Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cervantes, Don Quixote, dan Den Kisot

NOVEL klasik termasyhur Miguel de Cervantes Saavedra, El Ingenioso Hidalgo Don Quixote de La Mancha, diterjemahkan secara utuh ke dalam bahasa Indonesia. Terdiri atas dua volume, tebalnya sekitar 1.000 halaman. Novel yang dialihbahasakan oleh penerjemah senior Apsanti Djokosujatno itu diterbitkan Yayasan Pustaka Obor Indonesia bekerja sama dengan Kedutaan Besar Spanyol.

27 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUNCURAN novel terjemahan Don Quijote dari La Mancha diadakan dalam Festival Don Quijote yang diselenggarakan di Salihara, Jakarta. Diskusi tentang novel yang berisi pengembaraan kesatria sinting itu digelar dengan menghadirkan kritikus sastra asal Spanyol. Pertunjukan wayang golek yang memikat, kocak, dan kontemplatif tentang Don Quixote juga disajikan. Berjudul Den Kisot, wayang golek itu dipentaskan berdasarkan naskah yang dibuat Goenawan Mohamad dengan sutradara etnomusikolog Endo Suanda.  

Dua novel terjemahan itu tebal minta ampun. Jilid pertama 517 halaman. Jilid kedua 565 halaman. Itulah terjemahan novel terkenal karya Miguel de Cervantes Saavedra, El ingenioso hidalgo don Quixote de la Mancha, yang diluncurkan penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia di Salihara, Jakarta, Ahad, 14 Juli lalu. Novel yang ditulis Cervantes pada 1605 dan 1615 tersebut dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh penerjemah senior Apsanti Djokosujatno (78 tahun). Kisah Don Quixote adalah kisah pengembara majenun.

Seorang lelaki paruh baya yang kurus, tirus, berdebu, berumur 50 tahunan, di desa Spanyol, suatu hari,  karena terlalu banyak membaca kisah-kisah kesatria, menganggap dirinya kesatria tersohor. Dia lalu mengenakan baju zirah rongsokan dan menunggang kuda rombeng yang ia beri nama Rocinante, yang dari tunggangannya itu ia turun dengan susah payah. Ia mengangkat tetangganya yang lugu, Sancho Panza, sebagai pengawal dan menjanjikannya jabatan gubernur. Berdua mereka melakukan pengembaraan konyol. Don Quixote menciptakan khayalan tentang Dulcinea, seorang putri dari Toboso. Ia memacari kekasih imajinernya itu. “Genre dongeng kesatria pengembara sudah berkembang di Spanyol sebelum Cervantes. Tapi ini yang kemudian diolah Cervantes secara lain,” kata Apsanti. 

Balai Pustaka pada 1933 menerbitkan edisi ringkas Don Quixote terjemahan Abdoel Moeis. Novel setebal 200 halaman itu boleh disebut untuk pembaca remaja. Edisi itu banyak menampilkan bagian lucu, seperti Don Quixote melawan kincir angin yang dianggapnya gergasi. Juga Don Quixote membabat-babat dinding dengan pedangnya.  Namun, sejak 1933 itu,  baru melalui Penerbit Obor-lah, novel Don Quixote diterjemahkan secara penuh ke bahasa Indonesia.

Lukisan potret Miguel de Cervantes Saavedra oleh Jauregui Aguilar, pada 1600./Tempo

Sesungguhnya Don Quixote novel yang kompleks. Novel ini dianggap sebagai awal sastra modern Eropa, mengilhami kesusastraan Eropa bahkan sampai zaman kontemporer. “Novel Don Quixote menyentuh hal-hal yang tak disadari dari intelektualitas Barat,” ucap Apsanti. Sebelum menulis Don Quixote, Cervantes menulis sekitar 20 kisah. Tapi tak ada satu pun yang laku sebelum novel Don Quixote de La Mancha. Di antaranya El trato de Argel (1581) dan La Galatea (1585). “Segala teori sastra kontemporer bisa diterapkan untuk menganalisis novel Don Quixote karena demikian kompleksnya novel ini,” ujar Apsanti.

Apsanti memerlukan waktu dua tahun untuk menerjemahkan novel itu. Apsanti selama ini dikenal luas sebagai penerjemah novel berbahasa Prancis. Ia pernah mengalihbahasakan novel sastrawan Prancis seperti Albert Camus, Marguerite Yourcenar, dan Antoine de Saint-Exupéry. “Novel Don Quixote berlapis-lapis. Ada bagian yang bisa dinikmati anak-anak, bagian cinta-cintaan cengeng remaja, sampai yang berat dan filosofis.” 

Apsanti mulai menerjemahkannya pada 2017. Jilid pertama novel ia selesaikan April 2018. Jilid kedua April 2019. Ia menggunakan novel Don Quixote versi Spanyol dan Inggris. “Proses penerjemahan penuh tantangan. Rasanya bisa membuat buku sendiri soal itu,” tuturnya. Menurut Apsanti, novel Cervantes itu penuh warna baik dari segi bahasa maupun cara bertutur. “Novel ini lahir saat Eropa tengah bersiap-siap memasuki era industri,” katanya.

Apsanti mengungkapkan, saat itu banyak pekerjaan muncul di Eropa. Dia mengaku sering sulit menemukan padanan kata untuk suatu pekerjaan. “Bayangkan, misalnya, untuk gembala saja mereka memiliki istilah yang berbeda untuk gembala domba, sapi, keledai. Bahkan ada istilah khusus untuk asisten gembala. Juga istilah khusus untuk orang yang membawa domba, sapi, keledai dari satu kota ke kota lain. Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah untuk itu,” ucapnya.

Demikian juga pekerjaan tukang cukur. Dalam novel ini diceritakan ada seorang tukang cukur yang membantu pastor membakar buku-buku koleksi Don Quixote karena buku-buku itu dianggap meracuni dan membuatnya gila. “Di zaman itu di Spanyol tukang cukur ya merangkap sebagai dokter, tabib. Dalam bahasa Indonesia, tukang cukur hanya pekerjaan gunting rambut,” ujar Apsanti. Karena itulah ia banyak mempertahankan istilah dalam bahasa Spanyol. “Kata hidalgo, misalnya, saya pertahankan.” Hidalgo merujuk pada seorang priayi tapi bukan dari kelas atas.

Buku Don Quixote terjemahan Abdoel Moeis yang diterbitkan oleh Balai Pustaka./wikipedia

Menurut Apsanti, novel Don Quixote juga penuh permainan bahasa yang susah diterjemahkan. Pada jilid kedua, misalnya, peran Sancho Panza naik daun. Sancho sering sok memakai bahasa Spanyol yang dicampur dengan bahasa Latin. “Lucu, tapi repot sekali pengalihbahasaannya,” kata Apsanti.  Itu sebabnya, bila kita simak, dalam terjemahan volume pertama dan kedua banyak terdapat catatan kaki untuk menjelaskan istilah-istilah asing. “Catatan kaki sangat penting agar kita tahu konteksnya.”

Selama ini, Apsanti mengaku Courrier Sud karya Antoine de Saint- Exupéry, yang ia terjemahkan menjadi Pesawat Pos Selatan, adalah novel yang penerjemahannya paling sulit. “Saint-Exupéry menulis sangat puitis. Dia pilot. Dia eksistensialis. Dari ketinggian pesawat dia melihat betapa manusia terkotak-kotak, terkungkung satu sama lain,” ujarnya. Novel Albert Camus, L’Étranger, yang ia alih bahasakan menjadi Orang Asing, lain lagi. “Kalimat Camus pendek-pendek, tidak banyak konjugasi. Ini berbeda dengan kalimat-kalimat sastrawan Prancis pada umumnya. Sartre sampai mengistilahkan kalimat Camus bagaikan terpulau-pulau. Hal ini yang tidak ditangkap pembaca Indonesia.”

Apsanti menyebutkan novel-novel Eropa sering memiliki kalimat panjang. “Dalam menerjemahkan, saya tidak memotong kalimat panjang. Kalau ada pendapat kalimat panjang tidak cocok untuk bahasa Indonesia, menurut saya itu salah. Justru itu tantangan bagi bahasa Indonesia untuk bisa mengungkapkan kalimat-kalimat penuh pikiran.”  Apsanti berpendapat, kalimat-kalimat Cervantes cukup panjang tapi masih dalam kadar standar. “Bayangkan, di Prancis ada sastrawan Nouveau Roman bernama novel Michel Butor yang kalimatnya tak putus sampai enam halaman.”

Menurut Apsanti, Cervantes memiliki gaya bahasa ironis. “Penarasian Cervantes penuh hal tak terduga, segala teknik naratologis digarap,” katanya. Apsanti mengaku sering terkaget-kaget dan terbahak-bahak sendiri saat mendapati teknik penuturan yang mengejutkan dari Cervantes. “Pembabakan yang dilakukan Cervantes sering seperti editing film-film kontemporer.” Apsanti mengaku demikian larut dalam penerjemahan sampai sering lupa makan. Ia pun pernah tumbang dan dibawa di rumah sakit. “Beberapa kali saya bertemu dengan Penerbit Obor di rumah sakit,” tuturnya.

Adapun penyair Goenawan Mohamad menyebutkan kehebatan novel Cervantes adalah ambivalensinya. Dunianya tidak hitam-putih. Don Quixote dianggap konyol, tapi pada saat yang sama kecerdasannya menyembul.  “Cervantes jail. Dia mengerjai kita dengan membuat kita terpesona sekaligus teperdaya,” ujarnya.

PERMAINAN penuturan yang tak lazim bila kita amati memang sudah muncul sejak bagian-bagian awal novel ini.  Miguel de Cervantes, misalnya, tiba-tiba bisa masuk ke novel dan menceritakan sendiri buku tentang Don Quixote atau menyebutkan buku lain karangannya. Salah satunya ketika buku koleksi Don Quixote dibakar. Di rumah Don Quixote, pastor menyita perpustakaannya dan memilih-milih buku yang wajib dibakar. Hampir semua novel kesatria, seperti El Caballero de la Cruz (Kesatria Salib), dihanguskan. Tapi buku-buku puisi dibiarkan karena sang pastor mencintai puisi. Juga buku yang dikarang sahabat-sahabat pastor tersebut.

Usil, Cervantes memasukkan bukunya sendiri, La Galatea, ke deretan buku yang selamat. “Cervantes pernah cukup lama menjadi sahabatku. Bukunya memperlihatkan suatu kreativitas: buku itu menyarankan sesuatu dan tidak menyimpulkan apa pun. Sementara itu, simpanlah dalam lemari terkunci di rumahmu,” kata pastor kepada tukang cukur yang membantunya.

Yang paling menjadi teka-teki pengamat adalah tatkala Cervantes tiba-tiba masuk ke cerita dan menerangkan bahwa kisah Don Quixote sebenarnya bersumber dari sebuah buku tua berbahasa Arab yang ia dapatkan di pasar loak Alcana di Toledo. “Suatu hari, ketika aku berada di Toledo, seorang anak lelaki lewat di dekatku untuk menjual beberapa buku catatan dan kertas-kertas tua kepada seorang pedagang sutra. Aku tergerak mengambil satu jilid yang dijual anak itu. Aku lihat buku itu ditulis dalam huruf Arab. Aku mengenali, tapi tidak dapat membacanya. Aku melihat sekeliling untuk menemukan seorang Morisko (seorang Arab yang sudah beralih memeluk agama Kristen) di dekat situ yang mengerti bahasa Castilia dan dapat membacakannya untukku….”   

Pada bab 9 novel jilid pertama itu, Cervantes selanjutnya mengatakan, saat si orang Morisko membacakan kisah dalam kertas-kertas tua tersebut, ia terperangah mendengar isi buku itu tentang Don Quixote. “Ketika mendengar kisah Dulcinea dari Toboso, aku tercengang dan perasaanku penuh harapan karena aku tahu jilid-jilid itu berisi cerita tentang Don Quixote. Ia mengatakan buku itu kisah tentang Don Quixote dari La Mancha, ditulis oleh Cide Hamete Benengeli (Sayid Hamid),  seorang sejarawan Arab. Aku membutuhkan banyak akal untuk menyembunyikan kegembiraan yang kurasakan ketika judul buku itu mencapai telingaku, dan bergerak lebih cepat dari si pedagang sutra, kubeli semua kertas dan catatan dari anak lelaki itu dengan harga setengah real….”

Siapakah Sayid Hamid? Apakah dia pengarang asli Don Quixote? Apakah betul buku Arab itu yang menjadi dasar penulisan novel Don Quixote karena di sekujur novel Cervantes sering memulai alinea dengan “seperti diceritakan Cide Harmete Benengeli (Sayid Hamid)”? Namun bagaimana dengan uraian Cervantes tersebut yang dapat disimpulkan bahwa ia sudah mengenal kisah tentang Don Quixote sebelum menemukan buku Sayid Hamid di pasar loak Toledo?

“Memang Cervantes mempermainkan antara fiksi dan fakta. Ia menggunakan teknik game of mirror,” tutur kritikus sastra dan penulis novel Spanyol, Andrés Ibáñez, dalam diskusi saat acara peluncuran terjemahan novel Don Quixote di Salihara, Jakarta. Game of mirror adalah teknik yang menghadapkan fiksi dan fakta. Menurut Ibáñez, seniman pada zaman Cervantes memang sering menggunakan teknik demikian. Di dunia seni rupa sangat terkenal, misalnya, karya Diego Velázquez berjudul Las Meninas (bahasa Inggris: The Ladies-in-waiting). Dibuat pada 1656, lukisan itu bermain di antara realitas dan ilusi.

Seorang gadis kecil bangsawan istana dalam lukisan Velázquez diperlihatkan duduk menghadap mata pemirsa. Dia disertai pengiringnya. Di dekat gadis itu ada sosok Velázquez tengah memegang kuas dan palet. Pemirsa menyaksikan panel kanvas yang dilukis Velázquez dari arah belakang. Jauh di belakang gadis itu, terdapat cermin yang memantulkan bayangan Raja dan Ratu Spanyol. Di samping cermin terdapat pintu masuk dengan seseorang berdiri tampak menyaksikan kegiatan melukis itu.

CERVANTES, DON QUIXOTE, DAN DEN KISOT/TEMPO/M Taufan Rengganis

Terjadi perdebatan di kalangan sejarawan seni rupa. Apa sebenarnya yang dilukis Velázquez di kanvas? Beberapa menyatakan yang dilukis adalah raja dan ratu yang sosoknya terpantul di cermin belakang. “Ini permainan realitas dan pantulan. Hal demikian juga yang digunakan Cervantes dalam novel,” kata Ibáñez. Apsanti Djokosujatno setuju. “Permainan mimesis antara yang riil dan yang khayal terus-menerus terjadi di novel Don Quixote,” ujarnya. 

Cervantes juga sering menggunakan teknik seperti cerita berbingkai. Tokoh-tokoh Cervantes menarasikan sebuah cerita dengan tokoh dan kejadian yang memiliki alur cerita tersendiri. Seperti sebuah kisah dalam kisah, bahkan novel dalam novel. Dalam Don Quixote, misalnya, setelah menggeledah buku-buku Don Quixote, si pastor menyisir koleksi buku seorang pemilik penginapan. Seperti yang terjadi di rumah Don Quixote, pastor itu beranggapan sejumlah novel yang bertema kesatria sebaiknya dibakar, sementara beberapa lainnya boleh tetap disimpan. Di penginapan itu, untuk mengetahui apakah isi buku berbahaya atau tidak, si pastor bahkan membacakan sebuah petilan panjang novel berjudul Laki-laki yang Keingintahuannya Ceroboh.

Kisah yang dibacakan pastor tersebut sama sekali tak berhubungan dengan petualangan Don Quixote, tapi dimuat berhalaman-halaman oleh Cervantes. Novel itu bercerita tentang dua sahabat asal Florensia, Italia, bernama Lotario dan Anselmo yang memiliki istri bernama Camilia. Kisah ini penuh perenungan antara Tuhan dan hubungan laki-laki serta wanita “Bagian novel Laki-laki yang Keingintahuannya Ceroboh sangat filosofis,” ucap Apsanti.

Cervantes sering pula menyisipkan pidato Don Quixote yang juga berisi kisah-kisah aneh. Saat makan malam di sebuah penginapan, misalnya, Don Quixote berpidato tentang prajurit yang memiliki senjata dan ilmu tertentu. Begitu panjang pidatonya hingga Don Quixote lupa menyuapkan makanan ke mulutnya.

Tapi yang paling mengejutkan adalah, di volume kedua, Cervantes tiba-tiba menampilkan Don Quixote sendiri bertemu dengan salah seorang pembaca buku jilid pertamanya. Orang itu seorang sarjana muda bernama Sansón Carrasco. Sang sarjana mengatakan kepada Don Quixote bahwa kisah pengembaraannya dicetak di seluruh penjuru Eropa. “Saya percaya lebih dari 12 ribu kopi kisah itu dicetak Senor. Buku-buku itu dicetak di Portugal, Barcelona, Valencia. Bahkan ada selentingan buku-buku itu juga dicetak di Antwerpen,” ujar sarjana tersebut. Sarjana itu juga memberi tahu Don Quixote bahwa banyak pembaca yang berkeberatan kisah Laki-laki yang Keingintahuannya Ceroboh dimasukkan ke novel karena cerita itu jelek.

Sang sarjana juga mengatakan: “Diberkatilah Sayid Hamid yang menulis kisah Don Quixote. Juga diberkatilah pria yang menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Castilia.”  Cervantes dalam volume kedua pun tiba-tiba masuk sebagai narator dan menyebutkan sesungguhnya penerjemah Arab tersebut, khusus di volume kedua, ragu terhadap terjemahannya sendiri, terutama soal Sancho Panza. Mengapa? Sebab, tutur kata Sancho Panza dalam jilid kedua tampak lebih cerdas dibanding dalam jilid pertama. Sang penerjemah tapi tetap menerjemahkan apa adanya kalimat Sancho dari bahasa Arab ke Castilia (Spanyol) semata-mata demi profesionalitasnya sebagai penerjemah. “Cervantes bermain-main dengan game of mirror sangat menakjubkan. Cervantes meletakkan fondasi bagi produk-produk sastra postmodern,” ujar Ibáñez.

Apsanti Djokosujatno menunjukkan novel Don Quijote terjemahannya dalam bahasa Indonesia./TEMPO/Nurdiansah, wikipedia

 

SELAIN soal Sayid Hamid, memang yang menarik di sana-sini adalah novel ini berbicara tentang sisa-sisa kebudayaan Arab di Spanyol. Spanyol (Andalusia) pada 711 Masehi dikuasai Bani Umayyah. Kala wilayah Eropa lain masih terbelakang, Kota Cordoba oleh imperium Umayyah dijadikan pusat peradaban.  Sains dan kebudayaan dikembangkan besar-besaran. Universitas dan perpustakaan-perpustakaan luas dibangun. Pada zaman Miguel de Cervantes, abad ke-16, Spanyol sudah kembali menjadi wilayah Katolik.

Reconquista (Penaklukan Kembali) seluruh Jazirah Iberia dari tangan muslim telah dilakukan penguasa Katolik. “Namun Cervantes sangat menghargai warisan kebudayaan Arab,” kata Andrés Ibáñez. Kita bisa membaca memang ada kekaguman tertentu tentang khazanah Arab. Pada bab 37 volume pertama, misalnya, diceritakan bagaimana pemilik sebuah hotel tempat Don Quixote biasa menginap terkesima tatkala suatu hari datang ke penginapan mereka  sepasang tamu laki-laki dan perempuan berbaju Arab. 

“Kebisuan tiba-tiba menyergap ketika seorang musafir masuk. Pakaiannya menunjukkan ia adalah seorang Kristen yang baru saja tiba dari tanah Arab, ia mengenakan tunik wol biru pendek dengan lengan separuh dan tanpa kelepak leher, celana linen biru, dan mantel tanpa lengan. Ia memakai sepatu bot berwarna kurma dan sebuah pedang Arab yang tergantung pada selempang yang melintang di dadanya. Kemudian seorang wanita masuk di belakangnya. Bajunya bergaya Arab, wajahnya tersembunyi di balik cadar, ia memakai sebuah tudung brokat dan jubah panjang yang menutupi bahu sampai kakinya.”

  Diceritakan bahwa saat itu tidak ada kamar kosong, tapi pemilik penginapan menyambut “tamu Arab” tersebut dengan ramah. Tatkala perempuan Arab itu membuka cadarnya, pemilik penginapan dan keluarga terkagum-kagum melihat kerupawanannya. “Cervantes tampak simpatik. Padahal, pada zaman Cervantes, Eropa tengah berhadapan sengit dengan imperium Utsmaniyah Turki,” tutur Ibáñez.

Sebelum masa Cervantes pun Spanyol dikuasai Ferdinand II, raja yang sangat fanatik terhadap Katolik serta giat melakukan purifikasi dan memaksa orang pindah agama ke Katolik. “Pada masa itu terdapat kebijakan ethnic cleansing terhadap etnis Yahudi dan Arab yang tak mau berpindah ke Katolik,” ujar Goenawan Mohamad. Sedangkan Cervantes justru menampilkan warisan Islam secara proporsional. 

“Dalam novelnya terasa tak ada kebencian terhadap Turki. Malah dibilang sangat plural. Dalam sebuah dialog, Don Quixote mengingatkan alat-alat musik tradisional Spanyol sesungguhnya terpengaruh Arab,” ucap Goenawan. Bahkan Cervantes berani mengolok-olok konservatisme dan ortodoksi gereja. “Pembakaran buku-buku Don Quixote yang dilakukan pastor dalam novel sesungguhnya kritik Cervantes terhadap inkuisisi yang dilontarkan secara kocak. “Dia mengritik gereja dengan cara jenaka,” kata Apsanti.

Sesungguhnya Cervantes pernah mengalami penderitaan pahit ditawan serdadu muslim. Cervantes kala itu menjadi tentara di Roma berperang melawan pasukan Turki. Dia bergabung dengan serdadu Laskar Suci pimpinan laksamana Spanyol, Don Juan de Austria. Dalam perang melawan pasukan muslim itu, Cervantes terlibat pertempuran laut Lepanto yang ganas pada 1571. Di lepas pantai barat Yunani itu mereka menaklukkan armada Kesultanan Turki.

Sepulang dari perang Lepanto, Cervantes dan adiknya, Rodrigo, tinggal di Italia. Dia melahap banyak literatur di negara tersebut. Namun, dalam perjalanan pulang ke Spanyol, dia tertangkap sekawanan bajak laut Aljazair. Dia sempat lima tahun menjadi tawanan di Aljazair. Dia bebas setelah para biarawan di Madrid menyodorkan uang tebusan. “Dia beberapa kali berusaha kabur dari Aljazair sampai akhirnya selamat .Cervantes adalah penyintas dan pejuang sejati,” ucap Ibáñez.

Cervantes, Don Quixote, dan Den Kisot/Tempo

Profesor Cornell University, Amerika Serikat, Maria Antonia Garcés, dalam bukunya, Cervantes in Algiers: A Captive’s Tale, menyebutkan para penyintas biasanya bertekad menuturkan kembali kisahnya. Inilah yang terjadi pada Cervantes. Bila kita perhatikan, pengalamannya ikut perang dan ditawan juga dituangkan dalam novel Don Quixote. Musafir Kristen berpakaian Arab yang datang bersama perempuan bercadar dalam novel sesungguhnya representasi Cervantes sendiri yang baru pulang perang.

Pada bab 39 jilid pertama novel, musafir itu menceritakan asal-usulnya. Dua puluh tahun silam, dari Spanyol ia pergi ke Italia untuk bergabung dengan legiun tentara Paus Pius V yang bersekutu dengan Venesia dan Spanyol melawan Turki. Pangkatnya saat itu kapten. Meski menang perang, ia kemudian tertawan bajak laut Aljazair. “Saya dibawa ke Konstantinopel, tempat orang besar Turki Selim mengangkat majikan saya sebagai laksamana utama….” Ibáñez menyebutkan Cervantes meramu sejarah (history) dengan pengalaman pribadi (his story) dalam narasi yang cair. “Kadang apa yang dituliskannya dalam buku ini terasa edan, tapi bisa jadi memang seperti itulah kenyataannya.”

Cervantes sempat menikah dengan Catalina de Salazar y Palacios, tapi biduk asmara mereka tak lama kemudian karam. Ia bahkan pernah dibui pada 1597 karena dituding mengambil duit publik. Di penjara itulah Cervantes mulai mematangkan Don Quixote. Novel itu dia lanjutkan sekeluar dari penjara dalam kondisi ekonomi yang karut-marut.

Cervantes wafat karena diabetes pada 22 April 1616 saat berusia 68 tahun. Tak banyak yang tahu bahwa ia meninggal sehari sebelum kematian penyair Inggris, William Shakespeare. Hingga kepergiannya, tak ada gambar yang dengan jelas mengilustrasikan wajah Cervantes. Ihwal foto seorang lelaki tua ompong dengan kumis dan jenggot kelabu yang sering disebut-sebut sebagai Cervantes, sejatinya itu hanyalah salah satu gambar yang dilukisnya sendiri. “Saya tak tahu siapa sosok pria di lukisan itu, tapi dia bukan Cervantes,” tutur Ibáñez.

Pada 2015, tim arkeolog dan antropolog forensik Spanyol mengklaim menemukan sisa-sisa tulang Cervantes di tanah Biara Barefoot Trinitarians. Jasad Cervantes dimakamkan di biara itu setelah ia dibebaskan dari perbudakan dengan tebusan para biarawan. Pemeriksaan forensik mendapati tulang rusuk Cervantes mengelupas, sementara lengan kirinya lumpuh.                                                 

  Seno Joko Suyono, Isma Savitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus