API memercik-mercik di gerbong kedua KRL (Kereta Rel Listrik)
Jabotabek Gambar - Depok. Penumpang panik. Kebakaran itu terjadi
sekitar pukul 3 siang, saat kereta mendekati Setasiun Tebet,
Jakarta. Asap mengepul. Penumpang yang berjejal
tunggang-langgang mencari jalan ke luar. Tapi pintu gerbong
tetap saja tertutup. Akibatnya mereka meloncat dari jendela.
Beberapa terkilir. Banyak yang terjatuh terdorong penumpang
lain.
Dalam keadaan kacau bala.u seperti itu, juru-selamat
satu-satunya adalah masinis. Tapi petugas itu tidak segera dapat
berbuat sesuatu. Sebab, "dia terjepit di antara penumpang yang
panik," ungkap Iswar, pegawai BRI, yang pada saat kebakaran
Senin siang pekan lalu itu berada di ruang masinis bersama 20
penumpang gelap lainnya. "Tetapi masinisnya cekatan juga
mematikan mesin dan mengerem sekaligus di tengah kebalauan
penumpang," kata Iswar pula.
Kebakaran kecil--entah dari mana sumber apinya,--tanpa korban
tersebut menimbulkan pertanyaan: Ada yang tidak beres dengan
alat transportasi paling murah yang menghubungkan
JakartaBogor-Tangerang-Bekasi sejak tahun 1977 itu? Adalah
diperbanyaknya trayek dari 11 rangkaian kereta menjadi 48
rangkaian pulang pergi. "Penambahan dilakukan terus, tapi tetap
saja kurang," kata Ka. Humas PJKA Eksploatasi Barat, Drs. T. May
Rudy SH, dalam suatu' pembicaraan telepon dengan TEMPO. Inilah
masalahnya. Untuk lebih meningkatkan tidak mungkin, "karena
tidak ada KRL lagi," lanjutnya.
Tapi sebuah sumber di Ditjen Perhubungan Darat menyatakan, kalau
saja ditunjang sarana komunikasi modern, maka rel kereta
Jabotabek yang hanya sepasang itu sebenarnya bisa menampung 70
rangkaian pulang pergi. Dia tidak menjelaskan lebih terperinci
apa yang dimaksud sarana komunikasi modern itu. Namun May Rudy
mengungkapkan bahwa awal tahun depan akan dilakukan pemasangan
rel baru antara Setasiun Manggarai dan Depok. "Pekerjaan
tersebut akan selesai pada akhir 1985," lanjut Rudy, tanpa
bersedia menjelaskan berapa banyak KRL yang bisa ditambah dengan
adanya rel baru itu nanti. Pokoknya, katanya, "penelitian masih
berjalan terus."
Sementara itu sejak terjadi kebakaran kecil pekan silam, Suasana
di atas kereta Jabotabek tidak sedikit pun berubah. Seperti
biasa, penumpang berjejal tak karuan, bahkan sering bertindihan.
Keadaan paling rawan bisa dilihat sekitar jam-jam sibuk, masuk
dan bubar kantor, terutama pada rute Bogor-Jakarta Kota.
Di pagi hari mungkin penderitaan di atas kereta masih
tertahankan, tapi pada siang atau petang hari, suasana dalam
kereta tak ubahnya seperti di pasar. Tiap penumpang melewatkan
saat-saat tak sedap itu dengan cara dan gaya masing-masing. Ada
yang main gaple, membaca koran, berbincang-bincang, atau . . . .
pacaran. Nampak seorang ibu terkantuk-kantuk sambil memangku
bayinya. Sesekali terdengar suara pedagang menjajakan rokok atau
minuman dingin. Dalam keadaan bersempit-sempit itu, masih ada
pengemis yang lewat menadahkan tangan.
Keadaan kereta juga makin tak terawat. Pintu yang semestinya
dapat membuka menutup secara otomatis, sudah lama hanya
menganga. Kipas-kipas angin, tak hanya diam, juga rusak atau
copot bagian-bagiannya.
Kapan suasana "prihatin" semacam itu berakhir? Menteri
Perhubungan Rusmin Nuryadin dalam pidatonya saat pelantikan
Dirut PJKA yang baru ada mengatakan bahwa khusus untuk jalur
Jabotabek peranan kereta-api akan ditin katkan sampai 20%
(sekarang c.m 1,3%). Ini berarti tiap 5 menit sekali rangkaian
Jabotabek akan menerobos ja lur padat Jatinegara-Tanjungpriok,
Jati negara-Senen-Kota, Jatinegara-Tangerang dan Tanah
Abang-Jatinegara.
Terobosan kereta yang lain juga akan ditambah untuk melayani
Depok, Bogor, Karawang, Bekasi dan Purwakarta. Jelas ini bukan
hanya rencana besar tapi juga kerja besar. Diperkirakan menela
biaya Rp 500 milyar, jika dimulai tahu depan, proyek tersebut
baru akan selesa akhir tahun 1990.
Menjelang saat yang berbahagia itu penumpang Jabotabek agaknya
sudah harus puas dengan apa yang ada sekarang. "Sejelek-jeleknya
KRL, masih paling cepat dan ekonomis," kata Adi Ashari setengah
menghibur diri. Penumpang Jabotabek yang setia ini mengusul kan
agar rangkaian kereta diperbanya dan pengontrolan diperketat.
Yang di maksudnya tentu pengontrolan karcis kereta.
Karcis yang sudah terhitung murah itu, Rp 100, belum tentu
mengalir ke kas PJKA. "Banyak penumpang yang bayar di atas
kereta," kata Budi A. Nurcahya, pelajar SMEA I Jalan Batu,
Jakarta. Alasannya, kalau beli di loket pun hampir tidak
dikontrol kondektur. Sebaliknya kalau bayar atas cukup dengan Rp
50--yang tak salah lagi jatuh ke kocek kondektur.
Tapi masinis bukan tidak kebagian. Penumpang yang berjejal di
ruang masinis biasanya membayar Rp 50 kepada "seseorang".
Biasanya ruang masinis muat 20 orang. Untuk menyelamatkan PJKA
dari kebankrutan, "kami hanya mengharapkan kesadaran masyarakat
saja," kata Humas PJKA May Rudy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini