Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“DIDI, bad news. Saya sudah didiagnosa kanker dan telah menyebar ke bagian dada dan perut,” tulis Dewi Anggraeni dalam pesan pendek. “Saya diberi opsi macam-macam, tapi saya cenderung tidak memilih pengobatan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pesan itu dikirim pada Juni 2024, kondisi kesehatan Dewi mulai menurun, sampai-sampai orang yang hendak menjenguknya di rumah sakit dijadwalkan datang pada hari berbeda. “Saya cepat capek karena sesak napas dan cepat batuk-batuk,” tuturnya. Lalu Trisnawati Fraser, putri sulungnya, mengabarkan sang ibunda wafat pada Jumat, 19 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesedihan dirasakan teman-teman dekatnya. Goenawan Mohamad bercerita bahwa Dewi, yang bersahabat dengan Widarti Goenawan, istrinya, selalu menginap di rumahnya jika berkunjung ke Jakarta. Mereka selalu menyediakan buah manggis kesukaan Dewi.
“Kini saya merasa kehilangan jika melihat butir-butir manggis di meja makan. Dewi sudah jadi bagian hidup kami,” tulis Goenawan dalam pesannya di akun Facebook Dewi.
Dewi berasal dari keluarga keturunan Tionghoa. Ayahnya, Patrick Sutanta, adalah direktur sebuah perusahaan, dan ibunya, Sen Tjia, ibu rumah tangga. Mereka memberinya nama Tan Soen May, putri satu-satunya yang lahir pada 16 April 1945.
Pada 1963, gadis itu mengganti namanya dan mendaftar secara resmi ke kantor kependudukan Jakarta dengan nama baru: Dewi Anggraeni. Waktu itu sekitar dua tahun sebelum pemerintahan Soeharto melarang penggunaan aksara dan kata apa pun yang berbau Tionghoa dan menggantinya dengan nama Indonesia pada 1965.
Dalam otobiografi terbitan Monash Asia Institute, Australia, pada 1995, dituliskan bahwa Dewi sempat mempelajari bahasa Tionghoa di sekolah. Kemudian ia beralih mempelajari bahasa Indonesia setelah ayahnya menjadi warga negara Indonesia.
Dewi, yang menyandang gelar sarjana pendidikan dari Universitas Indonesia pada 1969, menikah dengan Ian Fraser, ahli lingkungan dari Australia, pada 1972 dan diboyong ke Melbourne, Australia. Mereka membangun keluarga baru dengan dua anak, yaitu Eric Fraser yang kini tinggal di Amerika Serikat dan Trisnawati Fraser.
Sebagai penulis dan novelis, Dewi cukup produktif menulis. Sebagian buku dan novelnya berbahasa Inggris. Di antaranya The Root of All Evil (1987), Parallel Forces (1998), Stories of Indian Pacific (1993), Journeys Through Shadows (1998), Snake (2002), Who Did This to Our Bali (2003), dan Dreamseeker (2006). Tak terbilang pula penghargaannya dari dalam dan luar negeri.
Dewi juga pernah menjadi jurnalis di dua media Indonesia. Dia antara lain menjadi redaktur dan penulis di majalah Femina serta koresponden majalah Tempo. “Saya bergabung dengan Tempo diajak Mas Goenawan Mohamad saat beliau berkunjung ke Melbourne. Kami ngobrol-ngobrol dan saya diminta menjadi koresponden Tempo. Permintaan itu baru bisa saya penuhi setelah anak-anak saya besar,” ujarnya.
Pada 2021, Dewi pernah diundang Indonesianlantern.com, situs majalah Indonesia di Amerika Serikat, menjadi pembicara ketika Tempo berulang tahun ke-50. Saat itu, bersama tiga mantan jurnalis Tempo lain, yakni Isma Sawitri, Yuli Ismartono, dan Leila S. Chudori, Dewi menceritakan pengalamannya ketika liputan di lapangan.
Dewi menuturkan, ada beberapa perjalanan liputan yang menurut dia sangat berkesan. Di antaranya sewaktu dia hendak meliput pergolakan di Dili, Timor Timur, di atas kapal Lusitania Expresso milik Portugal pada 1992 dan mewawancarai pentolan band The Rolling Stones, Mick Jagger, pada 1988.
Dewi mengungkapkan, saat naik kapal Lusitania Expresso, dia tidak menyadari bahwa perjalanan menuju Dili sangat berbahaya. Waktu itu ada beberapa wartawan Indonesia yang berniat meliput kondisi di Dili yang sedang bergolak.
Tapi entah kenapa dia yang ditunjuk panitia untuk berkunjung ke Dili. “Mungkin karena saya terlihat innocent atau mungkin karena saya kenal juga dengan wartawan Reuters,” katanya.
Saat itu para aktivis Australia curiga karena mereka menganggap Dewi mata-mata Indonesia. Padahal waktu itu Kedutaan Besar Indonesia di Australia mencoba menghubunginya, tapi dia tidak bersedia menerima panggilan telepon tersebut. “Karena saya curiga mereka akan berusaha mencegah agar tidak ikut rombongan itu, demi keselamatan saya,” ucapnya.
Selama empat hari empat malam mereka berada di laut dari Darwin, Australia, menuju Dili. Penyebabnya bukan jarak tempuh yang jauh, melainkan mereka dicegah dua kapal perang Angkatan Laut RI. “Mereka mengancam kami tidak boleh masuk ke Timor Timur, dan bila nekat mereka akan menembak kapal kami.”
Dewi mengaku tidak tahu betapa berbahayanya saat itu. Tapi wartawan Eropa dan Australia merasa ketakutan. Mereka mengatakan, “Dewi, kamu tahu atau enggak laut ini penuh hiu. Kalau ditembak, kita akan tenggelam di laut dan dimakan hiu.”
Apalagi kapten kapal pun berujar, “Kalian memang wartawan dan aktivis, tapi saya bukan aktivis. Saya hanya kapten kapal dagang. Jika kalian mau turun, silakan, saya tidak mau ikut turun di Dili.”
Melihat itu, Dewi mengungkapkan, teman-temannya meminta dia menelepon Jakarta. Dewi pun menelepon Tempo, yang saat itu masih berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Yang menerima panggilan telepon adalah Achiyar Abbas.
Lalu Achiyar langsung menelepon Fikri Jufri, wakil pemimpin redaksi yang mengenal baik jajaran petinggi Kementerian Pertahanan. “Jangan menembak kapal Portugis yang berisi wartawan. Di sana ada wartawan kami,” kata Fikri.
Akhirnya negosiasi berlangsung sehari semalam. Hasilnya, para wartawan di kapal mengalah dan digiring kembali ke Darwin. “Baru keesokan harinya kami bisa masuk ke Dili,” tutur Dewi. Liputan Dewi di atas kapal Lusitania Expresso menuju Dili tersebut dimuat di majalah Tempo edisi 21 Maret 1992.
Adapun pengalaman wawancara dengan Mick Jagger pada 1988, Dewi menjelaskan, cukup seru. “Orangnya lucu dan baik. Kebetulan saya mengenal sekretaris pribadinya hingga saya bisa ikut masuk rombongan,” ucapnya. “Cuma, saya tiba-tiba bingung mau nanya apa. Saya tidak kenal dia dan bukan pengagumnya.”
Saat itu Dewi ditugasi Tempo mewawancarai Jagger yang sedang menjalani tur konser di Melbourne. Karena tak begitu mengenal Mick Jagger, ia pun kemudian mengajak Eric, anak laki-lakinya yang waktu itu berusia 17 tahun. “Kamu ikut saya pura-pura jadi fotografer saya,” ujarnya.
Menurut Dewi, manajemen Mick Jagger menelepon dia dan memintanya menonton konser mereka terlebih dahulu. “Kami pun meliput di antara para wartawan yang memiliki kamera canggih, sementara Eric menggunakan kamera kacang,” tuturnya.
Dewi mengungkapkan, wawancara berlangsung lucu dan penuh tawa. Jagger bertanya, “Kalau kalian bukan pengagum saya, kenapa mewawancarai?” Tapi, kata Dewi, Jagger senang karena tidak disanjung sehingga wawancara berlangsung natural.
Yang menarik, Jagger meminta Dewi datang esoknya ketika dia diwawancarai sebuah stasiun televisi setempat. “Kalian saja yang mewawancarai saya,” ucap Jagger.
Dewi pun datang ke studio televisi bersama Eric. Tapi dia bingung lagi. “Di tengah podium saya harus nanya apa? Tentang keluarganya atau istrinya?” ujarnya.
Meski demikian, Dewi bercerita, wawancara berjalan lancar karena Jagger memberitahukan lagu-lagu yang ia nyanyikan. “Setelah wawancara, kami berempat bersama Mick Jagger dan asistennya ketawa terpingkal-pingkal. Ternyata ada wartawan yang tidak tahu siapa Mick Jagger,” tutur Dewi. Hasil wawancara dengan Mick Jagger itu terbit di majalah Tempo edisi 29 Oktober 1988.
Pengalaman berkesan itulah yang Dewi kenang sebelum divonis menderita kanker. Dokter yang merawatnya di Rumah Sakit Austin, Melbourne, tidak tahu pasiennya ini menderita apa. Batuk tak henti, napas makin berat. “Seperti mencoba mengayuh perahu reyot di samudra luas, Di!” tulisnya dalam pesan pendek menjelang dirawat di rumah sakit.
Novelis, penulis, dan jurnalis yang hangat itu berpulang pada usia 79 tahun. Upacara kebaktian untuk mengantar jenazahnya berlangsung di All Saints Anglican Church Kooyong, Melbourne, pada 29 Juli 2024, dipimpin Pendeta Kuncoro Rusman. Setelah itu, upacara pemakaman digelar pada pukul 11 siang waktu setempat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo