Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Museum Imam Bonjol didirikan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, dan menyimpan sejumlah koleksi.
Sebagian koleksi merupakan sumbangan masyarakat yang diduga benda-benda dari masa Perang Padri.
GEDUNG yang berada di Jalan Lintas Sumatera, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, itu tampak sepi pada Rabu, 12 Juni 2024. Gedung berdesain rumah gadang dengan atap berbentuk tanduk atau gonjong ini kira-kira luasnya dua kali lipat lapangan bola basket. Di depan gedung, patung Tuanku Imam Bonjol bercat putih terlihat mengacungkan pedang dan menunggang kuda dengan gagah. Inilah Museum Tuanku Imam Bonjol. Di sini juga berdiri Monumen Tugu Khatulistiwa, yang didirikan karena lokasinya terletak di garis khatulistiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah plang bertulisan “Museum Imam Bonjol” tertempel di pintu masuk. Saat mendatangi museum itu, pengunjung akan disambut lukisan wajah Tuanku Imam Bonjol karya Jenderal Hoegeng, mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan bubuhan tanda tangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak tampak satu pun pengunjung, hanya ada seorang penjaga museum yang terlihat sedang membersihkan koleksi. Di ruangan sebelah kanan, kita akan menyaksikan puluhan senjata yang digunakan saat berkecamuknya Perang Padri dan benda-benda adat khas suku Minangkabau. Di lantai 2, pengunjung dapat menemukan barang-barang kuno, seperti peralatan dapur dari kuningan atau tembaga, uang kuno, keramik antik, serta berbagai alat musik tradisional, di antaranya gamelan dan gong beragam ukuran.
Meskipun lantai ini menampilkan benda-benda yang tidak sepenuhnya terkait dengan Tuanku Imam Bonjol, koleksi itu memperkaya pengetahuan pengunjung tentang budaya dan sejarah Minangkabau. Museum juga menampilkan model pakaian kebesaran yang pernah dipakai oleh ulama dan pahlawan nasional, termasuk Tuanku Imam Bonjol. Koleksi ini memberikan wawasan tentang gaya hidup dan tradisi berpakaian masa lampau.
Tumpukan naskah peninggalan Tuanku Imam Bonjol di rumah Ali Usman. Foto: Arsip Pramono
Koleksi museum juga mencakup beberapa naskah kuno dan uang kertas lama. Sayangnya, beberapa naskah kuno telah hilang karena dicuri sehingga replika dibuat untuk menggantikannya. Analis koleksi Museum Tuanku Imam Bonjol, Deny Yos Hendri, mengatakan pembangunan museum dimulai pada Oktober 1987 dan selesai pada 1990. Pada 1998, pengelolaan museum ini resmi diserahkan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kepada Pemerintah Kabupaten Pasaman di bawah naungan Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan.
“Kami punya koleksi berjumlah 541 buah. Itu ada berupa numismatika dan historika. Ada pula karya dan arkeologika, seperti pakaian, logam, dan keramik. Kemudian bentuk mata uang ada empat jenis,” katanya.
Deny menerangkan, kebanyakan koleksi di Museum Imam Bonjol merupakan peninggalan Perang Padri, baik rampasan perang dari Belanda maupun koleksi masyarakat. “Setelah museum ini didirikan, banyak orang Bonjol yang menyerahkan peninggalan warisan orang tuanya, seperti piring dan alat makan yang diduga peninggalan Perang Padri,” ucapnya.
Meski sepi tak banyak kunjungan, pihak museum setiap tahun mengadakan acara untuk mengenalkan Imam Bonjol kepada masyarakat. “Ya, cara kami mengenalkan sosok Imam Bonjol dengan mengadakan kegiatan mewarnai dan menggambar di museum,” katanya.
Sementara itu, naskah tentang Imam Bonjol tidak disimpan di museum tersebut, tapi di Dinas Kearsipan dan Kepustakaan Sumatera Barat. Pramono, filolog Universitas Andalas, Padang, mengatakan M. Ilyas Sutan Chaniago adalah orang yang menyerahkan naskah tersebut kepada pemerintah Sumatera Barat pada 1983. Hal itu dilakukan untuk menjaga dan merawat naskah. Pramono mengatakan masyarakat dan pemerintah setempat mengakui M. Ilyas sebagai salah satu keturunan Naali Sutan Chaniago, putra Imam Bonjol.
Sejumlah arsip dan dokumen mengenai Imam Bonjol diduga masih tercecer di berbagai tempat. Pramono bercerita bahwa di Kampung Chaniago, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman, tersimpan beberapa naskah tentang Tuanku Imam Bonjol yang merupakan peninggalan berharga. Ia pernah datang ke Kampung Chaniago dan menjumpai Ali Usman Datuak Buruak, salah satu tokoh masyarakat di sana, pada 2014.
Pramono menerangkan, Ali Usman diakui sebagai kerabat M. Ilyas Sutan Chaniago. Saat itu ia mendapatkan tumpukan naskah dan sejumlah arsip, termasuk dokumen mengenai Tuanku Imam Bonjol. Tumpukan dokumen itu dibungkus plastik dan diletakkan di bawah tempat tidur Ali di rumahnya yang sederhana.
Di antara dokumen itu terdapat surat dari Bank Indonesia yang berisi permohonan izin penggunaan gambar Tuanku Imam Bonjol pada uang kertas pecahan Rp 5.000. Ada juga surat permohonan izin dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini Tentara Nasional Indonesia) untuk menggunakan nama Tuanku Imam Bonjol buat kapal perang. Dokumen-dokumen ini menambah nilai sejarah dan pentingnya peran Tuanku Imam Bonjol dalam sejarah bangsa Indonesia.
Pramono mengatakan keberadaan naskah dan dokumen ini mencerminkan harta karun sejarah sering kali terabaikan dan tidak diperlakukan dengan layak. Padahal sejumlah arsip atau dokumen ini adalah saksi bisu perjuangan dan kebesaran tokoh nasional seperti Tuanku Imam Bonjol. “Upaya pelestarian dan pelindungan yang lebih baik diperlukan agar generasi mendatang tetap dapat belajar dan mengambil inspirasi dari sejarah ini,” ujarnya.
Pramono sempat kembali ke Kampung Chaniago dan bermaksud menemui Ali Usman pada 2022. Namun Ali telah meninggal tiga tahun sebelumnya. Ia tak mengetahui nasib sejumlah arsip atau dokumen tersebut. Mungkin arsip-arsip tersebut ada di tangan keluarga Ali.
Namun informasi soal keturunan Imam Bonjol ini pun, dia menjelaskan, masih belum jelas. Pramono mengatakan belum bisa memastikan siapa saja keturunan Imam Bonjol karena banyak orang yang mengklaim sebagai keturunannya. Dia mengungkapkan, masyarakat dan pemerintah mengakui Ali Usman sebagai salah satu keturunan Imam Bonjol. Terdapat cerita masyarakat bahwa ada keturunan orang Minahasa di sekitar Bonjol. Hal ini berkaitan dengan cerita lain bahwa Naali Sutan Chaniago mempunyai istri orang Minahasa yang dibawa ke Pasaman.
Arbi Tanjung, salah seorang budayawan yang juga warga Bonjol, menjelaskan, agak sulit menemukan keturunan Tuanku Imam Bonjol. Dia mengungkapkan, banyak orang yang mengklaim sebagai keturunannya, tapi belum bisa dibuktikan.
Selain menjelaskan soal museum, Deny Yos Hendri menceritakan sisa-sisa peninggalan era Imam Bonjol berupa benteng yang letaknya 2 kilometer dari museum. Masyarakat menamainya Benteng Tak Jadi, sebuah kawasan perbukitan seluas 90 hektare. Konon, tempat ini merupakan lokasi bermukim Tuanku Imam Bonjol beserta kerabatnya. Bukan hanya itu, Benteng Tak Jadi juga menjadi tempat mempelajari agama dan silat serta berkumpulnya para ulama dan tokoh Siak pada masa tersebut.
Benteng Tak Jadi masuk Kecamatan Bonjol dan dulu merupakan benteng pertahanan dari serangan Belanda dari arah utara saat berlangsungnya Perang Padri. Perang ini melibatkan tiga tokoh pemimpin, yakni Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Nan Tambusai. “Sayangnya, benteng itu belum bisa diakses oleh semua orang karena jalan yang belum memungkinkan. Saat ini masyarakat sedang berupaya memperbaiki jalan tersebut,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sisa Imam Bonjol di Tanah Kelahirannya"