Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agama dan ilmu bertabrakan berulang kali, juga di abad ke-21. Juga di abad lain, pada 12 April 1633, ketika orang tua itu, Galileo, pada umur hampir 70 tahun, disekap selama dua pekan oleh Dinas Inkuisisi, aparat Gereja yang mengusut dan memeriksa kesungguhan iman.
Bagi Vatikan, Galileo sesat. Ia harus mengaku bahwa ia percaya kepada teori Kopernikus tentang bumi dan matahari, padahal 17 tahun sebelumnya ia berjanji untuk tak demikian. Hari itu Galileo mengelak: ia hanya memaparkan teori bahwa bumilah yang mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya. Ia mengelak dan itu sebabnya ia dikurung. Tapi pada akhirnya ia mengakui dosanya, menyesal, menyangkal kepercayaannya kepada teori Kopernikus, dan kembali ke jalan yang ditunjukkan agama: "Saya berpegang pada pendapat… bahwa bumi tak bergerak dan mataharilah yang demikian."
Ada yang mengecam sikap penakutnya, apalagi itu sia-sia, sebab ia tetap dihukum penjara seumur hidup. Tapi sebenarnya Galileo tak pernah takluk.
Eppur si muove. Konon itulah yang diucapkannya setelah vonisnya diumumkan: ini, bumi, tetap saja bergerak, biarpun Gereja mengingkarinya. Dalam tahanan rumah di Arcetri di dekat Firenze, dengan diawasi petugas Kantor Inkuisisi, dan melalui masa sedih karena anak perempuannya meninggal, ia menyelesaikan Discorsi e Dimostrazioni Matematiche Intorno a Due Nuove Scienza. Buku ini terpaksa diterbitkan di Leiden, Negeri Belanda, pada 1638, karena karya Galileo dinyatakan terlarang oleh Vatikan—termasuk yang belum ditulisnya.
Discorsi adalah kepiawaian Galileo dalam fisika dan matematika—atau lebih tepat: dalam memperlakukan fisika secara matematis. Dari sinilah Einstein memaklumkan Galileo sebagai "bapak fisika modern". Matematikawan Alfréd Rényi menyanjungnya sebagai karya terpenting selama 2.000 tahun; Galileo menerjemahkan gerak secara matematis, satu hal yang belum pernah dilakukan Zeno atau Arkhimedes di zaman Yunani Kuno.
Sejak usia 19 tahun Galileo memang sudah jatuh cinta kepada matematika. Ia tinggalkan kuliah kedokterannya di Universitas Pisa, pergi ke Firenze untuk mendalami ilmu itu. Pada usia 58 tahun, ia menulis Il Saggiatore. Di sana ia tunjukkan hanya ada satu bahasa yang sanggup membaca "buku" Alam, yang, sebagai bahasa matematika, aksaranya adalah "segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometri lain…".
Galileo, seperti dikatakan Pietro Redondi dalam Galileo Heretico, bukan hanya pemikir, tapi memang "seorang matematikawan", yang "ingin membedakan apa yang dapat diketahui secara obyektif dan kuantitatif, dari apa yang tak dapat dikatakan secara ilmiah".
Tapi benarkah, tanpa bahasa matematika, "orang akan mengembara ke sana-kemari dalam labirin yang gelap?"
Wade Rowland, yang menulis Galileo's Mistake, menunjukkan ada "kebutaan yang tragis" dalam pandangan ini. "Galileo yakin, hanya ada satu penjelasan yang unik tentang fenomena alam, yang dapat dipahami melalui observasi dan nalar dan yang membuat semua penjelasan lain salah." Maka persoalan Galileo dengan Gereja sebenarnya bukan tentang teori Kopernikus, tapi tentang bagaimana menguji kebenaran pengetahuan kita.
Di dalamnya tampak persaingan: siapa yang bisa memberi penjelasan yang final tentang hal-ihwal: Ilmu? Agama?
Ilmu, kata Richard Dawkins, punya sihirnya sendiri—sihir yang ada pada realitas. Ilmu tak membutuhkan sifat magis yang sering jadi dasar agama-agama. Dengan argumen itu, kita lihat persaingan itu bahkan perbenturan.
Di satu pihak ilmu, bisa menguraikan "sihir" (magic) realitas jadi sesuatu yang bisa dijelaskan dan dikuasai; itulah yang dikumandangkan para pemikir "Atheisme Baru" seperti Dawkins. Di pihak lain agama, yang jadi jalan penyelamatan pribadi, atau sebaliknya, jadi sebuah sistem kepercayaan.
Keduanya bisa menguasai—dan meringkus—kehidupan.
Kini kritik kepada ilmu—yang makin terkait dengan teknologi—agaknya perlu ditengok lagi. Kini, ketika berkibar segala inovasi yang mempesona (artificial intelligence, penjelajahan ruang angkasa, kloning hewan dan manusia, teori baru tentang alam semesta…), orang tak lagi ingat, misalnya, Dialektika Pencerahan, yang di pertengahan abad ke-20 dengan suram menghujat kemajuan dunia modern. Hubungan manusia dengan benda-benda, kata Adorno, penulisnya, telah mirip hubungan diktatorial. Ia jadi terasing. Apa yang ada dalam diri benda-benda berubah jadi sesuatu-untuk-manusia. Dadurch wird ihr An sich Für ihn.
Di pihak lain, agama, yang dilahirkan dari pesona, ketakjuban, dan kegentaran dalam "pengalaman religius", kini melahirkan keterasingan tersendiri. Yang Maha-Agung dan Gaib digantikan. Tuhan jadi konsep, dan konsep, seperti dikemukakan Jean-Luc Marion, jadi "berhala": sesuatu yang dirumuskan dan dibentuk manusia sendiri, sesuai dengan ukuran dirinya, tapi kemudian disembah.
Di tengah dua kekuatan itu, kita masih bernapas. Tapi tak adakah sesuatu yang lain di sana?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo