Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Toeti Heraty, Sang Guru

Dari ruang kelas, Toeti Heraty mempopulerkan filsafat feminisme ke dunia publik. Guru yang gigih membesarkan ide murid-muridnya.

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Toeti Heraty membawa filsafat ke ruang yang lebih besar, ke dunia aktivisme.

  • Menurut Toeti, ilmu memiliki tanggung jawab untuk perubahan sosial.

"Apakah yang sempurna?" Itu pertanyaan ujian colloquium Toeti Heraty kepada saya ketika saya berusia 21 tahun dan baru saja menyelesaikan kuliah diploma III Sastra Prancis di Universitas Indonesia, Rawamangun, Jakarta. Saya harus mengambil ujian colloquium karena bukan lulusan program sarjana muda tapi ingin lanjut ke jalur sarjana filsafat. Sosok perempuan di depan saya kabarnya menabrak berbagai aturan agar saya bisa mengikuti ujian tersebut. Namun pertanyaan itu, di benak seorang gadis belia, adalah pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan. Bibir saya bergetar bukan hanya karena pertanyaan itu, tapi juga lantaran sosok di depan saya mengambil penuh seisi ruang kelas. Sosok yang begitu kuat dan perkasa. Selama 36 tahun kemudian, sosok Toeti Heraty terus mendominasi, dari ruang akademik ke kehidupan aktivisme, dan pribadi saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang harus ditulis oleh seorang murid yang begitu banyak berutang budi kepada gurunya? Toeti memberikan ilmu filsafat dan memperkenalkan feminisme kepada saya. Kemudian kami berdua menciptakan filsafat feminisme di Universitas Indonesia, yang merambah hingga luar ruang kelas. Biasanya, seorang guru memberikan contoh yang "baik", tidak boleh menabrak-nabrak aturan. Namun Toeti tidak pernah patuh terhadap aturan formal. Ketika saya lulus menjadi sarjana ilmu filsafat pada awal 1990-an, Toeti dengan tidak sabar mengajukan saya menjadi tenaga pengajar tanpa meminta persetujuan saya ataupun jurusan filsafat ketika itu. "Kamu harus jadi pengajar filsafat, sudah saya ajukan," begitu ultimatumnya. Bisa dibayangkan kerikil politik kampus yang dihadapi yang selalu bertumpu pada soal birokrasi perguruan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soal birokrasi inilah yang menjadi kendala baginya untuk meraih gelar profesor atau menduduki jabatan formal kampus. Toeti memerlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Indonesia, gelar yang akhirnya ia raih pada 1994. Dia juga membutuhkan lebih dari dua dasawarsa untuk dapat duduk sebagai Ketua Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, yang ia dirikan bersama Profesor Doktor Soerjanto Poespowardojo. Ketika Toeti diberi kesempatan menduduki jabatan kampus, Departemen Filsafat Universitas Indonesia pun berkembang dan berkibar, bahkan merasuk ke dunia publik.

Toeti membawa filsafat ke ruang yang lebih besar, ke dunia aktivisme. Ia hadir dan berperan di berbagai lembaga swadaya masyarakat, seperti Lembaga Bantuan Hukum dan organisasi hak asasi manusia lain. Ia juga aktif dalam komunitas budaya, sastra, dan seni. Toeti menjadikan filsafat sebagai jembatan dan ilmu yang inklusif. Catatan yang paling signifikan dalam karier akademisnya adalah membina dan membesarkan anak didiknya untuk berkiprah secara luas. "Memperjuangkan keadilan tidak bisa hanya di ruang kelas, kalian harus membawa ilmu kalian ke masyarakat," ujarnya dalam kuliah epistemologi yang ia ampu.

Toeti memang tidak biasa menyerah. Dia menganggap persoalan hanyalah sebuah tantangan dan setiap tantangan selalu ia hadapi dengan gairah. Misalnya perjalanan studi untuk meraih gelar sarjananya yang memakan waktu sebelas tahun, termasuk menikah, hamil, dan membesarkan anak-anak. Masalahnya bukan ketidakmampuan, tapi keberhasilan studi bagi Toeti tidak dinilai dari secarik kertas ijazah. Saya ingat bagaimana dia bercerita tentang ketidakpuasannya terhadap ilmu yang diajarkan di ruang kelas. Karena itu, mengembaralah ia dari studi kedokteran, psikologi, hingga filsafat, dan dari Jakarta, Bandung, sampai Belanda.

Toeti mencari ilmu yang dapat bercakap-cakap secara kritis dengan ilmu-ilmu lain, dapat didekonstruksi. Sebab, menurut dia, ilmu memiliki tanggung jawab untuk perubahan sosial. Pada akhirnya, tujuan besar inilah yang membentuk filsafat seorang Toeti Heraty. Filsafat dipercakapkan dengan seni, sastra, budaya, arsitektur, kedokteran, astronomi, lingkungan, ekonomi, politik, sosiologi, hukum, psikologi, antropologi, gender, dan seksualitas. Semuanya adalah tema disertasi yang begitu beragam yang dibimbing Toeti. Tidak ada ide mahasiswa yang ia tolak selama ide itu menggairahkan si mahasiswa. Toeti adalah guru sejati, fokusnya adalah membangunkan isi kepala murid dan bagaimana murid bisa mewujudkan imajinasi sendiri.

Tantangan lain yang dihadapi Toeti adalah bagaimana menaburkan benih filsafat feminis di kampus Universitas Indonesia dan memperjuangkan ide feminisme di Indonesia. Toeti memulainya dengan mengangkat tenaga pengajar filsafat feminis yang dapat membahas gender dan seksualitas di ruang kelas dengan harapan tenaga pengajar filsafat feminis akan bertumbuh. Tugas pertama saya dari Toeti adalah mengajar mata kuliah Paradigma Feminisme di Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1991.

Masalahnya, pada zaman Orde Baru, kampus dikontrol dengan ketat, termasuk kurikulum filsafat. Pengajaran mata kuliah yang menggunakan kata "feminisme" sudah barang tentu mata kuliah haram. Toeti, sekali lagi, tidak menyerah. Ia mengajukan nama Paradigma Studi Perempuan, tapi tetap ditolak dekanat. Akhirnya, setelah dinegosiasikan, mata kuliah tersebut dibolehkan dengan nama Paradigma Studi Wanita, yang ketika masuk masa reformasi diganti namanya menjadi Paradigma Studi Perempuan. Contoh ini menunjukkan perjuangan feminisme di kampus sangat sulit dan bisa dibayangkan perjuangan selanjutnya di luar ruang kelas.

Sepulang dari studi S-2 di Prancis—berkat dorongan Toeti Heraty—saya kembali diberi tugas berat, yaitu berbuat lebih banyak dan tidak sekadar mengajar. Saya mengajukan konsep Jurnal Perempuan pada 1996 sebagai jurnal ilmiah yang dapat dijadikan acuan akademikus dan menumbuhkan penulis serta peneliti di bidang gender. Saya menceritakan kesulitan mengajar mata kuliah feminisme tanpa dasar teori dan penelitian yang kuat berbahasa Indonesia. Ketika itu, semua bahan acuan mahasiswa di kelas saya berbahasa Inggris. Saya menggunakan tulisan Toeti tentang Simone de Beauvoir di kelas, tapi akses terhadap karya pemikir-filsuf feminis lain sangat terbatas. Perpustakaan Universitas Indonesia tidak mengoleksi karya pemikir-filsuf feminis pada waktu itu. Buku-buku bacaan yang bermutu saya dapatkan dari perpustakaan pribadi Toeti, yaitu ruangan sejuk di kawasan Menteng yang selalu ramai dikunjungi mahasiswa dan menjadi ruang aman untuk membaca buku yang dianggap kritis pada rezim otoriter.

Toeti menyetujui penerbitan Jurnal Perempuan. Tapi, persoalannya, Jurnal Perempuan tidak punya lembaga afiliasi dan mustahil mengajukannya ke kampus. Sempat terpikir ide menawarkannya ke lembaga-lembaga lain. Kendalanya, masyarakat belum fasih melafalkan bahasa feminisme sehingga tidak ada yang berminat. Akhirnya, kami mengakalinya dengan mendirikan Yayasan Jurnal Perempuan dan aktanya ditulis satu tahun sebelum Jurnal Perempuan terbit agar terlihat legal. Pembuatan akta begitu singkat dan nama-nama pendiri adalah mereka yang tersedia saat itu, seperti Asikin Arif, Ida Dhanny, Toeti Heraty, dan saya sendiri, yang semuanya memiliki hubungan dekat dengan filsafat Universitas Indonesia.

Jurnal Perempuan berkantor di rumah saya dan berjalan dengan tenaga volunter. Toeti sesekali datang berkunjung. Pada awal 1998, kami pindah ke Megaria, gedung yang dimiliki Toeti. Di kantor itu, perubahan-perubahan bergulir. Jurnal Perempuan mengorganisasi demonstrasi Suara Ibu Peduli bersama aktivis-aktivis feminis lain. Suara Ibu Peduli mengadakan demonstrasi untuk memprotes pemerintah Soeharto dengan kamuflase "susu" pada 23 Februari 1998. Toeti memainkan peran penting. Dari balik kaca jendela Hotel Indonesia, ia menyaksikan Karlina Supelli, Wilasih, dan saya diangkut dengan truk ke kantor Markas Besar Kepolisian RI. Selebihnya adalah sejarah.

Terakhir kali saya bertemu dan mengobrol lama berdua dengan Toeti Heraty adalah pada 2016. Saya hendak berpamitan untuk pindah permanen ke negara lain, tapi tidak sampai hati mengucapkannya. Toeti hanya berkata, "As feminists, we do not have to say anything, we just do!" Hidup Toeti Heraty, yang berpulang karena sakit pada Ahad, 13 Juni lalu, telah menyentuh banyak orang. Ia melakukan banyak hal yang kadang terlalu banyak. Kini pekerjaannya sudah selesai. Hidupnya sempurna.

GADIS ARIVIA, PENDIRI JURNAL PEREMPUAN; ADJUNCT PROFESSOR DI MONTGOMERY COLLEGE, MARYLAND, AMERIKA SERIKAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus