Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecelakaan kereta rel listrik di Bintaro adalah tragedi yang seharusnya bisa dihindari. Itu kalau pemerintah mau berbenah sejak awal. Namun, setelah enam nyawa melayang dan 80 penumpang terluka, baru berbagai pihak mendesak perlunya pembenahan itu.
Kereta api di negeri ini sungguh jauh dari nyaman dan aman. Salah satu biang keroknya adalah perlintasan sebidang, tempat mobil, sepeda motor, gerobak, kereta, dan pejalan kaki bertemu tumplek blek. Ramuan maut ini diperparah oleh perilaku berkendara yang seradak-seruduk tanpa peduli peluit kereta melengking. Situasi inilah yang mewarnai hari-hari di perlintasan kereta Bintaro, lokasi kecelakaan, pekan lalu. Pada 1987, kawasan Bintaro juga menjadi saksi kecelakaan kereta terburuk dalam sejarah transportasi Indonesia, yang menewaskan 156 orang.
Perlintasan sebidang pantas membikin risau. Menurut PT Kereta Api Indonesia, saat ini ada 516 perlintasan seperti itu di seluruh Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Hanya 186 lintasan dijaga dan 133 lintasan tidak dijaga. Sisanya, 197 titik, adalah perlintasan liar yang dibuat warga untuk mempersingkat rute jalan.
Padahal pembangunan lorong (underpass) atau jalan layang (flyover) bisa dilakukan. Kantor Wakil Presiden dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun sudah menggagasnya sejak dua tahun lalu. Tapi, konon, rencana tertunda lantaran Kementerian Perhubungan berniat membangun rel kereta atas (elevated train) di dalam kota. Celakanya, rencana tinggal rencana.
Perkara tak berhenti di perlintasan sebidang, tapi juga perawatan rel dan sistem sinyal. Jika sistem sinyal dan rem ngadat, ribuan penumpang KRL Jabodetabek telantar. Masih ada lagi gangguan lain, yakni pasokan listrik penggerak kereta cenderung fluktuatif. Voltase listrik tak jarang jatuh di bawah 1.100 volt, dari idealnya di rentang 1.100-1.800 volt. Akibatnya, kualitas penyejuk udara, mesin lokomotif, dan berbagai onderdil kereta gampang tergerus. Kenyamanan dan keselamatan perjalanan jadi taruhan.
Kusut memang jagat perkeretaapian negeri ini. Tapi PT KAI bukan satu-satunya yang perlu dijewer. Perawatan rel dan perlintasan, misalnya, adalah tanggung jawab pemerintah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian menyebutkan pemerintah harus membayar biaya perawatan jalan dan rel. Sayangnya, hal ini tidak pernah terjadi sehingga PT KAI harus melakukan tambal-sulam mengongkosi perawatan rel. Padahal dana tersebut bisa digunakan untuk peningkatan jumlah dan kualitas kereta.
Berbagai hal ini jadi bukti ketidakseriusan pemerintah mendorong transportasi publik. Sebuah sikap yang patut disayangkan, seolah-olah pemerintah tak sanggup berhitung tentan prioritas kepentingan publik. Di Jabodetabek, kontribusi KRL tak bisa diremehkan bagi Jakarta yang selalu didera macet. Saban hari kereta listrik ini menopang pergerakan 500 ribu warga Jabodetabek. Daya angkut ini terus digenjot hingga mencapai 1,8 juta orang setiap hari pada 2018. Bukan cuma mobilitas yang lebih efisien, pembenahan KRL pun jelas bakal menolong APBN, yang selama ini terhuyung-huyung lantaran terbebani subsidi bahan bakar minyak.
Tragedi Bintaro adalah peringatan serius. Kehebohan pascatragedi, belasungkawa kepada keluarga korban, tidaklah cukup. Hentikan saling tuding antara pemerintah DKI, PT KAI, dan Kementerian Perhubungan. Saatnya membenahi urusan perkeretaapian, dengan sangat serius.
berita terkait di halaman 48
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo