Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DON Quixote berkelana sampai jauh, sampai ke tanah Sunda, suatu hari pada akhir dasawarsa kedua di abad milenium ketiga. Kesatria, setidaknya begitulah ia menganggap dirinya, Spanyol ini lalu mengubah namanya menjadi Den Kisot—mungkin ia sudah membaca terjemahan sastrawan Pujangga Baru, Abdoel Moeis, tentang dia, Don Kisot, yang terbit pertama kali pada 1930-an. Lalu, pada Minggu dua pekan lalu, dua seniman, Goenawan Mohamad dan Endo Suanda, berkolaborasi menghadirkan Den Kisot di Ruang Galeri Salihara, Jakarta. Tak sepanjang kisah di buku, kehadiran teranyar kesatria Spanyol ini, dan untuk pertama kalinya di dunia dalam wujud wayang golek, hanya kurang dari dua jam.
Di Ruang Galeri, dua panggung wayang golek disusun. Satu di depan, satu lagi lebih tinggi di belakang sisi kanan panggung. Penonton duduk lesehan, memenuhi ruang yang disusun seperti huruf “U”. Suasana akrab antara penonton dan tontonan ditawarkan. Namun keakraban baru terasa setelah Den Kisot dan pengiringnya, Sancho Panza, dijebak suami-istri bangsawan kaya raya untuk dijadikan penghibur.
Alkisah, kata ki dalang, bangsawan dan istrinya sudah begitu bosan di dunia. Tak satu pun bisa mencairkan rasa bosan mereka. Untunglah, sebelum mereka mencapai puncak kebosanan—siapa tahu mereka memutuskan bunuh diri, misalnya—datang pembantu, mengabarkan munculnya pengelana majenun bernama Den Kisot dan pengiringnya. Mendadak muncul ide di kepala sang bangsawan, siapa tahu pengelana itu bisa menghibur. “Bawa kemari pengelana majenun itu,” teriak sang bangsawan.
Tapi kenapa Den Kisot begitu mudah menerima “undangan” sang bangsawan? Rupanya ki dalang mafhum, atas pemberitahuan Miguel de Cervantes lewat Goenawan Mohamad, biarpun Den Kisot (atau Don Quixote) lahir pada abad ke-17, sudah diyakini bahwa pemilik informasi (tanpa teknologi memang) yang akan menguasai segalanya. Bangsawan itu tahu bagaimana Den Kisot memiliki kekasih bernama Dulcinea (Dulsinea, ucap ki dalang) yang khayali. Kata sang bangsawan, Den Kisot bisa bertemu dengan kekasihnya yang dimantrai oleh raksasa menjadi patung dan disimpan di atas langit. Maka, menunggang kuda terbang dari kayu yang sudah disiapkan sang bangsawan, Den Kisot siap bertempur membebaskan Dulcinea dari penculiknya.
Karakter Den Kisot saat gladi resik di Komunitas Salihara, Jakarta, 13 Juli lalu./Tempo/Nita Dian
Penonton menyaksikan Den Kisot naik kuda dikerek ke atas hampir mencapai plafon Galeri Salihara. Semestinya adegan terbang ini bisa menakjubkan. Namun, di zaman video game kini, anak-anak (pertunjukan wayang golek Den Kisot ini sebetulnya direncanakan sebagai tontonan anak-anak, tapi akhirnya menjadi pertunjukan untuk segala usia) pun mungkin sulit terpesona oleh Den Kisot dikerek. Andai saja adegan ini dibuat dalam film, seseru adegan di video game, dan disorotkan ke layar yang tersedia. Bukankah babak pembakaran buku-buku milik Den Kisot disajikan dengan film yang diproyeksikan ke layar—dan ini mengesankan, terasa tragis; terbayang betapa nyesek dada si pemilik buku-buku itu.
Namun, secara keseluruhan, sejak awal tontonan wayang golek bergaya teater ini merupakan perpaduan beberapa unsur pertunjukan yang enak ditonton dan didengarkan. Cerita yang tidak sulit diikuti, disampaikan dalam bahasa yang bernas; dalang yang menguasai suasana; iringan musik dengan lirik yang kadang sendu kadang kocak; adegan yang “diperhitungkan” untuk tak larut membosankan; dan—mungkin ini menentukan—bentuk wayang yang berkarakter—tiap boneka membawa karakter masing-masing dan secara bersama menciptakan panggung yang “hidup”. Dari bentuk Den Kisot, Sancho pengiringnya, sampai bangsawan dan rakyat, semua benar-benar Spanyol, dan itu membuat seluruh pertunjukan yang hybrid ini terasa “kampung” tapi tetap Spanyol.
Sejak awal, tuturan ki dalang yang memelesetkan nama-nama Spanyol sesuai dengan petualangan kesatria Spanyol di Tanah Sunda membingkai tontonan dalam suasana santai dan siap mengundang senyum dan tawa. Kuda Den Kisot sebenarnya bernama Si Kliwon, tapi agar terdengar keren dinamai Rocinante (nama asli dari Cervantes). Den Kisot merasa yakin bertemu dengan Dulcinea yang menyamar menjadi pelayan losmen dengan nama Siti Badriah. Dan ada tokoh Pak Lurah, yang entah sekadar menjaga nilai-nilai moral entah sengaja hendak membuat Den Kisot celaka, yang mendampingi Bapak Padri. Pak Lurah pula yang mendatangkan kesatria dari Majalengka untuk memerangi Den Kisot (kesatria Majalengka dihadirkan bukan dalam bentuk boneka, melainkan aktor sebenarnya). Pelesetan beberapa nama itu menjadi modal terjaganya suasana santai dan siap senyum justru karena nama-nama lain tetap Spanyol. Benar, nama-nama Sunda itu jarang terdengar selama pertunjukan, tapi, begitu terdengar, gema dan pengaruhnya panjang.
Gladi resik pertunjukan Den Kisot di Komunitas Salihara, Jakarta, 13 Juli lalu./Tempo/Nita Dian
Yang kemudian berlangsung di Galeri Salihara: kisah kesatria majenun dari Spanyol tersaji dengan bahasa seturut naskah dengan adegan-adegan yang secara keseluruhan enak dilihat berkat kepiawaian majenun lain, Ari Dukun Majenun, sang dalang. Dalang lazimnya sudah hafal cerita dan dialog dalam pementasan cerita-cerita yang sudah populer, dari kisah dalam Mahabarata dan Ramayana, cerita dari Kitab Menak, hingga sejumlah legenda Sunda (Ciung Wanara, misalnya). Tapi Den Kisot? Ari Majenun rupanya siap “bermajenun” alias bekerja di luar kelaziman. Ia tak hanya bercerita, berdialog menirukan suara tiap tokoh wayang, dan “menghidupkan” boneka golek. Dalam Den Kisot, selain harus menemukan karakter suara tiap tokoh (semestinya dibantu sutradara, Endo Suanda), satu lagi yang ia mesti lakukan selama mendalang: membaca naskah. Hanya seorang superjenius yang bisa hafal naskah Den Kisot dan mendalangkannya.
Walhasil, dilihat dari sisi zaman video game, tontonan ini kurang seru, kurang gerak, bahkan adegan pertarungannya bisa dibilang kurang menegangkan. Dari sisi zaman digital, yang mengemas bahasa menjadi kata-kata singkat, Den Kisot mengingatkan bahwa berbahasa mudah tapi bernas merangsang imaji yang kaya, indah, bermakna.
Bambang Bujono (Penulis, pengulas seni)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo