Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Peramu yang Berpacu dengan Waktu

Peneliti berpacu dengan waktu menemukan vaksin Covid-19. Berkejar-kejaran dengan mutasi virus yang tak terkendali. 

 

25 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Vaksin Covid-19 diperlukan untuk mengendalikan pandemi.

  • Efikasi vaksin dilaporkan menurun terhadap virus varian baru.

  • Ada sejumlah ilmuwan Indonesia yang berjibaku meramu vaksin Covid-19 dengan efikasi tinggi untuk segala varian.

CARINA Citra Dewi Joe dan timnya di The Jenner Institute Laboratories di University of Oxford, Inggris, memasang mata dan telinga lekat-lekat pada perkembangan varian virus SARS-CoV-2 penyebab Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Apalagi varian terbaru yang dinamai Omicron itu dari data awal mampu mengelabui imunitas tubuh meski sudah mendapatkan vaksin Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampai Kamis, 23 Desember lalu, Omicron mengakibatkan kematian di Inggris dan Amerika Serikat. Di Inggris, pasien yang terjangkit varian ini mencapai 69.147 orang. “Kami selalu memantau kefatalan kasus karena Omicron,” katanya saat diwawancarai via Zoom, Jumat, 17 Desember lalu.

Omicron ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai varian yang menjadi perhatian (VOC)—kategori tertinggi dalam klasifikasi varian virus—pada 26 November 2021 atau dua hari setelah National Institute for Communicable Diseases (NICD) Afrika Selatan melaporkan penemuan varian yang sebelumnya dinamai B.1.1.529 itu. Menurut Carina, berdasarkan penelitian awal yang berkembang, Omicron memiliki daya tular lebih tinggi dari varian Delta.

Temuan awal mengenai kemampuan Omicron menurunkan kemanjuran vaksin ini membuat Carina tak bisa berleha-leha meski vaksin Covid-19 yang ia bantu pengembangannya, Oxford-AstraZeneca, sukses diproduksi hingga mencapai 3 miliar dosis. Ia menyadari ada ketidakmerataan akses vaksin, terutama di negara-negara miskin seperti di kawasan Afrika, yang cakupannya hanya 25-42 dosis vaksin per 100 orang. “Munculnya varian baru yang merebak di Afrika salah satunya karena cakupan vaksinnya rendah,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Carina Joe di Laboratorium Oxford, Inggris. John Cairns

Ketimpangan keadaan ini mengusik Carina. Itu sebabnya, setelah pengumuman WHO yang diikuti oleh publikasi pengurutan genom lengkap (WGS) varian Omicron oleh para peneliti lain, Carina langsung mengincar pengembangan vaksin yang lebih cepat produksinya dan ekonomis biayanya. Jika berhasil, vaksin baru itu akan lebih terjangkau bagi negara-negara miskin. “Pada harga produksi yang sama, dengan hasil yang lebih banyak dan dapat segera disebarkan ke seluruh dunia. Pengendalian pandemi menjadi lebih cepat,” tuturnya.

Meski berlomba dengan waktu, Carina yang mendapatkan gelar doktor bidang bioteknologi di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia, ini telah menemukan cara untuk memproduksi satu miliar dosis dalam waktu 100 hari. Cara tersebut ia beberkan dalam makalah ilmiah yang itu telah dikirimkan ke BioRxiv dan jurnal ilmiah serta dipublikasikan di situs web The Jenner Institute, pada Selasa, 21 Desember lalu.

Dalam penciptaan vaksin AstraZeneca sebelumnya, atau yang dikenal juga sebagai vaksin Oxford, Carina berperan pada tahap manufaktur. Dengan kata lain, ia bertanggung jawab menemukan cara agar vaksin yang dikembangkan oleh AstraZeneca dengan University of Oxford itu dapat diproduksi lebih banyak. Carina berhasil menemukan formula “dua sendok makan sel” pada 15 Januari 2020. Formula ini memungkinkan produksi vaksin sepuluh kali lebih banyak dengan menggunakan sel hanya sekitar dua sendok makan (30 mililiter).

Berkat ramuan tangan Carina, vaksin yang dimasukkan WHO ke dalam program vaksinasi darurat pada Februari 2021 itu menjadi yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Menurut data Covid Vaccinations Tracker yang dikembangkan The New York Times, vaksin AstraZeneca digunakan oleh 183 negara, termasuk Indonesia, dengan jumlah dosis mendekati 3,2 miliar. Vaksin ini juga menjadi vaksin yang paling banyak diproduksi di luar negara asalnya, dengan lokasi produksi mencakup lima benua.

Ada enam paten dalam produksi vaksin berplatform vektor adenovirus tersebut dari awal hingga akhir. Carina menjadi salah satu nama yang mengantongi hak paten khusus untuk bagian yang ia kerjakan, produksi dalam skala besar. Meski demikian, ia tidak mengambil royalti atas paten tersebut selama masa pandemi. Ia bersama segenap ilmuwan di balik AstraZeneca telah mendapatkan banyak penghargaan. Yang terbaru, Carina mewakili tim vaksin Oxford menerima Pride of Britain Awards kategori Special Recognition pada Sabtu, 31 Oktober lalu.

Di luar kegemerlapan acara penghargaan demi penghargaan itu, ia mesti kembali rela menukar waktu tidurnya demi menghasilkan vaksin universal yang siap diproduksi kapan saja untuk mengendalikan pandemi. Terlebih, ada penurunan efikasi vaksin terhadap Omicron. “Penurunannya pada aspek transmisi, yang menyebabkan cepat menyebar meski sudah divaksin. Tapi untuk aspek mencegah rawat inap dan pemberatan gejala masih di atas 75 persen,” katanya.

Carina menjelaskan, Omicron dapat menggandakan diri setiap dua hari, lebih cepat dari Delta yang menggandakan diri setiap tujuh hari. Tapi pasien yang telah memperoleh vaksinasi sebelumnya, ujar dia, cukup isolasi di rumah saja. Karena itu, Carina mengharapkan pemerintah di berbagai belahan dunia segera memberikan vaksin booster dosis ketiga untuk menghasilkan antibodi lebih banyak.

Menurut dia, semua perusahaan farmasi global saat ini tengah menunggu apakah produksi vaksin varian baru diperlukan. Jika kebutuhan vaksin baru untuk mencegah kematian dan rawat inap makin tinggi, vaksin-vaksin tersebut akan dikembangkan hingga siap dimanufaktur. “Jadi benar-benar tergantung kebutuhan publik,” ucapnya. Sama seperti perusahaan farmasi lainnya, Carina dan timnya di AstraZeneca pun telah bersiap.

Ia mengatakan tak perlu menunggu lama untuk menciptakan vaksin varian baru ketika purwarupa sudah ada. “Tinggal ganti genomic sequencing-nya menurut varian baru,” ujarnya. Karena itu, apabila publikasi varian baru virus beserta dengan WGS, para ilmuwan akan lebih mudah untuk menemukan vaksinnya. Jika diperlukan, Carina optimistis hanya membutuhkan waktu 1-2 bulan untuk mengembangkan vaksin varian baru hingga siap untuk uji klinis.

Dalam kondisi darurat, ia optimistis vaksin varian baru ini akan siap dipakai dalam jangka waktu setahun sejak memasuki uji klinis. Vaksin varian baru ini, tutur dia, akan berlaku sebagai penguat. Vaksin ini pun akan bersifat universal, yang dapat memproteksi pengguna dari varian virus baru ataupun lama. “Di AstraZeneca ini akan menjadi lebih ekonomis, karena meski menggunakan proses yang kompleks, kami bisa mentransfer ilmunya dengan sejumlah pelatihan. Dan tidak perlu teknologi yang sangat canggih,” tuturnya.

Meski masih menunggu dan melihat apakah perlu mengeluarkan vaksin varian baru, Carina berharap kontribusinya dalam menciptakan vaksin yang lebih ekonomis dapat mengendalikan pandemi secepat mungkin. “Tantangan bagi kami adalah virus terus bermutasi sehingga terasa berlomba dengan waktu untuk menyiapkan vaksin yang dapat mencegah kefatalan," ujarnya.

•••

DI Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, Novalia Pisesha yang merupakan peneliti junior di Society of Fellows, Harvard University, pun merasa berkejaran dengan waktu untuk menciptakan vaksin Covid-19. Nama Novalia mulai dikenal publik pada awal September lalu. Saat itu makalah ilmiahnya tentang kandidat vaksin Covid-19 yang berbasis protein terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Dalam wawancaranya dengan Tempo, Kamis, 9 Desember lalu, Novalia menjelaskan kelebihan vaksin yang dikembangkan ini yaitu bisa lebih spesifik menyasar sel-sel penyaji antigen (APC). APC adalah sel-sel yang secara khusus membantu melawan zat asing yang menginvasi tubuh. Novalia mengklaim vaksin ini sangat efektif untuk memicu kekebalan tubuh terhadap SARS-CoV-2 dan berbagai variannya.

Perempuan asal Singosari, Jawa Timur, ini memulai proyek pembuatan vaksin Covid-19 pada April 2020. Saat itu, ia sedang mengembangkan teknologi nanobody (fragmen antibodi) untuk mengendalikan penyakit autoimun. Teknologi yang pada dasarnya memanipulasi imun manusia ini juga dapat dikembangkan untuk membuat pelbagai vaksin, seperti vaksin malaria. “Ketika ada Covid-19 jadi dikembangkan untuk vaksin penyakit itu,” ucapnya.

Novalia Pisesha di Laboratorium Harvard, Amerika Seriakt. Rhogerry Deshycka

Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini juga dikenal sebagai inovator dalam teknologi nanobody. Pada akhir Oktober lalu, namanya masuk daftar 35 inovator Asia-Pasifik berusia di bawah 35 tahun versi MIT Technology Review, karena mempelopori penggunaan teknologi nanobody untuk perawatan penyakit autoimun.

Vaksin yang diramu oleh Novalia ini masih dalam tahap uji praklinis menggunakan hewan laboratorium kecil. Namun ia sangat gembira atas hasilnya. Kini ia hendak mengembangkannya di Indonesia. Ia sedang menjajaki kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB University) yang memiliki Pusat Studi Satwa Primata untuk melanjutkan tahap uji praklinis fase kedua memakai hewan besar.

Menurut Novalia, vaksin ini sangat memungkinkan diproduksi massal di Indonesia karena menggunakan teknologi manufaktur berbasis protein yang telah cukup mapan di Tanah Air. Ia memprediksi keberadaan vaksin Covid-19 berbasis protein sebagai penguat akan sangat diperlukan untuk melengkapi vaksin yang telah ada, yang tak berbasis protein. Novalia berpegang pada sejumlah penelitian yang menunjukkan vaksin penguat silang menunjukkan efikasi yang lebih baik daripada vaksin homogen.

Novalia juga tidak menutup kemungkinan mengembangkan vaksin lebih lanjut di negara lain. Menurut dia, timnya saat ini sedang berkejaran dengan waktu sehingga negara mana pun yang lebih siap untuk menjadi tempat pengembangan lebih lanjut akan diprioritaskan.

Sementara itu, di dalam negeri, vaksin Merah Putih Universitas Airlangga makin dekat ke tahap uji klinis tahap pertama. Menurut Ketua Tim  pengembangan vaksin Merah Putih Universitas Airlangga, Fedik Abdul Rantam, PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia telah menyiapkan sekitar 2.000 vaksin untuk pilot scale menggunakan bibit vaksin yang diproduksi kampus di Surabaya, Jawa Timur, tersebut. “Pilot scale adalah penyiapan bahan vaksin dalam jumlah terbatas untuk uji klinis fase satu,” katanya.

Fedik optimistis vaksin ini dapat diproduksi dalam skala massal pada 2022. Ia menargetkan uji klinis fase I dilakukan pada Januari-Maret 2022. Jika tak ada banyak kendala setelah uji klinis tersebut, uji klinis fase II dapat dilakukan sekitar Maret dan menyusul fase III pada pertengahan 2022.

Dalam uji klinis fase I, ada sekitar 200 orang yang mendaftarkan diri sebagai relawan penerima vaksin secara online. Sementara itu, uji klinisnya akan dipusatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya. “Jika sudah berkembang sampai fase III mungkin akan melibat rumah sakit yang lain seperti RSCM (Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo), rumah sakit di Semarang, Yogyakarta, dan Bandung,” tutur Fedik.

Setelah uji klinis fase III dilewati, barulah vaksin ini siap dimanufaktur atau dikembangkan dalam skala produksi massal. “Setelah dirapatkan, keputusan vaksin ini akan jadi booster atau tidak juga setelah uji klinis fase III dilewati,” ujarnya. Itu pun masih harus menunggu evaluasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Sementara itu, uji praklinis satu dan dua telah dilewati oleh Fedik dan timnya dengan menggunakan monyet makaka. Dalam uji praklinis satu dan dua, makaka yang telah disuntik vaksin buatan Universitas Airlangga dan Biotis yang berplatform virus dimatikan (inactivated virus) itu ditantang dengan virus varian Delta. Hasilnya cukup membuat Fedik optimistis vaksin ini mampu menangkal Covid-19 varian Delta.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang ikut mengembangkan vaksin Merah Putih lain, juga tak kalah sibuk dengan Universitas Airlangga. Pasalnya, pelaksanaan uji klinis vaksin berbasis protein rekombinan itu terlambat dari target. “Kami targetkan izin penggunaan darurat (EUA) akan mundur menjadi trimester III 2022,” ujar Amin Soebandrio. Sebelumnya Amin menjabat Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang ditutup oleh pemerintah Presiden Joko Widodo dan digantikan dengan Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Rencananya, Lembaga Eijkman akan bekerja sama dengan beberapa industri untuk memproduksi vaksin Merah Putih secara massal, salah satunya dengan PT Bio Farma (Persero). Menurut Amin, vaksin yang dikembangkan oleh institusinya adalah vaksin universal, yang ditujukan untuk semua varian virus Covid-19. “Sekalipun virus-virus banyak sekali bermutasi, ini tidak menyebabkan perubahan pada komponen vaksin,” tuturnya.

Saat ini, vaksin Covid-19 yang diramu oleh para ilmuwan di Lembaga Eijkman itu masih berada pada uji awal pada hewan. Namun, berdasarkan uji awal tersebut, Amin optimistis produktivitas vaksin cukup tinggi dalam merangsang pembentukan antibodi melawan virus SARS-CoV-2. Menurut Amin, meski sedang berlomba dengan waktu, lembaganya ingin memastikan segala aspek terpenuhi dengan baik. Timnya saat ini sedang melakukan pengoptimalan untuk memastikan produktivitas bibit vaksin cukup tinggi agar dapat memulai jadwal pengujian selanjutnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus