Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang majelis itu lengang, Kamis pekan lalu. Sebagian karpet terhampar di ruangan. Sisanya digulung di bawah tangga kayu. Terletak di Jalan Veteran III, Banjarwangi, Ciawi, Bogor, Jawa Barat, identitas bangunan dua lantai itu terpacak di dinding jurai. Di situ tertulis kaligrafi berbunyi "As-Syifa".
Pemilik gedung itu Mochammad Hatta, mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Thailand, yang tinggal di sebelahnya. Nama politikus Partai Golkar itu tertulis pada prasasti peresmian, yang ditancapkan di pekarangan. Dalam susunan pengurus majelis taklim yang dipampang pada tripleks putih di dinding ruangan, Hatta ditulis sebagai pembina.
Menurut Rahmat, petugas keamanan rumah itu, pengajian Majelis Taklim As-Syifa biasanya digelar saban Ahad pagi. Jemaah, yang sebagian besar berasal dari Ciawi, menurut dia, menjejali bangunan dengan luas setiap lantai 7 x 15 meter itu. "Setiap kali pengajian pasti ramai," kata Rahmat.
Dibangun mulai pertengahan 2003, As-Syifa diresmikan Hatta pada 31 Juli 2005. Sejak Hatta menjadi Duta Besar di Bangkok pada Juni 2008, majelis itu sepenuhnya dikelola Sri ÂWahyuni. Adik Hatta, Mochammad Rusdi, mengatakan Sri adalah istri abangnya. Menurut sejumlah informasi, Sri adalah istri keempat sang Duta Besar.
Bukan bangunan biasa, tempat kelompok pengajian itu pernah masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyebabnya, Sri diduga mencairkan lima lembar cek pelawat. Nomor serinya ternyata berurutan dengan cek yang digelontorkan ke politikus Senayan pada saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Juni 2004.
Diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada 26 Juni 2009, Sri menyampaikan cerita versinya soal asal-muasal lima lembar cek itu. Dia mengatakan, suatu malam pada 2004, sekitar pukul 20.00, pintu rumahnya diketuk seorang pria gelap, kurus, dan berambut ikal. Tinggi badannya sedang. Sri menuturkan, sang tamu mengaku bernama Husni Thamrin. "Saya belum pernah bertemu dia sebelumnya," kata Sri, seperti tertera pada berita acara pemeriksaan.
Menurut Sri, Husni Thamrin kemudian menyodorkan lima lembar cek pelawat BII bernomor seri 135010456 hingga 13501460. Nilainya masing-masing Rp 50 juta. "Katanya, Ibu sedang membangun majelis. Ini dari hamba Allah," ujar Husni ditirukan Sri. "Ini dari siapa?" Sri bertanya. Lelaki itu menjawab, "Hamba Allah." Ditanya sekali lagi, sang tamu menyatakan, "Bilang saja ini dari Bapak Husni Thamrin."
Ketika itu, Majelis Taklim As-Syifa dalam pembangunan. Disodori cek, Sri akhirnya menerimanya. Pada 30 November 2004, Sri kemudian mencairkan cek itu di BII cabang Bogor. Sri mengaku menggunakan duit hasil pencairan cek senilai Rp 250 juta itu untuk membeli bahan bangunan gedung majelis taklim dan membayar tukang.
Menurut perempuan kelahiran 1967 ini kepada penyidik, bantuan untuk membangun gedung dihimpun dari sumbangan perorangan, berupa bahan bangunan, uang tunai, plus cek pelawat pemberian "Husni Thamrin". Sri berkukuh tak mengetahui identitas pemberi cek.
Dari situ, Hatta terhubung ke perkara suap pada saat pemilihan Miranda Goeltom. Selama ini, Hatta nyaris tak tersentuh dalam penyidikan. Namanya baru dihubungkan dengan kasus cek pelawat ketika Nunun Nurbaetie, tersangka perkara itu, lari ke Thailand. Sebagai duta besar, Hatta kerap menyiarkan informasi ihwal pelarian ini.
Ketika kasus terjadi, Hatta menjabat Ketua Fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat. Hamka Yandhu, anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Golkar, mengatakan memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia lantaran diarahkan fraksi. Ketika itu, Fraksi Partai Golkar dipimpin Hatta.
Pada 8 Juni 2004, Miranda akhirnya terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Malam setelah pemilihan, sekitar pukul 20.30, Hamka bersama koleganya, Azhar Muchlis, meluncur ke kantor PT Wahana Eka Sejati, perusahaan Nunun Nurbaetie, di Jalan Riau, Jakarta. Kepergian mereka tak lain untuk menagih cek yang dijanjikan Nunun bila Miranda terpilih.
Dari Ahmad Hakim Syafari alias Arie Malangjudo, anggota staf Nunun, Hamka dan Azhar menerima sebuah amplop cokelat besar berisi lusinan amplop kecil berwarna putih. Hamka sempat melihat isi amplop cokelat. Pada setiap amplop putih tertera nama-nama koleganya di Komisi Keuangan dari Golkar. Setelah membagikan cek malam itu juga dan keesokan harinya, Hamka mengambil jatah 45 lembar cek senilai Rp 2,25 miliar dari 147 lembar cek yang totalnya Rp 7,35 miliar.
Menurut Hamka, dari 147 lembar cek itu, ada 10 lembar cek senilai Rp 500 juta yang semula merupakan jatah Muhammad Slamet Hidayat—kini Menteri Perindustrian. Tapi, kata Hamka, jatah untuk M.S. Hidayat akhirnya diserahkan kepada Ketua Fraksi Mochammad Hatta senilai Rp 300 juta dan Sekretaris Fraksi Yahya Zaini sebesar Rp 200 juta.
Inilah yang masih remang-remang. Nomor seri cek yang dicairkan Sri ÂWahyuni di BII cabang Bogor sama persis dengan yang pernah diterima Hamka dari Arie Malangjudo. Dalam berita acara penyitaan cek Hamka Yandhu, cek bernomor seri 135010456 hingga 13501460 itu disebut sebagai bagian dari 45 lembar cek jatah Hamka.
Namun Hamka mengaku menyerahkan jatah M.S. Hidayat kepada Hatta dalam bentuk tunai. Setelah cek dicairkan pegawainya yang bernama Patricia Sibarani, duit dimasukkan ke rekening Hamka di Bank Mega. Dari rekening itulah Hamka kemudian menarik duit untuk Hatta dan Yahya. Duit untuk mereka diserahkan langsung oleh Hamka di ruangan masing-masing.
Bagaimana cek yang nomor serinya persis tadi bisa sampai ke "Husni Thamrin"—kalau benar-benar ada—sebelum pindah tangan ke Sri WahÂyuni? Inilah yang masih menggantung. Lewat telepon selulernya, seorang pria yang menyatakan diri sebagai asisten Hamka menjawab bosnya sedang melakukan rapat di suatu tempat. Setelah itu, telepon Hamka sukar dihubungi.
Adapun Hatta menolak ditemui. Tapi ia sempat membantah soal cek yang diduga sampai ke tangannya. "Saya tidak pernah menerima dan tidak tahu-menahu tentang adanya cek pelawat untuk memenangkan Miranda Goeltom," katanya. Didatangi di rumahnya dan di Majelis Taklim As-Syifa—syifa berarti obat—berulang kali sepanjang Kamis dan Jumat pekan lalu, Sri Wahyuni selalu menghindar. "Ibu dan Bapak sedang keluar. Semalam berangkat, tidak tahu ke mana," kata Ano, juga penjaga keamanan di rumah itu.
Kedekatan Hatta dengan kasus cek pelawat menimbulkan kecurigaan Komisi Pemberantasan Korupsi ketika hendak menangkap Nunun di Thailand pada Desember lalu. Seseorang yang tahu soal ini menyatakan Hatta sempat berkeras agar Nunun diserahkan dari Kepolisian Thailand ke Kedutaan Besar RI di Bangkok. Dia bercerita, Hatta ingin Nunun dipulangkan dengan ekstradisi.
Tim penjemput KPK sempat gusar karena proses ekstradisi bisa memakan waktu berbulan-bulan. Padahal Nunun sudah di tangan dan tinggal dibawa ke Indonesia. Jengkel dengan ulah Hatta yang dianggap menghambat pemulangan, seorang anggota tim penjemput Nunun menelepon Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Menurut informasi, Marty kemudian menegur Hatta agar jangan menghambat KPK. Ditegur Marty, Hatta akhirnya melunak. Nunun diserahkan di atas Garuda seperti rencana semula.
Menteri Marty tak menjawab pertanyaan yang dikirimkan. Hatta membantah telah menghambat pemulangan Nunun. "Prosedur dan mekanisme penangkapan Nunun di Bangkok sesuai aturan," katanya.
Anton Septian, Kartika Chandra (Jakarta), Arihta U. Surbakti (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo