Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokter dan vaksinator harus menerobos medan sulit di Kepulauan Mentawai.
Di Kabupaten Sumenep, dokter dan vaksinator menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencapai sejumlah pulau.
Sejumlah tenaga kesehatan, termasuk dokter, di Sumatera Barat sempat menolak vaksin.
DOKTER Steven De Nachs sudah bersiaga di gedung serbaguna Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada 8 Desember 2021 pagi. Mengenakan jas putih, ikat kepala luat, dan kalung dari rangkaian manik-manik seperti sikerei—ahli pengobatan tradisional dan tokoh ritual Mentawai—Steven dan dua tenaga kesehatan bersiap menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada puluhan warga yang telah menunggu. Sebagian berada di dalam ruangan, sebagian lagi berdiri di luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam petugas sudah bersiap di meja pemeriksaan kesehatan. Beberapa anggota Tentara Nasional Indonesia dan polisi tampak bersiaga. Steven, 27 tahun, tampak mengobrol dengan Ogo Toitet Samoanmuntei, seorang sikerei berusia 60 tahun, yang pertama divaksin pagi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Steven merasa puas karena hari itu ada 160 warga Matotonan yang divaksin. Ia masih ingat saat pertama kali bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat Sarereiket pada pertengahan tahun lalu. Saat angka kasus positif Covid-19 sedang meningkat pada Juli 2020, warga Sarereiket tidak percaya pada bahaya penyakit itu. “Saat lihat saya lewat pakai masker, mereka langsung berteriak, ‘Tak anai (Tidak ada) corona di sini, Dokter.’ Saya hanya membalas dengan senyum,” ujar satu-satunya dokter umum di Puskesmas Sarereiket itu. Puskesmas tersebut melayani dua desa, Matotonan dan Madobag.
Dokter Steven De Nachs menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada warga di Puskesmas Sarereiket, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, 8 Desember 2021. Dok. Pribadi
Bekerja di daerah pedalaman, Steven tak hanya menghabiskan waktu dan tenaga. Ia juga dituntut bersiasat. Tujuannya agar lebih banyak orang mendapat vaksin dan setiap vial vaksin tak sampai tersia-siakan. “Karena untuk satu vial vaksin itu harus ada 10 orang yang akan divaksin. Kalau kurang dari itu tidak bisa karena sisanya tidak akan bisa digunakan lagi,” katanya.
Ia pernah dikelabui warga setempat saat hari vaksinasi. Di tengah gencarnya upaya vaksinasi massal Covid-19, Steven diminta masyarakat memberikan vaksin di gereja di Madobag seusai ibadah Minggu. “Lima menit sebelum ibadah selesai, saya ke luar duluan dari gereja dan pergi mengambil vaksin. Tapi, ketika saya sampai di gereja lagi, ternyata semua anggota jemaat sudah pulang dan tersisa bajak gereja seorang diri. Vaksinasi pun gagal,” tutur Steven diikuti derai tawa.
Sejak itu, Steven dan dua tenaga kesehatan yang membantunya di Puskesmas Sarereiket mengubah pendekatan. Dia tidak lagi memaksa warga datang ke satu lokasi, seperti gereja, apalagi puskesmas, untuk divaksin. Kalau ada warga yang mau divaksin, Steven akan mendatangi tempat tinggalnya. Steven dan dua tenaga kesehatan tersebut datang menjinjing perangkat suntik dan botol-botol vaksin dengan mengendarai sepeda motor atau bahkan berjalan kaki karena akses yang buruk.
Ahmat Fauzi, Ketua tim Vaksinator Puskesmas Pulau Masalembu, menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada penumpang di atas KM Sabuk Nusantara 115. Dok Pri
Steven pun harus siap bolak-balik menjemput stok vaksin ke Puskesmas Muara Siberut di ibu kota Kecamatan Siberut Selatan. Di sinilah stok vaksin Covid-19 jatah Sarereiket disimpan.
Dari Muara Siberut, vaksin disimpan dalam cooler box dan dibawa menggunakan sepeda motor melalui Dusun Rogdog, Madobag, yang ditempuh selama satu jam. Dari Rogdog, perjalanan masih mungkin dilanjutkan dengan sepeda motor, tapi lebih sering disambung naik pompong—perahu kecil dengan mesin tempel—mengarungi sungai selama satu jam. Ini adalah jalur alternatif ke Madobag dan Matotonan karena akses yang buruk dan bisa membuat sepeda motor bolak-balik tergelincir.
Dengan cara itu, vaksin yang dibawa bisa dipakai habis di dusun tujuan. Kalau ada yang tersisa, vaksin akan dititipkan di kulkas milik salah satu warung di Madobag karena tak tersedia lemari pendingin di Puskesmas Sarereiket. Pasokan listrik yang hanya tersedia pada pukul 18.00-23.00 WIB disiasati dengan memindahkan vaksin ke freezer dalam kulkas saat listrik sudah terputus. “Jadi vaksin tetap dingin. Untung saja sampai saat ini pemilik kedai masih mau kami titipi vaksin di kulkasnya,” ujar Steven.
Steven lahir di Padang dan menghabiskan masa kecilnya di Sikakap, Pulau Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, karena ibunya seorang bidan di Sikakap sejak 1981. Ia menyadari besarnya resistansi masyarakat di pedalaman terhadap pandemi Covid-19. Banyak warga menolak divaksin karena tidak menganggap penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 itu berbahaya. Padahal kasus terkonfirmasi positif telah menjamah warga Desa Madobag dan Matotonan.
Ahmat Fauzi, Ketua tim Vaksinator Puskesmas Pulau Masalembu, menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada penumpang di atas KM Sabuk Nusantara 115. Dok Pri
Steven menghitung tak kurang dari enam kasus positif terjadi sepanjang tahun ini. Mereka yang terjangkit adalah seorang guru yang memiliki riwayat rapat persiapan pembelajaran tatap muka di Muara Siberut, tenaga kesehatan dan dua tetangganya, serta dua warga yang terkonfirmasi positif saat berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Kepulauan Mentawai. Semuanya berhasil sembuh dan sebagian tidak bergejala.
Kalaupun ada yang mengalami gejala seperti anosmia (hilangnya indra penciuman), hal itu dianggap mirip gejala yang biasa dialami warga menjelang musim buah. “Setiap tahun, saat pohon buah-buahan mulai berbunga, selalu ada warga yang kena penyakit ringan seperti flu, sakit perut, dan kehilangan indra penciuman. Bukan karena corona,” kata Steven.
Menghadapi keyakinan itu, Steven beralih menargetkan vaksinasi terhadap murid sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Madobag dan Matotonan. Murid SD banyak yang divaksin karena telah berusia 12 tahun atau lebih. Dia mengungkapkan tidak ada kendala dalam memvaksin kelompok ini dan bisa langsung mencakup 100 persen.
Adapun untuk orang dewasa, Steven kini mengajak mereka melalui beberapa sikerei yang sudah mau divaksin. Seperti yang dilakukannya melalui Ogo Toitet Samoanmuntei, sikerei pertama yang bersedia divaksin. Pada vaksinasi 8 Desember lalu tersebut, Ogo Toitet terlihat santai karena baginya itu vaksin kedua. Ia hanya meringis saat lengan kanannya disuntik. “Hanya sakit sedikit,” tuturnya. Ia ditemani seorang sikalabai (istri sikerei) yang tampak cemas menunggu giliran divaksin. Sikalabai itu juga meringis sambil memejamkan mata kuat-kuat saat disuntik.
Steven tersenyum puas melihat keduanya karena kehadiran Ogo Toitet berpengaruh pada kehadiran peserta vaksinasi di Desa Matotonan pagi itu. Terbit harapan pada sang dokter muda bahwa cakupan vaksinasi bakal segera meningkat dari saat ini yang masih sekitar 40 persen.
Tantangan medan geografis yang berbeda dihadapi Ahmat Fauzi dan 11 anggota tim vaksinator di Kecamatan Pulau Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Wilayah kerjanya masuk dua pulau yang terpisah dari Masalembu, yakni Masakambing dan Karamian.
Dokter Raveinal tim advokasi IDI Sumatra Barat untuk Satgas Covid-19. Foto: Febrianti
Pulau pertama dapat ditempuh dengan perahu nelayan selama dua-tiga jam, sedangkan pulau kedua bisa sampai enam jam menumpang perahu penyeberangan. “Kalau ke Karamian itu ombaknya, kalau di Masakambing itu kami masih harus sambung rakit,” kata Fauzi lewat sambungan telepon. Beberapa kali mereka melakukan vaksinasi di atas kapal karena tak bisa merapat ke pulau.
Sumenep, seperti halnya kabupaten lain di Pulau Madura, Jawa Timur, mencatatkan tingkat vaksinasi Covid-19 yang relatif rendah dibanding daerah lain. Per 20 Desember lalu, cakupan vaksinasi di Sumenep tercatat 42 persen.
Fauzi mengungkapkan awalnya warga menolak kehadiran timnya untuk vaksinasi. “Tapi lambat-laun, karena penyuluhan dan juga kebutuhan akan surat vaksinasi, warga mulai sadar,” ucap pria 48 tahun ini seraya menyebut cakupan vaksinasi di Masalembu kini sudah lebih dari 11 ribu dari total target sekitar 20 ribu warga. Itu berarti melampaui capaian cakupan di wilayah “daratan”.
Ia mengatakan vaksinasi terus berjalan di wilayah Kecamatan Pulau Masalembu. Setiap kali kepala dusun memberi lampu hijau, Fauzi dan tim tak mau menyia-nyiakan kesempatan dan langsung meluncur. “Kami terbagi menjadi tiga tim dan hari ini kami lakukan vaksinasi di tiga titik lokasi,” ujarnya.
Mukariba, bidan di Desa Masalima, Pulau Masalembu, mengakui tim vaksinator harus menjalankan strategi jemput bola dan bahkan dari pintu ke pintu untuk memvaksin masyarakat. Sebagian warga di Masalembu masih enggan divaksin. Ia mencatat sudah ada tiga orang meninggal karena infeksi virus corona.
Ia berpesan kepada pemerintah daerah supaya lebih tegas menerapkan syarat vaksinasi buat perjalanan agar warga berinisiatif datang untuk divaksin. Menurut dia, tak semua pelabuhan menerapkan aturan yang ketat mengenai syarat vaksinasi untuk perjalanan. “Ini membuat sebagian orang masih menyepelekan vaksin,” tutur Mukariba.
Persoalan serupa dihadapi Raveinal, dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Dr M. Jamil, Kota Padang. Raveinal masuk tim vaksinator nasional yang melatih ribuan vaksinator lain dalam gerakan vaksinasi massal Covid-19. Ia juga anggota tim advokasi vaksinasi Covid-19 di Ikatan Dokter Indonesia pusat dan Ketua Pengurus Daerah Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi di Sumatera Barat.
Tugasnya memberi masukan kepada pemerintah daerah tentang apa yang benar, apa yang harus dilakukan, dan apa yang harus disampaikan setiap kali ada disinformasi yang beredar di tengah masyarakat mengenai vaksinasi Covid-19. “Saya aktif ikut webinar memberi penjelasan, dari webinar yang dilakukan pemda hingga yang diminta organisasi. Bisa tiga kali seminggu,” katanya.
Raveinal, 56 tahun, mengakui sebagian masyarakat enggan divaksin. Di Sumatera Barat, misalnya, penolakan bisa datang dari kalangan tenaga kesehatan, termasuk dokter. Inilah yang menjadi tantangan terberatnya karena harus menghadapi dan meyakinkan teman sendiri. “Karena orang kan bisa melihat dan mengatakan, ‘Dokter itu saja tidak mau divaksin,’” ujarnya.
Kalangan dokter itu mempermasalahkan aman-tidaknya vaksin dan halal-haramnya. Setelah diyakinkan bahwa setiap vaksin yang diberikan izin edar sudah melalui uji klinis, aman, dan halal, pertanyaan bertambah soal manfaat. “Manfaatnya kan tidak bisa kita lihat segera. Disuntik langsung bebas Covid, kan tidak begitu. Tapi dilihat dulu dan panjang waktunya. Nah, ini agak lama meyakinkannya,” ucap Raveinal.
Untuk meyakinkan koleganya, ia menyediakan diri mendampingi dokter-dokter tersebut untuk divaksin. Termasuk dokter-dokter yang telah berusia lanjut dan ragu menjalani vaksinasi. “Ada beberapa senior saya yang ragu, saya sendiri yang memvaksin. Saya tenangkan. Saya yang suntik, pantau dan aman,” tutur dokter spesialis penyakit dalam ini.
Selesai dengan kolega, Raveinal masih harus berhadapan dengan tokoh masyarakat. Alih-alih bersedia membantu meyakinkan banyak kalangan untuk mau menjalani vaksinasi, mereka justru kerap menghambat dalam setiap rapat koordinasi. Dari tempat ibadah dan media sosial, kata dia, beberapa ulama rajin menyebarkan informasi yang keliru tentang vaksin.
Raveinal memilih pendekatan berbeda kepada mereka. “Saya memberikan solusi. Kalau memang tokoh itu enggak mau diajak serta, ya sudah, ditinggal saja, tak usah lagi diajak rapat-rapat,” ujarnya. Dokter yang juga konsultan alergi imunologi dan doktor bidang biomedik dari Universitas Andalas ini menambahkan, “Orang lain yang harus kami selamatkan dulu.”
Sempat terpuruk sebagai provinsi terburuk kedua dalam cakupan vaksinasi Covid-19, situasi di Sumatera Barat dinilai Raveinal mulai membaik pada September lalu. Grafik vaksinasi dosis pertama dan kedua, seperti ditunjukkan dalam dasbor Kementerian Kesehatan, bergerak hampir tegak lurus alias melesat tajam.
Raveinal menyebutkan gerakan vaksinasi massal, kampanye gencar di media massa dan media sosial mengenai manfaat vaksin, serta dukungan dari pemerintah daerah yang ikut meningkat berada di balik peningkatan cakupan vaksinasi di Sumatera Barat saat ini.
Ditambah pula dengan keputusan pemerintah yang menetapkan syarat vaksinasi untuk perjalanan ataupun layanan dan bantuan. “Mula-mula mereka melawan, akhirnya divaksin dengan keterpaksaan. Tapi setelah divaksin enggak apa-apa, baru yang lain mulai mau,” tutur Raveinal.
Angka sebaran vaksin Covid-19 dosis pertama di Sumatera Barat saat ini sudah lebih dari 62 persen dan vaksinasi kedua hampir 40 persen. “Padang dan Sumatera Barat secara umum menjadi salah satu contoh bagaimana mereka bisa menceritakan keberhasilan mendorong vaksinasi,” kata juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo