Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pergumulan Teddy dengan Malam Di Jakarta

Film kedua dari trilogi karya Teddy Soeriaatmadja tentang Jakarta, malam, dan kesendirian ini tampak dibuat untuk festival.

16 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOMETHING IN THE WAY
Sutradara: Teddy Soeriaatmadja
Skenario: Teddy Soeriaatmadja
Pemain: Reza Rahadian, Ratu Felisha, Verdi Solaiman, Daniel Rudy, Yayu A.W. Unru

Seorang lelaki yang hanya bersahabat dengan malam. Dengan ilusi. Dan dengan kenikmatan semu. Seorang perempuan yang hanya bersahabat dengan malam. Dengan siksaan pada tubuh. Dengan duit yang menyertainya.

Keduanya tak tahu tujuan hidup mereka, kecuali merasa harus mencari nafkah sembari mengisi malam-malam yang sepi itu. Sang lelaki, Ahmad (Reza Rahadian), mengisinya dengan menjadi sopir taksi yang malas mencari penumpang; mengisi kebosanan dengan melakukan masturbasi di mana pun dia berada (di mobil, di ruang tengah tempat kediamannya, di kamar mandi). Sedangkan sang perempuan, Kinar (Ratu Felisha), adalah perempuan muda cantik yang menjaja dirinya setiap malam untuk mencari nafkah bagi si kecil nun di desa karena "ayahnya permisi membeli rokok dan tak pernah kembali".

Untuk beberapa menit pertama, cerita merayap dengan lambat. Sutradara tampak ingin membangun karakter dengan repetisi keseharian mereka. Ahmad: sendirian, masturbasi, sendirian, masturbasi. Di mobil, di kamar, di ruang tengah. Kinar: menjaja dirinya, sukar membuka pintu kamar kosnya, dibantu Ahmad. Dan mereka masing-masing kembali kepada kesendirian yang menggigit. Cerita mulai bertenaga ketika Ahmad dan Kinar berpaut. Satu malam bersama itu tak hanya mengguncang kehidupan Ahmad, tapi juga memberi roh pada layar. Kita mulai berkenalan dengan sang germo (dimainkan dengan baik oleh Verdi Solaiman) yang senantiasa melekat pada mangkuk mi dan sumpitnya; yang menyajikan kekejian sekaligus humor hitam. Ahmad berkembang menjadi obsesif, dan kita mulai mengikuti geraknya dengan khawatir....

Film kedua dari trilogi karya Teddy Soeriaatmadja ini memiliki roh yang sama dengan pendahulunya, Lovely Man (2011): Jakarta, malam, kesendirian. Lovely Man tak hanya berhasil meraih penghargaan internasional dan nasional, tapi juga mampu menggerakkan hati penonton. Keberhasilan itu bukan semata-mata lantaran tema transgender dan putrinya yang rindu, melainkan karena para karakternya berhasil memimpin kita untuk mengikuti cerita mereka.

Dalam film terbaru Teddy ini memang ada beberapa momen yang menyentuh saat pertemuan Ahmad dan Kinar alias Santi yang mulai saling memahami. Ade–gan monolog keren sang germo yang mengejek sekaligus menceramahi Ahmad adalah puncak yang jitu. Struktur film ini jelas ingin memperlihatkan perkembangan setiap karakter. Ketiga pemain ini, Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan Verdi Solaiman, sama sekali tidak mengecewakan. Bahkan sebetulnya merekalah yang menghidupkan layar. Tapi ternyata itu semua tetap tak cukup membangun sebuah film yang bertenaga. Rapinya struktur tak berarti film ini lantas bisa merebut emosi. Ada hal-hal kecil-gerakan "kecil", ucapan selintas, atau bahkan senyum tertahan dalam film Lovely Man yang tampil seolah-olah muncul begitu saja, lahir begitu saja (padahal pasti diatur dengan rapi oleh Teddy)-yang tampak hilang dalam Something in the Way. Hal-hal yang tampak kecil itulah-misalnya bagaimana Cahaya selalu memandang ayahnya dengan penuh rindu-yang sebetulnya membentuk karakter kuat yang kelak membangun cerita semakin solid.

Tentu ada persamaan kedua film ini yang cukup menonjol. Elemen kenaifan dan kemunafikan dalam tokoh Ahmad, yang rajin beribadah tapi kemudian menerjemahkan nasihat gurunya pada tindakan ekstrem, sebetulnya menarik. Teddy tampak selalu ingin mewakili pertanyaan kita: apakah kerohanian harus selalu identik dengan simbol atau perangkat yang dikenakan dan dikatakannya? Baik Lovely Man maupun Something in the Way sama-sama mempertanyakan hal itu.

Film Lovely Man tetap masih karya Teddy yang paling bersinar. Saya berharap film ketiga dari trilogi ini-katanya judulnya masih antara Naked dan You Can Never Stop Spring-akan menjadi penutup yang meledak. Plot yang saya dengar sudah sangat menggiurkan.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus