Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nova Noviana (24 tahun), hakim Pengadilan Agama Bantaeng di Sulawesi Selatan, menceritakan mengenai perspektif masyarakat yang menilai pekerjaan hakim terbilang mudah. Padahal, menjadi hakim di daerah juga memiliki tantangan tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kadang ada yang ngomong 'wah, hakim ini kerjanya enak cuma ngetuk palu doang, sejuk di ruang persidangan pakai AC'," kata Nova saat mengunjungi kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, Kamis, 10 Oktober 2024. "Tidak semua seperti itu, kami kan ada namanya pemeriksaan setempat (discente)."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan pemeriksaan setempat diperlukan untuk memeriksa dan memastikan objek perkara. Misalnya, dalam kasus sengketa tanah.
Pada tahun ini saja, Nova telah memeriksa puluhan objek perkara dalam pemeriksaan setempat. Menurutnya, medan yang harus dilalui untuk memeriksa objek perkara itu tidak mudah. "Gunung, jurang, di tengah hutan," ujarnya.
Terkadang bahkan kendaraan tidak bisa melalui medan tersebut. Sehingga hakim harus berjalan kaki untuk melakukan pemeriksaan setempat. "Ini yang saya ceritain pengalaman pribadi, di bulan Ramadan jalan kaki beberapa kilometer," tutur Nova.
Kendati demikian, menurutnya hal tersebut sudah tuntutan pekerjaan. "Tapi mau bagaimana lagi? Kami harus melihat objek tersebut meski tanpa pengamanan."
Memang pengadilan bisa berkoordinasi dengan pihak keamanan setempat seperti Bintara Pembina Desa atau Babinsa. Namun, ia menilainya belum cukup, apalagi jika massa menggeruduk hakim saat pemeriksaan setempat.
"Di saat kami di tengah hutan antah berantah, kami hanya ditunjukkan oleh para pihak, tiba-tiba ada massa datang, ya habislah kami," tutur Nova.
Jadi, ujarnya, terkadang publik tidak mengetahui hal-hal seperti ini. Sebab, seringkali yang menjadi sorotan adalah hakim-hakim di kota besar saat bersidang di pengadilan.
"Padahal, kami ini yang di daerah punya struggle-struggle seperti itu, yang tidak mudah," ujar Nova. "Sedangkan kesejahteraan kami, keamanan kami, itu tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah."
Sebelumnya, ribuan hakim se-Indonesia yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) melakukan gerakan cuti bersama ada 7-11 Oktober 2024. Ratusan di antaranya terbang ke Jakarta untuk melakukan audiensi dengan Mahkamah Agung, Ikatan Hakim Indonesia, Komisi Yudisial, Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan lembaga-lembaga lain.
Para wakil Tuhan itu menyuarakan empat isu yang mereka anggap krusial. Pertama, pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2018 terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.
Dalam putusan hak uji materiil nomor 23 itu, MA menyatakan sejumlah pasal di dalam PP Nomor 94 Tahun 2012 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Di antaranya Pasal 3 Ayat (2) yang berbunyi "ketentuan dan besaran gaji pokok hakim sama dengan ketentuan dan besaran gaji pokok pegawai negeri sipil."
Isu kedua adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. SHI menilai pengesahan RUU tersebut akan menjamin kemandirian dan martabat hakim sebagai pilar utama peradilan.
Ketiga, adanya peraturan perlindungan jaminan keamanan bagi hakim. Menurut SHI, hakim yang menjalankan tugas negara berhak mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan agar dapat bertugas tanpa rasa takut atau terancam.
Keempat, pengesahan RUU Contempt of Court. SHI menyebut pengesahan ini menjadi upaya untuk menjaga kewibawaan peradilan dan memberikan perlindungan terhadap proses peradilan dari segala bentuk intervensi dan penghinaan.