Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita Lalu Musibah kapal

Ombak besar itu dulu ditakuti karena dianggap membahayakan kapal. Kini jadi festival.

16 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waktu menunjukkan hampir pukul 10.00 ketika sampan kayu Muhammad Zaini, 65 tahun, merapat ke dermaga Teluk Meranti, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Bersama Darisah, 50 tahun, istrinya, yang mengenakan kerudung merah jambu, ia mengayuh sampan dari rumahnya di Kampung Tanjung Mentangur, Desa Teluk Binjai, sekitar setengah jam ke arah hulu dari Teluk Meranti. Hari itu, Rabu ketiga November lalu, Zaini sudah siap berkompetisi dalam Festival Bekudo Bono 2013.

Untuk kegiatan bertaraf internasional yang baru pertama kali digelar itu, Zaini sengaja membeli papan selancar. Empat hari sebelumnya, ia khusus bertandang ke Padang untuk membeli papan bekas pakai seharga Rp 2,7 juta. "Ini pertama kali saya mencoba papan yang baru saya beli," ujar Zaini tentang papan sepanjang dua meter itu sambil berjalan menuju meja panitia untuk mengambil nomor urut.

Meski usianya sudah lanjut, badan Zaini masih terlihat tegap. "Bekudo bono sudah sering, tapi dulu dengan sampan. Belum ada yang kenal papan surfing," kata pria yang dulu berprofesi sebagai penebang kayu itu. Dalam kompetisi berselancar di ombak bono di Sungai Kampar itu, Zaini menjadi peserta tertua-satu-satunya peserta dengan usia kepala enam.

Lain lagi dengan Ficky Lestari, 16 tahun. Siswi kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Teluk Meranti itu selalu menjadi incaran media massa. Pasalnya, ia satu-satunya peselancar perempuan yang ikut serta dalam kompetisi ini. Selain itu, ia tercatat sebagai peserta termuda. "Di koran, saya dikasih julukan Srikandi Bono," ujar remaja yang berpotongan rambut pendek dan bertubuh kurus ini. Untuk ikut perhelatan bekudo bono ini, Ficky rela membolos sekolah. Ledekan teman-teman sekolahnya dan ancaman tak naik kelas ia abaikan demi mengejar bono. "Boleh tak boleh, saya nekat!" katanya.

Bekudo bono, istilah lokal untuk menunggang ombak bono, bukan barang baru bagi Ficky. Ketika kecil, dia sering mengarungi bono menggunakan balok kayu yang mengapung di air. "Sejak umur 10 sudah sering main," ujarnya. Baru belakangan, ketika bule-bule datang, ia mengenal papan selancar. "Dapat papan pertama kali dari surfer Prancis," kata Ficky.

Selain Zaini dan Ficky, ada sekitar 30 warga lokal ikut meramaikan festival berselancar bekudo bono kategori amatir. Virus berselancar ini menular cepat sejak 2010, setelah kedatangan Antony Colas, pemburu ombak asal Prancis yang mempromosikan bono kepada dunia. Mulai bocah hingga kakek-kakek menggandrunginya. Di Desa Teluk Meranti-yang tak kebagian jatah listrik pada siang hari-tersedia puluhan papan selancar untuk dipakai warga setempat. Sebagian papan selancar itu merupakan lungsuran dari peselancar asing. Ada juga papan yang dibelikan Dinas Pariwisata Pelalawan.

Kedatangan peselancar internasional mengubah cara pandang masyarakat setempat terhadap bono. Dulu bono ditakuti karena kerap dikaitkan dengan musibah kapal karam. Perubahan itu setidaknya terekam dalam ingatan Dedy Endoni alias Edy Bono, 31 tahun. Dia termasuk pemuda lokal pertama yang diajak Colas memburu bono. Meski berbadan besar, Edy takut begitu diajak ke tengah sungai melihat bono. "Aku sampai terkencing-kencing lihat ombak sebesar itu," ujarnya.

Tapi kini Edy fasih berselancar. Ia bahkan dipercaya menjaga aset Colas yang disimpan di Teluk Meranti. Pada 2011, Colas membuat organisasi Bonosurf dan membeli dua jetski dan dua speedboat karet serta membangun gudang tiga lantai di tepi sungai. Alat-alat itu dibeli untuk memfasilitasi peselancar yang ingin mengarungi bono. Edy, yang dulu hanya bekerja sebagai tukang kayu, kini mendapat gaji tambahan dari Bonosurf. "Kalau surfer mau ke bono, mesti aku yang dihubungi," kata Edy dengan bangga.

"Keangkeran" bono tak lepas dari cerita rakyat dan mitos yang berkembang. Lurah Teluk Meranti Hasan Ebit, 80 tahun, mengatakan dulu bono bisa mencapai ketinggian enam meter. Ketinggian bono itu menurun mulai 1992, ketika Waduk Pembangkit Listrik Tenaga Air Koto Panjang di Kecamatan XIII Koto Kampar dibangun. "Sekarang sudah jauh lebih kecil," ujarnya.

Tapi keseraman bono itu justru berbuah berkah bagi warga Teluk Meranti, khususnya pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. "Daerah sini bebas penjajah. Kapal mereka tak bisa masuk karena bono," ujarnya. "Dulu gerilyawan Indonesia berlindung di hutan sini. Ayah saya yang menyediakan makanan," kata Hasan.

Deru ombak zaman dulu, menurut Hasan, juga jauh lebih keras dibanding sekarang. Gemuruh bono sudah terdengar satu jam sebelum ombak itu sampai ke Teluk Meranti. Sampai-sampai muncul anekdot tentang bono sebagai penanda waktu menanak nasi. "Kalau memasak nasi saat suara ombak muncul, berarti nasi sudah matang ketika bono tiba," Hasan bercerita.

Kecelakaan kapal kerap terjadi di lintasan bono. Di antaranya kejadian pada medio 1990-an, saat sebuah tongkang pembawa paku bumi terguling diterpa bono. "Jangan tanya paku buminya ke mana. Kapalnya saja tak ditemukan," ujar Rio Firman, 31 tahun, peselancar lokal. Namun cerita tersebut sulit dikonfirmasi. Kepolisian dan dinas pariwisata setempat tak mencatat kecelakaan apa saja yang pernah terjadi di lintasan bono.

Kejadian yang cukup terekam adalah musibah tenggelamnya kapal Tuakal Express pada 13 Maret 2005. Pasalnya, kecelakaan ini berakhir dengan dipidanakannya nakhoda kapal karena dianggap lalai. Sang nakhoda kapal, Marah Lembang Samosir, 55 tahun, ingat betul musibah yang menewaskan sedikitnya 50 orang itu. "Kapal kelebihan muatan, sampai 80 orang. Saya minta turun, tidak ada yang mau," katanya.

Lembang menyatakan kecelakaan tersebut bukan karena bono. Kapal kayu berkapasitas 63 orang itu tenggelam sejam sebelum bono muncul. Berbekal 25 tahun pengalaman menjadi nakhoda, ia yakin tidak salah memperhitungkan kedatangan bono. "Tapi orang-orang selalu mengaitkannya dengan bono," ujar Lembang di rumahnya di Tanjung Batu, Kecamatan Kundur, Karimun, Kepulauan Riau, sekitar lima jam perjalanan dengan speedboat dari Teluk Meranti.

Supri, 36 tahun, nakhoda kapal Pulau Muda Express, mengatakan butuh waktu untuk mengenal bono. Mengendalikan kapal di lintasan bono bukan perkara mudah. Nakhoda harus bisa membaca mana perairan dangkal dan mana yang dalam. Kontur dasar sungai di lintasan bono memang tidak rata. Supri mengatakan kedalaman sungai bisa diterka dari bentuk riak di permukaan air. "Kalau beriak, berarti dangkal," ujarnya.

Tapi tak selamanya tebakan nakhoda benar. Kadang ada juga yang salah membaca bono. Selain melihat riak, nakhoda harus mampu membaca arah angin. Nakhoda juga mesti paham kalender bulan. Sebab, hanya berdasarkan penanggalan itulah bono bisa diukur. "Tiga bulan pasang siang, tiga bulan pasang mati, dan tiga bulan pasang malam," kata Supri.

Colas ikut memperhitungkan musim angin muson dalam menakar kedahsyatan bono. Angin muson, kata dia, membawa angin dan hujan yang membuat bono lebih besar. "Pada musim hujan, ombak pecah di hilir, sementara pada musim panas di hulu," ujarnya. Sedangkan pada musim hujan mudah mendapati ombak yang bertahan hingga satu jam. "Perasaan menunggang ombak satu jam sangat menyenangkan," ujarnya.

Ombak besar baris-berbaris itulah yang dicari peselancar profesional kelas dunia. November lalu, saat digelar Festival Bekudo Bono 2013, peselancar profesional hanya mendapati ombak level "lumayan". Ketua Persatuan Selancar Ombak Indonesia Arya Subyakto mengatakan ia mendapati ombak yang jauh lebih besar pada kunjungan sebelumnya. "Saat dulu saya ke sini, ombaknya lebih tinggi," katanya.

Juara 10 Asian Surfing Championship 2012, Pepen Hendrik, mengatakan karakter ombak bono itu gemuk, berbeda dengan ombak pantai yang tinggi dan runcing. "Kecepatannya juga tak setinggi di laut," katanya. Sedangkan bagi Dedi Gun, peselancar profesional asal Sumbawa, menjajal Bono bukan perkara laju atau ketinggian ombak. "Asyiknya di sini, ombak sangat lama. Belum pernah saya surfing sampai setengah jam," ujarnya.

Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus