Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Nuryadi kini harus melaut sejauh 30 kilometer ke Pulau Damar di Kabupaten Kepulauan Seribu untuk mencari ikan dan rajungan. "Karena laut di perairan Muara Angke semakin dangkal," kata dia, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Trisno, anak buah Nuryadi, mengatakan pendangkalan itu mulai terjadi dua tahun lalu, tepatnya setelah perusahaan pengembang membangun Pulau G, yang berjarak 3 kilometer dari Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara. Pendangkalan ini semakin menjadi-jadi setelah Grup Agung Sedayu membangun Pulau D, yang berjaraknya 2 kilometer dari Pulau G, yang dimiliki Grup Agung Podomoro.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2013 telah membuat simulasi. Konsentrasi sedimen yang terhambat bakal tersebar di badan sungai dan kanal di antara pulau-pulau reklamasi. "Sedimentasi bahkan bisa menyatukan semua pulau," ujar Widjo Kongko, peneliti di Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai BPPT.
Soal sedimentasi sebenarnya sudah dibicarakan jauh-jauh hari oleh Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Pusat dalam sidang pada 2003. "Ada lima catatan Komisi Amdal Pusat kepada pemrakarsa untuk memperbaiki amdalnya," kata Ahmad Safrudin, yang saat itu menjadi anggota Komisi mewakili organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (lihat boks).
Pemrakarsa dan konsultan diberi waktu untuk memperbaiki keberatan tersebut dalam bentuk rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL). Ternyata, dalam sidang berikutnya, perbaikan itu tidak memuaskan Komisi Amdal. Menurut Ahmad Safrudin, pemrakarsa proyek menjawab bahwa masalah sedimentasi akan diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan biaya dari APBD. Mereka akan merelokasi nelayan ke Marunda dan sejumlah wilayah lainnya.
Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 14 Tahun 2003, yang menyatakan rencana reklamasi pesisir Jakarta tidak layak dari sisi lingkungan. Pada 2007, enam pengembang menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mahkamah Agung memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Gubernur Jakarta Fauzi Bowo kemudian mengeluarkan empat izin prinsip reklamasi pada 2012, yakni Pulau F untuk PT Jakarta Propertindo, Pulau G untuk PT Muara Wisesa Samudra, Pulau I untuk PT Jaladri Kartika, dan Pulau K untuk PT Pembangunan Jaya Ancol. Adapun Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan izin pelaksanaannya.
Pemerintah DKI Jakarta sangat berkepentingan karena PT Jakarta Propertindo dan Pembangunan Jaya Ancol merupakan badan usaha milik daerah. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta Junaedi menyatakan amdal reklamasi tak perlu melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup. Ia mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2013 tentang tata laksana penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup serta penerbitan izin lingkungan.
Meski saat ini telah terjadi sedimentasi yang merugikan nelayan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum mencabut izin lingkungan. "Kami telah membuat catatan terhadap amdal tiga pulau milik PT Kapuk Naga," kata Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan KLHK, San Afri Awang, 7 April lalu.
Catatan itu antara lain soal sedimentasi yang bakal mempengaruhi sentra perikanan, menyebabkan banjir, dan menurunkan kualitas air di pesisir. Selain itu, dibahas masalah ancaman kerusakan di suaka margasatwa Muara Angke. San Afri mengatakan pihaknya lebih setuju dilakukan amdal regional. Namun, kata dia, tidak ada pelanggaran hukum jika amdal diterapkan untuk setiap proyek pulau.
Ahmad Safrudin menyatakan pemerintah DKI Jakarta dan perusahaan pengembang melihat amdal hanya sebagai syarat administratif. Mereka mengakali amdal dalam setiap proyek. "Semakin kelihatan kepentingan kapital di balik semua ini," katanya. Proyek reklamasi tersebut layak secara ekonomi dan teknis, kata dia, tapi bakal menjadi bencana ekologi dan sosial di pesisir Jakarta. AMRI MAHBUB
Sidang Komisi Amdal Pusat 2003 terhadap Amdal Proyek Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta (Pantura)
Pemrakarsa: Badan Pengelola Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Konsultan: Lembaga Pengabdian Masyarakat (LMP) Institut Teknologi Bandung.
Pertanyaan Komisi Amdal Pusat:
1.Apakah proyek reklamasi telah mengantisipasi potensi terjadinya sedimentasi, termasuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mencegah kerusakan lingkungan?
2.Bagaimana penanganan dampak negatif bagi nelayan yang mata pencariannya bakal berkurang, bahkan hilang?
3.Bagaimana penanganan hutan mangrove yang tersisa di suaka margasatwa Muara Angke dan bakal hutan kapuk?
4.Bagaimana cara mengatasi keberatan dari TNI soal perlunya penyusunan skenario pengamanan baru Jakarta sebagai ibu kota negara?
5.Bagaimana mengatasi keberatan PLTGU Muara Angke atas ancaman terganggunya pasokan air dingin ke mesin pembangkit?
Jawaban pemrakarsa dan konsultan dianggap tidak memuaskan. Komisi Amdal Pusat menyatakan proyek reklamasi tak layak dari segi lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo