat setidaknya ada 29 tempat, yang pajak bumi bangunannya dibayar keluarga Hadi Poernomo.

Sekitar setengah kilometer dari Kantor Wali Kota Jakarta Barat di Jalan Kembangan Raya 46, Hadi memiliki tanah lagi seluas 2.900 meter persegi lebih. Lahan itu dipagari tembok, pagar besi bercat biru setinggi dua meter, gerbangnya digembok. Dulu tanah ini pernah menjadi toko kayu, alat berat, dan gudang minuman bersoda.

Lahan di RT 5 RW 2 ini berbatasan dengan perumahan mewah Permata Buana. Jaraknya tak sampai satu kilometer dari lokasi pembangunan megaproyek Grup Lippo, St. Morris, yang menaranya hampir setinggi Empire State Building, New York. Per Mei 2010, nilai tanah di situ sudah menyentuh angka Rp 3-4 juta per meter persegi. Artinya, lahan seukuran lebih dari seperempat hektare itu bisa mencapai Rp 8,7 miliar- 11,6 miliar.

Hadi mendapat lahan Kembangan Raya 46 dengan membelinya dari Haji Merah pada 1985 dengan harga Rp 40 ribu per meter persegi. ”Pembayarannya dua kali,” kata Merah, 75 tahun, ditemani anaknya, Abdul Rosid. Trans aksi dilakukan di Kantor Kelurahan Kembangan.

Beberapa tanah Hadi juga menyebar di sejumlah lokasi di Kembangan. Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Hadi hanya melaporkan empat kepemilikan sertifikat seluas 4.464 meter, semua atas nama istrinya, Melita Setya wati. Di lapangan, Tempo menemukan sejumlah aset yang tak dilaporkan kepada KPK.

Misalnya, lahan sekitar 1,5 hektare di Jalan Masjid At-Taqwa dalam kepemilikan 10 sertifikat berbeda. Satu sertifikat atas nama Hadi dan sembilan sertifikat atas nama istrinya. Lainnya, lahan di Jalan Haji Sanaan mendekati 2.000 meter dengan kepemilikan lima sertifikat atas nama Melita.

Lalu, lahan di Masjid At-Taqwa sekitar 500 meter dari SDN 1 Kembangan Utara dan bersebelahan dengan gudang makanan di Jalan Kembangan Utara. Lahan itu mirip oase di antara permukiman padat, saban sore warga sekitar berkumpul di sini. Pada sore hari, tanah dijadikan tempat belasan anak bermain sepak bola. Warga setempat yang berkumpul menyaksikan permainan sesekali bersorak.

Menurut penjaga tanah Hadi, Namin, bosnya membeli tanah di Masjid At-Taqwa secara bertahap. ”Beli nya dicicil, tak langsung satu hektare,” kata nya. Awalnya, tanah dibeli pada 1980-an dengan harga Rp 35 ribu per meter. Saat itu Namin membantu Hadi mencari tanah. Harga tanah di lokasi itu kini sekitar Rp 1,3 juta per meter persegi. Artinya, nilai tanah Hadi setidaknya Rp 19,5 miliar.

Namin mengenal Hadi sejak 1989 sebagai ”pegawai pajak yang sering bermain tanah”. Setiap kali mendapat informasi tentang tanah yang hendak dijual, ia menghubungi Hadi. ”Ada info, ya saya kasih tahu dia,” katanya.

Namin bertugas menjaga tanah Hadi Poernomo di wilayah Kembangan dan digaji saban bulan oleh si pemilik tanah.

Lahan dengan luas hampir 2.000 meter persegi di Jalan Haji Sanan ber ada persis di depan Kantor Kelurahan Kembangan Utara dan berbatasan de ngan Perumahan Permata Buana. Warga yang menjaga tanah menanami sayur-mayur. Warga setempat menga takan tanah itu dibeli Hadi pada 1980-an dari Engkong Saian Dimin, penduduk asli.

Mengapa beberapa bidang tanah ini tak dilaporkan ke KPK? Menurut Hadi, karena sudah diserahkan ke anak-anaknya. ”Sudah saya hibahkan ke anak saya pada 1999, biar anak saya tak berantem,” katanya.

Lain lagi aset Hadi di Kedaung, Sawangan. Menurut makelar tanah, Tayeb, 76 tahun, ibu mertua Hadi, Soeprapti Soedadi, membeli dengan harga Rp 14 ribu per meter dengan luas sekitar 1,1 hektare pada 1984. Empat tahun kemudian berpindah tangan ke Meli ta. Kini luas tanah bertambah menjadi 8.000 meter, namun, lagi-lagi, tak di laporkan ke KPK.

Selain mengumpulkan tanah, Melita dan putrinya, Ratna Permatasari, 36 tahun, mengembangkan usaha rumah kos di permukiman padat Cijingga, Desa Serang, Kecamatan Cikarang Selatan, Bekasi. Rumah kos dibangun di atas lahan dua kapling yang dibeli dari Abdul Salam dan Misbahul Munir dengan luas 214 meter persegi dan 106 meter persegi pada 2004.

Rumah kontrakan Melita terdiri dari tiga petak lahan dan bangunan yang dibelinya dari Sodikin dengan luas tanah 244 meter persegi pada 2003. Tahun berikutnya, Melita kembali membeli lahan dan bangunan milik Encin Pramana seluas 347 meter persegi serta milik Amih binti Katim seluas 750 meter persegi. Tarif sewa rumah kontrakan Melita dan Ratna Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu per bulan.

Menurut Jamhuri, bekas pejabat sementara Kepala Desa Serang, baik Melita maupun Ratna mendapat surat domisili meskipun bukan warga Serang. Surat keterangan domisili itulah yang kemudian digunakan Melita dan Ratna saat membeli tanah yang tidak dimasukkan ke laporan harta ke kayaan keluarga Hadi Poernomo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus