Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dunia Baru dari Hallyu

Kesuksesan industri hiburan Korea Selatan turut mengerek perekonomian negara tersebut. Undang-undang tentang wajib militer pun sampai diubah demi bintang pop. K-pop menjadi ladang devisa bagi Korea Selatan.

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Papan iklan Blackpink yang dipasang oleh penyedia layanan streaming musik Spotify di New York, Amerika Serikat, pada 2020. Twitter @BLACKPINK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hallyu atau Gelombang Korea kian merambah dunia di segala lini.

  • Dunia baru dari Hallyu yang makin merajalela.

BERADA di puncak tangga lagu Billboard Hot 100 menjadi kado ulang tahun istimewa bagi BTS. Bahkan boy band Korea yang berumur 8 tahun pada 13 Juni lalu ini bercokol di posisi atas dalam tiga pekan terakhir lewat lagu “Butter”. Ini membuat BTS sudah delapan kali bertengger di klasemen Billboard Hot 100. Sebelum ini, lagu “Dynamite”, “Savage Love”, dan “Life Goes On” mencetak prestasi yang sama. “Ini pertama kalinya BTS bisa menguasai klasemen tiga pekan berturut-turut,” tulis Billboard dalam keterangan resminya, Senin, 14 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Torehan BTS itu membuat media sosial dalam sepekan terakhir kembali ramai dengan topik berbau Korea. Bukan hanya BTS yang membikin geger. Rumor yang menyebutkan aktor Korea Selatan, Park Seo-joon, bakal terlibat dalam sekuel film superhero Captain Marvel 2 bertajuk The Marvels juga membuat kehebohan. Kabarnya, demi film Marvel Cinematic Universe itu, Seo-joon bakal bertandang ke Amerika Serikat pada paruh kedua tahun ini. Isu itu diperkuat sutradara The Marvels, Nia Dakota, yang beberapa waktu lalu mengunggah foto Seo-joon di akun Twitter miliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Industri kreatif Korean pop atau K-pop memang makin gencar merangsek ke berbagai lini. Pengamat pemasaran dari Inventure, Yuswohady, menyebutkan Korea Selatan sukses “menjajah” berbagai sektor di dunia berkat formulasi “Barat dan lokal” yang pas. Produk Barat yang diadopsi, yakni format boy band, dipadukan dengan unsur lokal, yaitu idola asli Korea, yang memberikan warna baru bagi penggemar di seluruh dunia.

Kegilaan ini berawal dari puluhan tahun lalu. Akarnya adalah visi go global pemerintah Korea Selatan yang digaungkan Presiden Kim Young-sam. Ketika itu, Presiden heran cuan film Hollywood, seperti Jurassic Park (1993), mengungguli nilai penjualan 1,5 juta mobil Hyundai produksi Korea. “Pemerintah Korea akhirnya mulai melirik budaya pop untuk bisa mendunia,” kata Yuswohady saat dihubungi pada Jumat, 18 Juni lalu.

Budaya pop disebut Yuswohady memang salah satu strategi jitu untuk memperkuat ekonomi Negeri Ginseng. “Ini cara paling halus karena yang disasar adalah mindset. Bagaimanapun, ekspansi bisnis melalui kultur tingkat suksesnya tinggi. Tentu itu ditopang momentum boy band dan keberuntungan,” ujarnya.

Pada 1994, dalam pembukaan 7th Conference for the Promotion of New Economy di Seoul, Presiden Young-sam mengutarakan iktikadnya untuk bersaing di bidang budaya dan ekonomi baru. Fulus yang fantastis lantas digelontorkan pemerintah demi persebaran gelombang budaya Korea atau Hallyu. Swasta juga mendapat dukungan berupa kebijakan yang pro-pengembangan industri budaya dan teknologi informasi.

Pada tahun 2000, anggaran untuk sektor budaya Korea Selatan sebesar 1 persen atau sekitar US$ 0,9 miliar. Empat tahun berselang, alokasi biaya untuk penyebaran Hallyu mencapai US$ 5,2 miliar, yang melonjak menjadi US$ 7,5 miliar tiga tahun berikutnya. Lembaga khusus yang mendukung penyebaran virus Hallyu pun dibentuk, di antaranya Korea Creative Content Agency, yang menjadi inkubator industri kreatif Korea.

Korea Selatan bisa dibilang terlambat bila mengingat Jepang dan Taiwan—selain Amerika Serikat tentunya—lebih dulu menyadari potensi ekonomi dari penggemar budaya pop. Walau langkah awal mereka telat, Korea Selatan pada akhirnya bisa mengatasi ketertinggalan. Mereka mengawinkan kepentingan bisnis dan nasional dengan mengusung merek nasional.

Dulu Korea Selatan identik sebagai produsen otomotif dan produk elektronik lewat merek KIA, Samsung, dan Hyundai. Namun, dalam perjalanannya, mereka membentuk identitas baru lewat pesona bintang pop yang mengepung komunitas penggemar di seluruh dunia. “Identitas baru ini memperkaya nation brand. Kalau nation brand sebuah negara sudah kuat, seperti yang terjadi di Korea, upaya membuat aspek lain untuk mendunia itu lebih mudah,” kata Yuswohady.

Demam K-pop tak bisa dipisahkan dari fanatisme para penggemarnya. Dalam dunia fandom (fan kingdom atau komunitas penggemar) dikenal istilah BIAS. Itu adalah singkatan dari being inspired and addicted to someone yang merujuk pada kondisi keranjingan terhadap satu sosok idola. Apa pun yang digunakan idola, penggemar akan berusaha menirunya. Atribut pun menjadi pengukuh fanatisme yang mendarah daging.

Kita tentu ingat, beberapa tahun lalu, sandal jepit Swallow pernah melejit di kalangan penggemar K-pop karena Sehun, salah satu penggawa boy band EXO, tertangkap kamera tengah memakainya. Juga ramainya berita tentang ramyeon—mi khas Korea yang sekarang ada di rak-rak minimarket kita. Selain itu, produk kosmetik dan mode Korea menjadi kiblat para penggemar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Tak mengherankan bila ekonomi Korea terus bertumbuh. Saat Hallyu mulai menyapu dunia, jumlah turis yang datang ke Korea Selatan bertambah pesat. Sementara pada 1998 hanya ada 300 ribu turis, pada 2014 jumlahnya mencapai 11,8 juta orang, 83,5 persen di antaranya orang Asia. Adapun Mei tahun ini, bahkan di tengah pandemi, angka ekspor Korea melonjak. Seperti ditulis KBS World, kantor bea dan cukai Korea pada 11 Mei lalu mencatat pengiriman barang ke luar negara mereka mencapai US$ 12,48 miliar, naik 81,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka itu disumbang produk otomotif, minyak, dan alat telekomunikasi nirkabel.

Pada periode yang sama, industri hiburan Korea Selatan tetap berjaya saat sektor ekonomi lain tersungkur karena pandemi. Pemerintah Korea Selatan pun menyadari hal ini. Pada 1 Desember 2020, parlemen Korea Selatan mengesahkan regulasi yang mengizinkan artis mereka menunda tugas wajib militer. Padahal, sebelumnya, hampir semua pria di negara itu mesti menjalani wajib militer selama 18 bulan saat berumur 28 tahun. Selain artis, atlet, dan musikus papan atas—tak disebut bintang pop—kini kategori yang dikecualikan bertambah dengan pencantuman “unggul dalam seni dan budaya populer”.

Aturan baru ini pasti membuat banyak pihak sumringah. Bagi penggemar Jin, salah satu anggota BTS, aturan baru itu adalah berkah karena akhir tahun lalu sang idola semestinya mulai menjalani wajib militer. Begitupun label rekaman raksasa penaung BTS, HYBE (dulu bernama Big Hit Entertainment), yang hingga dua tahun mendatang dipastikan “mengamankan” asetnya. Siap meledak lebih besar.

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus