Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG anak kecil dan tiga perempuan berjalan kaki melintas di daerah pesisir. Nun di bawah langit biru, terhampar lautan berwarna kehijauan. Seekor anjing, kucing hitam, dan aneka burung serta kupu-kupu besar turut mengiringi perjalanan rombongan itu. Penonton pun seperti diajak ikut oleh lukisan dengan sapuan cat akrilik berkelir semarak yang berjudul Ziarah ke Alam HG (Hendra Gunawan) tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya buatan Herry Dim pada 2023 itu berangkat dari kerinduan. Dulu, ketika Hendra Gunawan masih hidup, Herry tak sempat bertemu walau istrinya, penari Ine Arini, punya hubungan keluarga dengan pelukis maestro itu di Bandung. “Bukan dilarang ketemu, tapi Hendra Gunawan setelah keluar dari penjara di Kebonwaru tinggal di Bali,” kata Herry selepas pembukaan pameran tunggalnya yang berjudul “Pilgrim”, Kamis, 18 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga 18 Agustus 2024, seniman gaek yang lahir di Bandung, 19 Mei 1955, itu menghadirkan karya instalasinya dalam pameran di Galeri Orbital Dago, Bandung. Selain deretan lukisan di tembok, ada cobek, cabai merah berbungkus daun, serta beberapa sosok karakter berbahan plastik mika yang disebut wayang motekar (kreatif). Dalam pamerannya kali ini, Herry getol menggunakan bahasa simbol dari judul hingga gambar.
Dia sendiri menjelmakan diri menjadi manuk cangkurileung alias burung ketilang dalam lukisannya. Herry, yang merasa terpenjara seperti dalam lukisan berjudul Alone within Covid19 Walls, terbang menyapa René Magritte, seniman surealis Belgia yang wafat pada 1967. Si Cangkur, nama tokoh burung itu, juga guyon dengan pisang busuk yang terinspirasi karya instalasi seniman Italia, Maurizio Cattelan. Gagasan karya Herry juga terpengaruh pelukis lain, seperti Edvard Munch dan Pablo Picasso. “Angan dan khayal berkelana menyapa siapa pun demi gairah hidup,” ujarnya.
Lukisan berjudul Ngarot Merak Dampit (kiri) dan Nyi Pohaci Saba Tuscany karya Herry Dim di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 18 juli 2024. Tempo/Prima Mulia
Lewat lukisan Nyi Pohaci Saba Tuscany yang kini telah dimiliki seorang kolektor, Herry membawa sosok beralias Dewi Sri itu pergi melancong ke Tuscany. Tempat di Italia yang menjadi kampung halaman Leonardo da Vinci itu diduga menjadi latar lukisan Mona Lisa. Dari alam seni masa silam, persinggahannya tertuju ke realitas dunia sekarang. Tema lukisannya bersambung dengan situasi hiruk-pikuk politik seputar pemilihan presiden dan wakilnya seperti dalam lukisan berjudul Nyiliwuri (Demikianlah Politisi).
Kemudian ada Ngarot (Meruwat Indonesia) yang judulnya ditambahi deretan kode angka. Lukisannya menggambarkan cobek-cobek berisi air yang melayang di langit. Di bawahnya ada sebuah mobil mainan dari kulit jeruk berbendera Merah Putih, juga empat tusuk cabai merah dan bawang. “Diam-diam saya menangisi Indonesia,” ucap Herry. Rasa pilunya juga tercurah pada kanvas lukisan bertajuk A Cry for Rafah, Gaza, Palestinian People.
Kekaryaannya dalam pameran “Pilgrim” ini adalah semacam rangkaian peristiwa dan proses yang berlangsung enam tahun terakhir. Sosok figur yang tampil kebanyakan merupakan tokoh wayang motekar. Herry mengerjakan wayang itu seiring dengan proses dan pementasan Metateater: Dunia Tanpa Makna pada 1990. Gambar tokoh wayangnya terinspirasi celoteh dan cerita bocah-bocah yang mampir ke rumah untuk berlatih menggambar atau menari.
Tokoh Pademo, misalnya, digambarkan dengan mulut berbentuk pelantang suara. Lalu ada Magadon yang berupa gajah bertubuh gemuk, Kadal Hejo yang mirip reptil bertaring, Jurig Jungkir sebagai manusia yang berjalan terbalik, dan Si Lidah Api yang menyemburkan api dari mulutnya. Adapun tokoh manusia kerbau, yaitu Jelemun, disebut Herry merupakan bentuk kekagumannya kepada Picasso yang menggambar perkelahian banteng.
Wayang motekar pada awalnya hanya dibuat setinggi 10-12 sentimeter untuk dimainkan di alat overhead projector atau OHP. Herry kemudian membuatnya seukuran wayang kulit. Tokoh-tokohnya pun bertambah ketika dia memainkan lakon berjudul Si Acung di Alam Jelemun, juga Si Acung jeung Kiara di Leuweung Dangiang yang berlandaskan naskah drama anak-anak berjudul Kalpataru karya Saini K.M.
Awalnya wayang motekar sepenuhnya dimainkan oleh anak-anak kelas III-VI sekolah dasar. Sejak berpentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 2003, Herry mulai mengajak dalang. Pementasan terbarunya adalah di Teater Salihara, Jakarta, pada 2022 dengan dalang Opick Sunandar. Sebelumnya, sejak 2018, Herry berupaya mengumpulkan sketsa dan gambar asli wayang motekar yang tidak terurus. Akhirnya dia memutuskan menggambar ulang sebanyak 24 tokoh wayang serta dekorasi lingkungannya, seperti pohon, awan, dan gunung.
Agar gambar itu tidak rusak atau hilang lagi, proses menggambar ulang dilakukan dengan teknik digital menggunakan komputer. Herry agak kepayahan memulainya hingga pernah ingin membatalkannya. Terbiasa menggambar langsung dengan pensil atau pena, tangannya kini harus akrab dengan tetikus. Gambar pertamanya adalah gunungan yang lebih rumit dibanding wayang lain. Ketika datang pandemi Covid-19, penggarapan dokumentasi itu terganggu, hingga muncul keinginannya melukis di kanvas.
Pengalaman terkurung di rumah, kecemasan akibat anak-anaknya terinfeksi virus corona, dan masker yang menjadi benda keseharian menggoda Herry untuk berkarya. “Susunan dinding, masker, dan langit langsung menjadi gambar di dalam kepala,” katanya. Aneka gambar wayang yang dikerjakan sebelumnya dan disimpan di komputer lantas dicetak untuk dilukis, terkecuali masker yang digambar langsung dari bentuk aslinya.
Karya-karya Herry Dim dalam pameran Pilgrim di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 18 juli 2024. Tempo/Prima Mulia
Pameran “Pilgrim”, menurut kurator Rifky Effendy, seolah-olah menjadi cara Herry untuk terus intens mengembangkan dan menghidupkan wayang motekar. Caranya adalah menggunakan bentuk lukisan yang melibatkan teknologi. “Sambil membicarakan berbagai soal kehidupan sosial yang terjadi saat ini serta dunia kreatifnya,” ucapnya.
Mulai berkiprah dalam pameran kelompok pada 1975, Herry Dim mengawali pameran tunggal karyanya pada 1986 dengan judul “Senirupa Ritus - Ritus Senirupa”. Dia juga pernah menggelar pameran tunggal lukisan dan seni instalasi “Ruang Tamu Tak Berpenghuni” (1994) serta “Instalasi Bebegig” (1994); “Doa bagi Negeri” (2001); “The World of Children and Hopes” di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss (2008); juga “When I’m 64” dan peluncuran buku Anuning Ning untuk mengenang W.S. Rendra pada 2017.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo