KELURAHAN Kayumanis di Jakarta Timur akhir-akhir ini banyak
dikunjungi orang. Mulai dari rombongan Menteri Kesehatan,
Menteri PPLH sampai DPRD Sumatera Selatan. Bahkan pekan lalu
perusahaan film milik negara, PFN, juga turun ke sana. Memang
ada yang menarik: sebuah contoh menggencet sampah gaya baru.
Bagian terpenting proyek mengatasi masalah sampah di Kayumanis
tersebut ialah sebuah mesin pemadat sampah. Digerakkan tenaga
listik berkekuatan 2500 wat, mesin yang bertugas mengepres
sampah menjadi balok-balok berukuran 75 x 40 x 60 cm untuk
setiap 0,7 m3, didatangkan dari Amerika dengan harga Rp 8,7
juta. Dengan demikian sampah yang dikumpulkan dari berbagai
timbunan akan menjadi ringkas, tidak berbau, dan . . . siap
ditimbun lagi di sebuah tempat di Cakung (Jakarta Timur).
Menurut Kepala Urusan Perencanaan Dinas Kebersihan DKI Jakarta,
Ir. Aminullah Ladjin, setelah proyek Kayumanis yang beroperasi
sejak Juni lalu, akan disusul proyek di Kelurahan Karanganyar,
Menteng Atas, Tebet Timur Dalam, Rawabunga dan Grogol. Proyek
yang sama rencananya juga akan ditempatkan di 100 kelurahan.
Dengan demikian, menurut Aminullah, Jakarta kelak akan terbebas
dari sampah.
Asal tahu saja, warga Jakarta sangat getol menyampah: setiap
hari sekitar 17.000 m3 sampah-diproduksi. Sedangkan yang bisa
diangkut armada truk sampah ke tempat-tempat penimbunan setiap
hari cuma sekitar 10.000 m3 saja. Selebihnya, apa boleh buat,
merupakan pemandangan tetap dan aroma tak sedap di berbagai
tempat umum.
Parkir
Balok-balok sampah yang ringkas memang memudahkan
pengangkutannya. Hanya, menurut Aminullah juga, proyek pemadatan
sampah menuntut fasilitas yang lumayan juga. Harus dipersiapkan
lapangan parkir truk atau gerobak dan kantor petugasnya (memakan
tanah sekitar 200 mÿFD). Ditambah untuk membeli mesin dan peralatan
lain, hitung-hitung biaya seluruhnya akan menjadi Rp 17,6 juta.
Namun menurut seorang petugas kebersihan Kayumanis, Gandi E.
Sugandi, sayang sekali mesin bikinan Amerika tersebut belum
bekerja otomatis. Beberapa petugas harus mengikat gumpalan
sampah yang dikumpulkan dari tongtong sampah penduduk pada
sebilah papan. Setelah itu baru dimasukkan ke mesin. Dari mulai
mengikat sampai menjadi balok, menurut Gandi, proses memakan
waktu kira-kira 15 menit.
Petugas yang lain, Toto, mengeluh dengan cara kerja mesin begitu
waktunya banyak terbuang untuk menunggui sampah dipadatkan.
Bergaji sekitar Rp 22.500 sebulan, Toto sebelumnya hanya
melempar sampah ke truk, yang bisa diselesaikannya setiap pukul
9 pagi. Sekarang, ia harus menunggu di depan mesin, sampai pukul
12. Katanya, hilanglah penghasilan lainnya, Rp 1.500, sebagai
penarik becak.
Tapi warga Kayumanis tentu gembira sekarang. Terbebas dari bau
tumpukan sampah yang biasanya tertimbun selama seminggu menunggu
pengangkutan. Lingkungan sekitar situ terasa apik. Terutama
sepanjang rel keretaapi yang sebelumnya sangat kotor. Tempat
lain boleh menyusul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini