Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cara Saddam mencuri nuklir

Tim pbb menemukan proyek nuklir irak di babilonia. pabrik itu tergolong canggih dibanding industri nuklir eropa. padahal, irak menandatangani perjan- jian tentang pengembangan nuklir utk persenjatan.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua wartawan Inggris, Nicholas Rufford dan David Leppard, melakukan investigasi bagaimana Saddam Hussein, presiden Irak itu mencoba, mewujudkan ambisinya: memiliki bom nuklir. Dari perlengkapan, sampai kemudian menyembunyikan dari tim penyelidik nuklir PBB kini. Mungkinkah tim PBB membongkar semua proyek nuklir Irak? Tim ini sendiri menjawab: TIDAK. SEPULUH utusan PBB mengambil arah selatan Baghdad. Tujuannya kota tua Babilonia. Di sana, ada sebuah bangunan bercat putih yang tampak telantar ditengah panasnya gurun. Tak ada pengawal bersenjata, tak ada truk yang terparkir, dan tak ada tandatanda kehidupan yang lain. Ruangan di dalam gedung putih itu gelap, tapi hawanya sejuk. Ketika tim pengawas nuklir PBB menyalakan senternya, tampaklah pemandangan yang mengejutkan, bahkan bagi veteran nuklir yang berpengalaman di antara mereka. Dalam ruangan itu terhampar macam-macam peralatan untuk meramu sebuah bom atom. Jadi, dugaan selama ini benar. Saddam Hussein menyimpan proyek senjata nuklirnya, termasuk bom atom, sedangkan ia selalu menolak tuduhan bahwa Irak punya nuklir. Bahkan sebelum intelijen Barat memberikan informasi akan adanya nuklir itu, tokoh-tokoh militer Sekutu meyakinkan para ilmuwan Barat bahwa fasilitas nuklir Irak telah musnah diterjang bom dalam Perang Teluk Januari silam. Seandainya pun Irak masih punya peralatan dan bahan pembuat bom, sebagaimana negeri terbelakang Dunia Ketiga, tentulah Irak hanya mampu menyiapkan satu bom atom berkekuatan kecil. Apalagi menurut laporan para pengawas nuklir PBB, yang melakukan penyelidikan dua tahun sekali di Irak, negeri itu hanya memiliki satu program riset nuklir sipil kecil-kecilan dan tidak ditujukan sebagai persenjataan militer. Tapi, di sini, di Babilonia, dekat dengan reruntuhan peradaban yang telah lama mati, berdiri sebuah pabrik untuk membuat komponen mesin yang diperlukan untuk memurnikan uranium sampai siap menjadi bahan bom atom. Pabrik itu, dalam penilaian tim PBB tersebut, lebih canggih daripada pabrik pemasok industri nuklir Eropa di Belanda. "Peralatannya lebih canggih, besar, dan berkualitas ketimbang fasilitas yang sama di mana pun di Eropa Barat," ujar David Kay, 51 tahun, yang mengepalai tim PBB itu. "Kami terkejut oleh skala besar pabrik itu. Fasilitasnya sangat, sangat modern, dan tak seorang pun tahu bahwa itu ada." Bagaimana para pengawas internasional selama ini bisa terkecoh, luput memantau Saddam yang membangun teknologi militer yang paling maju di dunia? Padahal, Irak adalah satu dari sejumlah negara yang paling awal menandatangani perjanjian internasional untuk tidak mengembangkan nuklir untuk persen- jataan. Karena persetujuan itu, Irak -dan negara lain yang juga menandatanganinya (antara lain Aljazair, Iran, Korea Utara) -harus membuka pintu untuk diawasi secara teratur oleh para penilik internasional. Padahal, beberapa minggu sebelum penemuan Babilonia, David Kay dan timnya juga yang menyusuri daerah yang mereka perkirakan sebagai pangkalan nuklir Irak. Dan waktu itu, doktor berkebangsaan Amerika lulusan Universitas Columbia itu merasa lega. Ia dan para asistennya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa yang diduga sebagai reaktor nuklir Irak ternyata hanya tinggal sebuah laboratorium yang sudah hancur, dan reaktor bahan bakar buatan Prancis dan Soviet yang sudah ringsek. Kemudian tim PBB itu menyegel tempat-tempat tersebut. Untunglah, suatu kejadian lain pada akhirnya membawa Kay ke tempat yang dicarinya. Seorang berkebangsaan Irak dengan penampilan acak-acakan meninggalkan pegunungan Kurdistan untuk menuju ke sebuah pangkalan militer Amerika dekat Dahuk di perbatasan Turki. Ia memperkenalkan diri pada tentara Amerika yang merasa kaget dengan kedatangannya, sebagai seorang ilmuwan dari Komisi Energi Atom Irak. la minta suaka politik untuk dirinya dan keluarganya. Ketika si pembelot yang namanya tak bisa diumumkan untuk menjamin keselamatannya itu tiba di Amerika Serikat sebagai tamu khusus Departemen Pertahanan AS, ia mengungkapkan ceritanya untuk kesekian kali. Irak, katanya, memiliki segala yang diperlukan untuk membuat bom. Selama delapan tahun belakangan Irak tidak saja meluncurkan satu tapi empat program nuklir yang berbeda. Keempatnya dirancang memakai uranium sebagai bahan bakunya. Saddam telah meluaskan program itu sebelum menginvasi Kuwait. Sang diktator menginginkan sebuah bom nuklir siap pakai pada awal l991. Tapi para ilmuwan mengatakan, dibutuhkan waktu yang lebih lama. Akhir 1991, kata mereka, lebih realistis. Tidak hanya itu, Irak juga telah memproduksi pengayaan uranium dengan teknik seperti yang digunakan Amerika ketika membuat bom maut Hiroshima pada 1945. Seperti diketahui, bijih uranium perlu diolah lagi dengan teknik tertentu untuk membuat bahan itu menjadi bahan baku bom atom. Segera saja para ahli di Washington menyangsikan keterangan sang pembelot. Soalnya, cara mengayakan uranium pada zaman Perang Dunia II itu sangat primitif, membutuhkan waktu lama dan hasilnya cuma sedikit. Bijih uranium mesti disikat untuk memperoleh uranium yang diperkaya, yang bisa menjadi bahan baku bom atom. Cara pemrosesan yang kuno itu tak masuk di akal para ahli nuklir Amerika mutakhir itu. Di tempat perlindungan yang aman di Washington, si pembelot cuma angkat bahu. Terserah, katanya, bila tak percaya, silakan saja melihatnya sendiri. Lalu ia memberikan peta di mana letak proyek itu. Petunjuk yang diberikan oleh si pembelot itulah yang akhirnya membawa Kay dan kawan-kawannya menemukan "gedung putih" di tengah panasnya gurun itu. Memang, Kay dan timnya tak segera menemukannya. Ada jalan berliku yang mesti mereka lalui. Mula-mula, sepuluh anggota tim PBB itu, temmasuk Mike Baker -ahli nuklir dari Pusat Pengembangan Senjata Atom -berangkat ke Abu Gharyb, barak militer dekat Bandara Saddam Hussein, di sebelah barat Baghdad. Ketika mereka tiba, Minggu pagi, 23 Juni, pejabat militer Irak menghalang-halangi di pintu masuk. Petugas yang dikelilingi pengawal bersenjata itu minta surat tugas. Ketika itu Kay sempat melihat di dalam kamp tersebut, beberapa prajurit dengan tergesa-gesa menutupi sebuah alat berat dengan terpal. Sialnya, izin masuk tak segera diberikan waktu itu juga. Baru tiga hari kemudian, rombongan diizinkan masuk. Tapi barang yang dilihat Kay telah lenyap. Lima hari kemudian, tanpa pemberitahuan lebih dulu, tim pemeriksa tiba di pangkalan militer Al Fallujah, juga di barat Baghdad. Lagi-lagi mereka dipersulit. Hari itu, katanya, hari libur keagamaan. Tapi Mike Baker sempat naik ke menara air dan melihat ada iring-iringan lori bermuatan peralatan berat mirip yang di Abu Gharyb, keluar dari pintu belakang. Kay memerintah- kan dua anggota tim untuk mengejarnya. Tapi, begitu utusan PBB tersebut mendekati iring-iringan dan mulai memotret, tentara Irak melepaskan tembakan dari senapan AK 47-nya. Konfrontasi itu mendapat tanggapan cepat dari Dewan Keamanan PBB. Mereka memerintahkan Irak agar menyerahkan daftar lengkap proyek nuklirnya, selambat-lambatnya pada 25 Juli. Presiden Bush memberikan isyarat kuat bahwa ia akan menggunakan kekuatan militernya bila Irak menolak. Tareq Aziz, wakil perdana menteri Irak, menjanjikan kerja sama pada tim PBB. Tapi, di belakang layar, Saddam memerintahkan Pengawal Republik agar membongkar proyek nuklir yang masih tersisa, supaya semuanya tetap tersembunyi. Pasukan militer dikerahkan untuk menyimpan peralatan maut itu di daerah pelosok atau dikuburkan di padang pasir. Markas Komisi Energi Atom Irak di Tuwaitha dibongkar. Di lokasi yang lain, di Tarmiyah, utara Baghdad, anak buah Saddam menutupi lantai pabrik dengan beton, untuk menyembunyikan mesin berat di bawah tanah. Tapi tak semua jejak sempat ditutupi. Di Tarmiyah, tim PBB menemukan bukti kuat pertama: mesin pengubah uranium besar, elektromagnet raksasa, dan jalur transmisi listrik untuk menggerakkan roda pabrik. Pembelot itu tidak bohong. Seperti yang digambarkannya, perangkat itu persis seperti mesin-mesin di pabrik bom Hiroshima. Namun, pabrik yang di Tarmiyah ini sebagian besar telah musnah dimakan bom Perang Teluk. Sedangkan di Babilonia, gedung putih itu, yang dibuat dengan bantuan ahli luar negeri, masih terlihat utuh dan lebih canggih. Prestasi Saddam dalam urusan nuklir ini dimulai pada tahun 1970-an. Persisnya sekitar 1975, ketika Margaret Thatcher terpilih sebagai pemimpin Partai Konservatif dan Perang Vietnam secara resmi diakhiri. Sementara para pejabat di Barat pusing dengan harga minyak yang naik empat kali lipat, Irak mengancam untuk menyerang tetangganya, Iran. Waktu itu Saddam masih seorang wakil presiden yang belum terkenal. Orang nomor dua itu mendapat tugas penting dari presidennya, untuk membentuk embrio Komisi Energi Atom Irak. Saddam terbang ke Prancis, sekutu Barat Irak terdekat, membicarakan pembelian sebuah reaktor dengan Jacques Chirac, yang ketika itu perdana menteri. Harga minyak yang naik empat kali lipat, seperti sudah disebutkan, membuat Chirac ingin memanfaatkan kesempatan ini. Ia menyetujui permintaan Saddam. Apalagi Saddam meyakinkan, tenaga nuklir itu akan digunakan untuk kepentingan damai, penyuplai listrik dalam negeri Irak. Maka, dibangunlah sebuah reaktor Prancis, dengan desain Osiris, yang kemudian dinamakan Osiraq. Sebenarnya, saat itu pun sudah ada yang mencium gejala aneh: mengapa reaktor itu bertenaga 40 megawatt. Dengan tenaga sebesar itu, bukankah tak cuma listrik, tapi bisa menghasilkan plutonium bagi bom nuklir seperti yang dijatuhkan di Nagasaki? Mungkinkah itu? Bukankah Irak terikat perjanjian tak akan mengembangkan senjata nuklir? Juga Inggris, Prancis, Amerika, dan Cina yang telah memiliki bom-bom nuklir terikat perjanjian bahwa mereka diharamkan menyerahkan barang maut itu pada negara yang telah berjanji untuk tidak mengembangkannya? Penasihat pribadi Saddam dalam bidang nuklir adalah Dr. Hussein Shahristani, seorang Islam Syiah yang mempelajari selukbeluk nuklir di Imperial College di London dan di Universitas Toronto. Shahristani mulai khawatir ketika pada 1976 Saddam memesan alat pemroses plutonium dari Italia. Ia meyakinkan Saddam bahwa alat itu kurang bermanfaat untuk program nuklir damai. Saddam tak peduli. "Dia punya obsesi dengan barangbarang itu. Itu proyeknya, mainannya," kata Shahristani menceritakan masa lalu. Bila tim pengawas internasional datang memeriksa reaktor atom Irak, hanya anggota pilihan dari partai Baath, partai yang dipimpin Saddam, yang diperkenankan menemui tim tersebut. Pada saat seperti itu, Saddam akan main kucing-kucingan. Anak buahnya diperintahkan segera mengganti perabot pembuat bom dengan peralatan lain, sebelum tim itu datang. Yang lebih menakutkan, kolega dan teman-teman Shahristani, yang sama-sama penganut Syiah, satu per satu "dibersihkan" oleh Saddam. Alasan utamanya tentulah karena mereka Syiah, dan Saddam Suni. Di balik itu, tentunya Saddam berniat memusnahkan saksi-saksi bahwa Irak memiliki proyek senjata nuklir. Shahristani menyatakan kegelisahannya pada rekan-rekannya. Akibatnya, penasihat Saddam itu pun segera ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa. Waktu ia menolak menyebut nama rekanrekan yang dihubunginya, Shahristani diancam. Istrinya akan diperkosa di depan matanya dan anaknya akan dianiaya. Berkat bantuan seorang ahli nuklir sajalah Shahristani masih bertahan hidup. Sementara itu, ada pihak lain yang mengetahui jelas tujuan Saddam dengan reaktor Osiraqnya. Itulah Israel. Menghadapi ancaman itu, Juni 1981, Israel mengirimkan angkatan udara untuk menghancurkan pabrik nuklir Irak. Saddam tak mampu membalas saat itu. Ia hanya bisa menyimpan dendam. Maka, ketika Saddam dinobatkan sebagai orang nomor satu Irak, ia langsung meminta bantuan internasional untuk mempersatukan bangsa Arab. Maksudnya agar dapat mempersiapkan senjata yang seimbang untuk menghadapi bom Israel. Barzan Takriti, abang sekaligus orang kepercayaan Saddam, menemui Shahristani di penjara. "Kami minta pertolonganmu untuk membuat program persenjataan nuklir. Hanya dengan itu kita dapat mengubah peta politik Timur Tengah," ujar Barzan. Shahristani bergeming, dan karena itu ia harus menerima nasibnya dipindahkan ke penjara yang terpencil. Saddam memulai rencana besarnya dengan membuat bom uranium. Mata-mata AS atau Mossad dikecohnya dengan menyatukan proyeknya dalam gedung industri. la bermimpi punya persenjataan nuklir terbesar di dunia setelah Proyek Manhattan milik Amerika. Orang yang ditunjuk menggantikan Shahristani adalah Dr. Jafar Dia Jafar, yang juga pernah menyerap pengetahuan nuklir di London, selain di Universitas Birmingham. Istri Jafar adalah ilmuwan Inggris yang cerdas dan karismatis. Jafar pulang ke Irak memenuhi impian Saddam untuk mengubah bijih uranium yang murah, yang banyak persediaannya di Irak, menjadi bahan untuk bom nuklir. Program rahasia di bawah sandi Petrokimia 3 ini menelan ongkos US$ 10 milyar melibatkan ribuan pekerja di kawasan laboratorium, pabrik, dan konstruksi semacam tersebar di semua penjuru negeri. Untuk mengantisipasi kegagalan, Jafar memakai empat metode yang berbeda sekaligus, untuk memperoleh uranium yang diperkaya. Pertama, lewat proses pemisahan elektromagnetis. Metode yang sama dengan pembuatan bom Hiroshima ini lambat dan mahal. Kedua, dengan metode difusi gas. Ini juga lambat, tapi lebih murah dari proses pertama. Ketiga, pengayaan uranium lewat laser, teknik tinggi seperti yang dikembangkan oleh AS. Terakhir, pengayaan dengan mesin sentrifugal, metode modern yang baru diuji coba oleh Inggris dan AS. Dalam rangka proyek besar ini pula Saddam mengirimkan mahasiswa-mahasiswa yang pintar untuk belajar ilmu nuklir di Barat, kebanyakan di Inggris. Sambil kuliah, mereka membentuk jaringan untuk mendekati pakar nuklir secara rahasia. Dengan begitu, jika ilmuwan di Petrokimia 3 menghadapi kesulitan, persoalan itu bisa ditanyakan pada para pakar yang sudah dibina oleh jaringan mahasiswa Irak. Tanpa mereka sadari, para pakar itu secara tak langsung telah membantu proyek Saddam. Misalnya, suatu kali tim Petro menghadapi kesulitan memisahkan uranium. Seorang mahasiswa Saddam menghubungi Patrick Blackett, profesor fisika di Imperial College. Jawaban profesor itu kemudian dikirimkan ke Petrokimia 3. Desain bangunan dan detail perlengkapan pabrik itu menyontek persis dari buku ilmiah yang telah dipublikasikan. Hingga Petrokimia 3 menjadi replika yang sempurna dari laboratorium bom atom pertama AS di Oak Ridge, Tennessee. Itu sebabnya, ketika tim Kay memperlihatkan foto-foto Petro kepada ahli-ahli bom atom AS, mereka terperangah. "Astaga, saya kenal bangunan ini. Ini di Oak Ridge!" teriak mereka. Hebatnya lagi, untuk mengecoh Israel, Irak membangun duplikat beberapa instalasi di tempat yang berjauhan. Umpamanya gedung yang mirip dengan di Oak Ridge dibangun juga di dekat daerah Mosul, di bagian utara Irak. Kembaran pabrik sentrifugal, pelengkap fasilitas di Babilonia, dipasang di daerah Taji, di barat laut Baghdad. Saddam juga memperluas jaringan untuk memungkinkan memperoleh semua perangkat yang diminta Jafar. Sebuah perusahaan terkenal di Eropa memasok peralatan berat melalui perusahaan papan nama ke Irak. Bahan bangunan untuk pabrik di Tarmiyah didatangkan dari Brush, perusahaan Inggris yang tak tahu-menahu penggunaan sebenarnya bahan itu, karena dibeli melalui jaringan Saddam di Yugoslavia. Finlandia memasok gulungan kawat dari tembaga berkualitas tinggi. Yang lebih mencengangkan, Irak bisa membeli peralatan yang begitu dirahasiakan oleh pihak Barat, yakni mesin sentrifugal nuklir. Alat ini berguna untuk menyaring uranium yang efektif untuk bom. Tim yang dipimpin Kay terkejut mendapatkan tidak saja cetak biru sentrifugal tipe G1, tapi juga penggantinya, tipe G2, yang sampai kini digunakan di Urenco, pabrik nuklir gabungan Inggris, Jerman, dan Belanda. Sejauh ini, diduga bahwa kebocoran datang dari pihak Jerman. Sebab, pada awal 1987, ahli sentrifugal mereka, Dr. Bruno Stemmler, pernah ke Baghdad untuk memperagakan desain dan bentuk laboratorium Mann, perusahaan mesin tempatnya bekerja. Juga, pusat jaringan pabrik Mann itu, di Inggris, bocor. Saddam mengirim Dr. Safa Al-Habobby ke Inggris untuk menjalankan Matrix Churcill, perusahaan peralatan berat di Kota Conventry, Inggris. Orangnya Saddam itu berkompanyon dengan manajermanajer Inggris. Selama tiga tahun Habobby pulang pergi ke Conventry, untuk rapat dengan manajer-manajernya. Pernah suatu kali petugas bea cukai menemukan gambar mesin yang mencurigakan di tangan Habobby. Akhirya, gambar itu diloloskan karena Habobby berhasil meyakinkan sang petugas bahwa itu hanya gambar suku cadang mesin biasa. Bahkan spesialis dari Capenhurst, laboratorium sentrifugal Inggris yang dirahasiakan, ikut membantu Habobby meyakinkan sang petugas bea cukai. Ketika akhirnya Matrix Churcill yang dikelola oleh Habobby digerebek, pegawai bea cukai Inggris menyita gambar dan suku cadang sentrifugal yang persis seperti yang ditemukan oleh tim Kay di Irak. Dan diketahui bahwa Matrix bukan lagi perusahaan patungan, tapi sepenuhnya telah dibeli oleh pemerintah Irak. Dan petugas bea cukai pun jadi tahu bahwa Safa Al-Habobby sebenarnya pejabat senior dari Departemen Industri dan Industrialisasi Militer Irak. Satu perusahaan Swiss yang juga sering dikunjungi Habobby kini dalam penyelidikan polisi. Perusahaan itu dicurigai mengekspor barang yang diidentifikasi sebagai komponen sentrifugal setengah jadi. Juga perusahaan Schaublin yang menjual baja untuk proyek Irak. Sementara itu, di dalam negeri Irak, pengayaan uranium dan pembuatan bahan peledak terus dilakukan dengan diam-diam. Di bawah pimpinan Jafar, anggota tim nuklir Irak berbagi tugas. Tugas yang paling berbahaya dilakukan di daerah pelosok, di Al Qaaqaa, di tengah gurun pasir bagian barat Irak. Di dekat Al Qaaqaa inilah Farzad Bazoft, wartawan koran Inggris Observer, dihukum mati atas perintah Saddam, tahun lalu. Bazoft ketika itu didakwa sebagai mata-mata Israel. Dulu, hanya sedikit orang yang tahu pentingnya Al Qaaqaa atau mengapa Bazoft sampai dijatuhi hukuman begitu berat. Kini, alasan itu tak perlu diduga-duga. Dikhawatirkan, Bazoft sudah mengantungi rahasia proyek senjata nuklir, karena itu perlu digantung. Publik marah atas kesewenang-wenangan yang menimpa wartawan Inggris itu. Amerika dan Inggris bungkam, padahal kedua negara itu, sebelum peristiwa Bazoft, memberikan visa bagi staf dari Al Qaaqaa untuk belajar di Barat. Tiga ilmuwan Al Qaaqaa pernah menghadiri Konperensi Fisika Bahan Peledak yang disponsori oleh Amerika di Portland, Oregon. Empat staf lainnya, pada waktu yang sama, mengikuti latihan di Inggris. Latihan di Inggris khusus dalam bidang fotografi sinar X, yang digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa ledakan senjata, termasuk persenjataan nuklir. Awal 1990 Saddam telah mendapatkan hampir segalanya yang dibutuhkan untuk membuat bom nuklir. Ia sudah memiliki lebih dari empat kilogram uranium yang telah diperkaya dengan proses elektromagnetis. Pabrik di Babilonia siap merakitnya, sementara pabrik yang lain menambah stok. Dalam tahap itulah, sepak terjang Saddam mulai bocor, karena diam-diam sejak satu setengah tahun sebelumnya petugas bea cukai AS bergerak. Mereka melacak jejak orang-orang Irak yang hendak membeli komponen bom nuklir secara rahasia. Transaksi tampaknya telah mencapai kata sepakat. Tapi ketika barangbarang itu akan diselundupkan ke Iraqi Airways di bandara Heathrow, London, agen AS dan petugas Inggris menghadangnya. Lima orang diringkus, dua di antaranya kemudian dipenjara. Pers Inggris memasang berita tersebut sebagai berita kakap. "Skenario bom setan Saddam digagalkan," bunyi salah satu judul berita. Tapi benarkah Saddam gagal? Pihak intelijen tahu, Saddam telah mendapatkan barang yang sama dari tempat lain. Maka, secara rahasia dilakukan operasi bea cukai mengikuti petunjuk petugas intelijen Barat, yang bisa mengikuti kecepatan operasi Saddam. Tapi pada pers selalu dikatakan bahwa "Saddam perlu 5 sampai 10 tahun lagi" untuk menyelesaikan sebuah bom nuklir. Bahkan, akhir November tahun lalu, sekitar tiga bulan setelah Saddam menginvasi Kuwait, surat kabar Amerika yang men- cerminkan pendapat Gedung Putih, The Washington Post, melaporkan bahwa Irak "tidak mungkin membuat bom atom dalam waktu dekat". Pada bulan yang sama, dengan yakin pihak Badan Tenaga Atom Internasional mengatakan, "tidak ada bukti" bahwa Irak menggelapkan bahan nuklir di bawah hidung badan internasional ini. Yang benar, Saddam memang tidak menyembunyikan bahan nuklir untuk program sipil. Ia menyiapkan nuklir secara masal untuk kepentingan militer. Lebih dari 30 kali kunjungan ke Irak dalam kurun 15 tahun, pengawas dari badan atom internasional gagal membaca penyelewengan Saddam. Gagal melihat yang ada di balik "program nuklir kecil-kecilan". Pengalaman ini membuat badan tersebut mengadakan pertemuan untuk membicarakan sistem pengawasan yang lebih efektif. Beberapa ahli menganggap kesalahan itu terletak pada apa yang disebut program "Atom untuk Perdamaian". Lewat program ini, negara-negara yang menandatangani perjanjian tak akan mengembangkan program senjata nuklir, bebas untuk memanfaatkan teknologi nuklir untuk keperluan damai. Persoalannya, bagaimana mengontrol "pemanfaatan" nuklir untuk damai itu. Sedikitnya, enam negara berkembang telah mendapatkan know-how nuklir, termasuk Korea Utara dan Libya. Jafar Dia Jafar, pemimpin proyek Saddam, tutup mulut ketika ditanya soal Babilonia dan pabrik nuklir lainnya. Ia selalu menggelengkan kepala. Yang dibenarkan Jafar, dalam serangkaian pertanyaan yang diajukan Kay, sampai Perang Teluk meletus tidak ada hambatan untuk menyelesaikan senjata nuklir pertama Irak. Melalui jawaban-jawaban Jafar, pewawancara mendapat kesan bahwa Jafar menyetujui tugas yang diberikan Saddam setelah ia ditangkap, disiksa, dan dikurung di rumah sakit jiwa. Adapun Shahristani, bekas penasihat nuklir Saddam yang kemudian menolak bekerja sama, menerima ganjaran dipenjara hampir 10 tahun setelah ia membangkang. Shahristani tak menyalahkan Jafar. Jafar, kata Shahristani, tak berbeda dari ribuan orang Irak yang tak punya pilihan kecuali mengikuti perintah. Shahristani diuntungkan oleh Perang Teluk. Bersama temanteman sepenjara, ia menyelinap di kegelapan setelah serangan bom Sekutu. Kini Shahristani berkumpul lagi dengan anak istrinya di Iran. Ia masih menderita sakit punggung akibat siksaan anak buah Saddam. Bukan hanya Shahristani yang bebas, dunia juga mungkin akan bebas dari ancaman nuklir Irak. David Kay membandingkan invasi Saddam ke Kuwait dengan putusan Hitler mengumumkan perang. Duaduanya dilakukan pada waktu yang salah, yakni sebelum Saddam punya bom nuklir, dan sebelum Hitler punya kapal selam khususnya. "Kalau saja Hitler menunda beberapa waktu lagi sampai kapal selamnya selesai, ia mungkin tak bisa dihentikan lagi," kata Kay. Begitu juga Saddam, seandainya ia sabar menunggu sampai ia memiliki senjata nuklir, perang di Timur Tengah akan berakhir dengan sangat berbeda. Kini, Irak secara lahiriah berkali-kali menjanjikan pada Dewan Keamanan PBB untuk bersikap kooperatif terhadap tim nuklir PBB yang melakukan pencarian proyek senjata nuklir Irak. Namun, di balik itu, Saddann tetap memperlihatkan ambisi untuk meneruskan proyeknya. Masih banyak perangkat pembuat bom yang disembunyikan. Dan menurut para pengamat, pihak Barat akan sulit menembus persembunyian itu tanpa dukungan negara-negara Arab. Di kantor departemen tenaga kerja di Baghdad, Kay dan timnya menemukan dalam daftar gaji, 20.000 pekerja tetap di industri nuklir. Ketika Kay membawa daftar ini, September lalu, ia dan 44 stafnya kontan dikepung pasukan bersenjata Irak. Persoalannya baru selesai empat hari kemudian, setelah Presiden Bush memerintahkan pasukan AS bersiap-siap melakukan serangan lagi ke Irak. Pihak Badan Tenaga Atom Internasional mengakui bahwa kekuasaan mereka terbatas. Bila badan ini tak menemukan pabrik nuklir Irak sebelum ada pembelot yang memberi info, tampaknya kecil kemungkinan akan ditemukan pabrik nuklir Irak yang lain. Sementara itu, belum ada tanda-tanda Barat akan mengurangi kebocoran teknologi nuklir dan pakar nuklirnya. Perjanjian pengurangan senjata Amerika Serikat dan Uni Soviet membuat pengangguran ilmuwan dalam jumlah besar. Francois Heisbourg, direktur International Institute for Strategic Studies, sudah wanti-wanti akan ancaman "tentara ilmu suka rela": para pakar nuklir Soviet yang menganggur mencari cukong baru. Ini mirip legenda Yunani, ketika Promotheus mencuri rahasia api dari surga dan dibagikan pada manusia. Meski sang Dewa Agung Zeus marah besar dan menghukum Promotheus, api itu tak lagi bisa dicabut dari tangan manusia. Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus