Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
UNESCO menetapkan naskah catatan Imam Bonjol dan putranya sebagai Memory of the World Committee South Asia-Pacific.
Karya tersebut berupa hipogram dengan aktor yang menceritakannya secara langsung, relevan dengan sejarah pra-kemerdekaan serta narasi global pergerakan Islam Asia Tenggara-Timur Tengah.
Naskah tersebut juga menyebutkan data tentang peran dan kondisi perempuan saat Perang Padri berlangsung.
LEMARI kaca berbingkai dan berlandasan kayu setinggi 3 meter dan selebar 1 meter itu berada di tengah ruangan di lantai 2 Dinas Arsip dan Perpustakaan Sumatera Barat. Lemari ini terpisah dari beberapa rak berisi arsip lawas lain di ruangan tersebut. Lemari ini juga diberi serbuk antirayap dan beberapa biji cengkih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalam lemari tersebut terdapat sebuah naskah tebal bertulisan huruf Arab Melayu pada kertas yang tampak agak kekuningan dimakan usia dan dalam posisi terbuka. Dinas Arsip Sumatera Barat memperlihatkan secara langsung naskah berjudul Tambo Tuanku Imam Bonjol itu saat Tempo mengunjungi ruangan tersebut pada Selasa, 11 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naskah tentang Tuanku Imam Bonjol itulah yang pada Mei 2024 ditetapkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Memory of the World Committee South Asia-Pacific di Ulaanbaatar, Mongolia. Perpustakaan Nasional dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang mengusulkannya kepada UNESCO.
Pustakawan Ahli Pertama Perpustakaan Nasional, Aditia Gunawan, menjelaskan, naskah ini layak diakui UNESCO karena beberapa alasan. Pertama, naskah Tambo Tuanku Imam Bonjol merupakan karya perintis, baik dari segi pengaruh maupun genre tulisan. Karya tersebut berupa hipogram dengan sumber yang bercerita secara langsung. Kedua, manuskrip itu mempunyai relevansi sejarah yang signifikan pada masa pra-kemerdekaan Indonesia dan menjadi bukti sejarah Minangkabau pada abad ke-19. Terakhir, naskah ini menyajikan narasi global pergerakan Islam Timur Tengah-Asia Tenggara pada abad ke-18 hingga ke-19.
Perjalanan naskah ini sampai disimpan secara cukup layak lumayan panjang. Awalnya, naskah ini dikenali dari laporan Philippus Samuel van Ronkel, pustakawan dan konservator manuskrip dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia (kini Jakarta). Ia menulis dalam artikelnya berjudul “Inlandsche getuigenissen aangaande de Padri-oorlog” (Kesaksian Pribumi mengenai Perang Padri) dalam jurnal De Indische Gids (1915). Ronkel menyebutkan bahwa ia telah menyalin satu naskah yang berjudul Tambo Anak Tuanku Imam setebal 318 halaman.
Petugas Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumatera Barat, Desra Triaman, memperlihatkan naskah Tuanku Imam Bonjol di gedung Dinas Kearsipan . Tempo/Fachri Hamzah
Guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Gusti Asnan, menceritakan naskah ini dikumpulkan dan dibawa oleh Naali Sutan Chaniago, putra Imam Bonjol, dari pengasingan ayahnya di Manado. Namun tak diketahui kapan Naali Sutan membawa pulang catatan itu ke tanah Minang. Naskah itu selanjutnya disimpan oleh para ahli waris Imam Bonjol di Kampung Chaniago, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman. Pada 27 April 1983, naskah itu diserahkan oleh ahli waris kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. “Naskah itu kemudian disimpan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat,” tuturnya.
Pada 1984, dia mengungkapkan, muncullah Safnir Abu Naim yang tergerak untuk mengalihaksarakan naskah tersebut. Pada 1991, naskah Imam Bonjol ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal Jakarta. Namun setelah itu manuskrip tersebut hilang tak tentu rimbanya.
Saat itu kabar kurang sedap menimpa Safnir. Ia dikabarkan menjual naskah itu. Desas-desus tersebut beredar cukup lama. “Safnir adalah guru bagi saya. Dia sering datang ke ruangan saya untuk bercerita tentang desas-desus itu, bagaimana tuduhan itu dilontarkan,” ujar Gusti kepada Tempo pada Senin, 10 Juni 2024. Gusti mengingat betul ucapan Safnir yang kecewa atas tuduhan tersebut. Saat itu ia berkata suatu ketika kebenaran akan terungkap. “Padahal alih aksara yang dilakukan Pak Safnir sangat berjasa dalam dunia akademik sejarah.”
Pada 2014, naskah Imam Bonjol ditemukan di kantor Gubernur Sumatera Barat. Ketika itu beberapa sejarawan dan filolog Universitas Andalas diundang melihat naskah tersebut. Salah satunya Pramono. Dia bercerita bahwa tidak ada yang tahu tentang naskah yang ditemukan saat proses renovasi tersebut. Setelah dicek olehnya, baru disimpulkan bahwa itu merupakan naskah Imam Bonjol yang selama ini hilang.
Saat awal ditemukan, Pramono mengimbuhkan, naskah Imam Bonjol tersebut sudah dalam kondisi yang sangat parah. Banyak dari lembaran naskah itu yang sudah tidak bisa dibaca. Untuk menyelamatkan manuskrip itu, setiap halaman dilapisi dengan kertas kanji agar lebih awet.
Setelah naskah tersebut ditemukan, Pramono menjelaskan, pemerintah Sumatera Barat meminta maaf secara khusus kepada ahli waris. Selain itu, mereka memulihkan nama Safnir Abu Naim yang dituduh mencuri atau menyembunyikan naskah tersebut. Tempo meminta konfirmasi kepada Gubernur Sumatera Barat 2010-2021, Irwan Prayitno, mengenai cerita yang disampaikan Pramono. Namun Irwan tidak merespons beberapa pertanyaan yang dikirimkan lewat pesan pendek.
Naskah Tuanku Imam Bonjol di gedung Dinas Kearsipan dan Perpustakaan. Tempo/Fachri Hamzah
Luka atas kehilangan naskah itu juga dialami oleh ahli waris. Banyak dari mereka tidak mau berbicara ataupun memperlihatkan peninggalan Tuanku Imam Bonjol. Hal ini dirasakan oleh Arbi Tanjung, salah satu budayawan asal Kabupaten Pasaman. Saat itu Arbi mencoba mencari jejak-jejak tokoh Padri itu sejak pulang dari Medan, Sumatera Utara, pada 2017. Namun banyak ahli waris yang menutup diri. Dia sempat menemui salah satu ahli waris yang berada di Kampung Chaniago. Namun tidak banyak cerita yang didapatkan. “Saya rasa banyak hal yang menyebabkan ahli waris menutup diri,” ucapnya.
Pramono juga menjelaskan, naskah tersebut terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama setebal 190 halaman yang berisi memori Tuanku Imam Bonjol. Bagian kedua, pada halaman 191-324, merupakan memori Naali Sutan Chaniago saat pengasingan ayahnya di Manado.
Kemudian bagian ketiga, halaman 325-332, berisi notula dua rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada 1865 dan 1875. “Naskah tersebut ditulis oleh Imam Bonjol dan putranya. Naskah tersebut berisi ringkasan sejarah Perang Padri dan Sumatera Barat pada abad ke-19,” kata Pramono.
Menurut Pramono, pesan utama naskah tersebut adalah kesadaran Tuanku Imam Bonjol bahwa egalitarianisme dan perdamaian harus dikedepankan alih-alih peperangan. Selain itu, yang menarik dari naskah Tuanku Imam Bonjol adalah sudut pandang Imam Bonjol tentang perempuan dan anak-anak. Kata “perempuan” disebutkan sebanyak 71 kali dalam naskah tersebut. Ada pula kata “mandeh” atau ibu yang disebutkan sebanyak 40 kali.
Penyebutan perempuan dan anak-anak dalam naskah tersebut tidak hanya berkaitan dengan korban Perang Padri. Terdapat pula cerita perjuangan perempuan melawan kompeni atau penjajah. “…baparang dan balawan jugalah dan sekalian perempuan-perempuan di dalam Bonjol pun datang menolongi maso itu.” Demikian salah satu kutipan terjemahan naskah Tambo Anak Tuanku Imam Bonjol di halaman 94.
Naskah Tuanku Imam Bonjol di gedung Dinas Kearsipan dan Perpustakaan. Tempo/Fachri Hamzah
Dalam naskah tersebut juga diceritakan Imam Bonjol yang harus keluar dari suatu wilayah, tapi ia meminta para perempuan dan anak-anak diungsikan lebih dulu. Imam Bonjol menuliskan hal ini di halaman 98. Kutipan tersebut, Pramono menerangkan, membuktikan Imam Bonjol menempatkan perempuan sebagai bagian penting dalam kehidupan mereka. Pada masa perang, perempuan tidak hanya menjadi korban, tapi juga bagian dari perjuangan. “Perempuan dikisahkan tidak pasif, tapi menjadi bagian yang aktif,” tuturnya.
•••
GUSTI Asnan, penulis buku 200 Tahun Perang Padri, menjelaskan, naskah Tambo Anak Tuanku Imam Bonjol sangat penting sebagai sumber sejarah. Naskah ini banyak mengungkap tentang gerakan dan Perang Padri 1803-1837 di Sumatera Barat. “Bagi saya, naskah Tuanku Imam Bonjol menjadi sumber yang penting untuk mengungkap gerakan dan Perang Padri. Cuma, selama ini kurang dimanfaatkan,” katanya.
Gusti juga mengatakan banyak keterangan yang berkenaan dengan gerakan dan Perang Padri dalam naskah tersebut dari pihak Tuanku Imam Bonjol. Walaupun sudah banyak yang menulis tentang Perang Padri, seperti Christine Dobbin dan Rusli Amran, kebanyakan sejarawan menulis tentang perang besar dengan mengambil sumber dari Belanda.
Dia menyebutkan salah satu isi naskah berkaitan dengan kejadian-kejadian sebelum Belanda masuk ke pedalaman Sumatera. Terutama kejadian penyerbuan kaum Padri terhadap perkampungan non-Padri atau sebaliknya. Disebutkan pula data tentang jumlah korban dari kedua belah pihak saat konflik terjadi. Pun kekuatan dan kelemahan setiap pihak.
Di dalam naskah itu juga diceritakan perubahan strategi Padri dari penganut ideologi kekerasan menjadi lebih lunak setelah utusan mereka kembali dari Mekah. Pengiriman utusan ke Mekah ini merupakan keputusan pihak Padri. Menurut Gusti, hal ini tidak pernah disebutkan dalam sumber Belanda.
Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumatera Barat Jumaidi menerima sertifikat Memory of the World Committee South Asia-Pacific dari UNESCO, Mei 2024. sumbarprov.go.id
“Jika melihat dan mengetahui tentang gerakan Padri, tentu naskah Tuanku Imam Bonjol harus menjadi rujukannya. Sebab, naskah tersebut secara lengkap berbicara soal peristiwa yang dialami kaum Padri selama gerakan dan perang berlangsung,” ujarnya.
Gusti juga tak membantah narasi pembantaian yang disampaikan oleh beberapa sejarawan mengenai Perang Padri. Namun tentu tidak separah itu. Sejauh pembacaan Gusti, dalam sebuah perang tentu ada yang mati serta ada yang kalah dan menang. “Jika disampaikan dalam Perang Padri ada pembantaian, itu tidak sepenuhnya benar, walau memang ada, karena itu sebuah perang. Tapi, jika disebutkan sebagai genosida, tentu juga tidak tepat,” ucapnya. Gusti menerangkan, perang yang berlangsung selama puluhan tahun itu merupakan bentuk revolusi sosial masyarakat Minangkabau. Kajian tentang Perang Padri tidak hanya berbicara soal agama, tapi juga adat, ekonomi, dan strata sosial.
•••
DOSEN Program Studi Sejarah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh, Fikrul Hanif Sufyan, berpendapat bahwa naskah Tambo Tuanku Imam Bonjol adalah catatan autentik yang ditulis oleh pribumi tentang ringkasan sejarah Perang Padri dan Sumatra Westkust (Sumatera Barat) pada abad ke-19. Manuskrip ini penting karena seorang pemimpin Padri yang dituding sebagai penganut Wahabisme menuliskan kisahnya ketika vis-à-vis dengan Belanda. Sumber ini menjadi pembanding yang kuat di antara sumber-sumber arsip yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda.
Monumen Tuanku Imam Bonjol di depan Museum Imam Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Tempo/Fachri Hamzah.
Narasi pembantaian yang pernah dilakukan Tuanku Imam Bonjol pernah diungkap oleh Mangaraja Onggang Parlindungan dalam tulisannya mengenai Tuanku Rao, ataupun tulisan Rusli Amran, Christine Dobbin, dan lainnya. Menurut Fikrul, mereka menulis berdasarkan keterangan dari arsip-arsip kolonial Belanda dan keterangan lisan korban yang pernah mendapat tindak kekerasan oleh pimpinan Padri. Sejak terjadi tindak kekerasan itu, banyak orang Minang, terutama kalangan adat, bermigrasi ke luar Sumatera Barat. Pengalaman migrasi orang Minang pada masa Perang Padri tidak bersifat spontan karena dilatari tindak kekerasan tersebut.
Orang Minangkabau terpaksa meninggalkan kampung halaman karena terus-menerus diteror dan diancam kaum Padri. Pada awalnya, kaum Padri menerapkan aturan yang keras. Mereka melarang banyak hal yang menurut mereka bertentangan dengan ajaran agama Islam, seperti sabung ayam, memakan sirih, dan mengikir gigi. Gaya berbusana orang Minang pun wajib meniru kaum Padri. Perubahan baru terjadi setelah kepulangan utusan Padri dari Mekah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menguak Catatan Imam Bonjol"