Sementara di Italia sarang kelompok penjahat mafia adalah Pulau Sicilia, di Rusia unsur kriminalitasnya sebagian besar berasal dari Republik Chechnya. Bagi pejabat keamanan di Moskow, Chechnya merupakan sumber kejahatan di Rusia, serta depot senjata api. Benar atau tidak, dilihat dari letak geografis dan sejarahnya yang penuh perang dan pemberontakan, sifat kerawanan orang Chechen bisa dimaklumi. Meski tahun 1991 pemerintahnya setuju ikut dalam federasi yang dipimpin Rusia, tak lama kemudian Presiden Dzhokar Dudayev memutuskan hubungan itu dan menyatakan negerinya merdeka, dengan alasan negerinya selalu dirugikan Moskow. Utang Rusia kepada Chechnya, umpamanya, yang merupakan hasil pembelian minyak bernilai 44 miliar rubel, dan itu belum juga dilunasi. Maka, pada pemilu yang diadakan Desember lalu, Chechnya satu-satunya anggota federasi yang tidak turut serta. Tentu saja penarikan diri dari federasi itu sulit diterima pemerintah Presiden Boris Yeltsin. Masalahnya, jika tingkah Chechnya dibiarkan saja, bisa merambat ke republik lainnya. "Kasus Chechnya bisa terjadi di republik Islam lainnya, atau menghidupkan suatu gerakan Islam fundamentalis di Rusia. Itulah mimpi buruk Moskow," kata Linnik dari koran Pravda. Di daerah Pegunungan Ural bagian selatan, warga Tatarstan sudah sering mengadakan demonstrasi anti Moskow di ibu kota Kazan. Belum lama ini Moskow melakukan blokade ekonomi terhadap Chechnya sebagai tekanan agar kembali ke federasi. Angkutan kereta api keluar masuk Chechnya dihentikan sehingga suplai bahan-bahan pokok terganggu. Transaksi perbankan yang biasa lewat Moskow juga dibekukan. Bahkan, selama beberapa bulan setelah Chechnya mengumumkan kemerdekaannya, suplai listrik dan hubungan telepon dengan daerah luar diputuskan oleh pemerintah Yeltsin. "Karena blokade ekonomi itulah kami terpaksa melakukan pasar gelap dan kegiatan di luar hukum," kata Masud, orang Chechnya di Moskow. Sebaliknya, dari pihak Chechnya ada usaha mencari bantuan dari luar, khususnya dari negara-negara Islam. Belum lama ini Presiden Dudayev berkunjung ke Sudan, Yordania, dan Iran. Adalah Ruslan Khasbulatov, bekas ketua parlemen Federasi Rusia yang berani menentang kekuasaan Yeltsin bulan Oktober tahun lalu, tokoh paling terkenal dari Chechnya. Kendati sekarang meringkuk di penjara, ia dipandang sebagai pahlawan. "Ia orang yang hebat, asli Chechen. Seharusnya Ruslan dibebaskan, tapi Yeltsin merasa terancam oleh kekuatan Ruslan," kata Said Amin, pemilik toko di Grozny, ibu kota Chechnya. Republik Chechnya terletak di bagian utara Pegunungan Caucasia, bersebelahan dengan Georgia, yang tak jauh dari Turki dan Iran. Penduduknya, yang berjumlah 1,1 juta orang, beragama Islam, dan terbagi atas suku Ingushi dan Ossetia. Pahlawan Chechnya, selain Ruslan, adalah Sheik Mansur, pemimpin pemberontakan yang menentang pemerintah kolonial Rusia pada abad ke-18. Perlawanan terhadap Moskow berlangsung terus sejak itu. Di bawah kekuasaan diktator Josef Stalin, sebanyak 200 ribu warga Chechnya -- sebagian besar dari suku Ingushi -- dibunuh akibat pemberontakan pada tahun 1944. Setengah juta lainnya secara massal diusir ke Siberia gara-gara dituduh berkolaborasi dengan tentara Nazi yang menjajah daerah itu. Mereka baru dibolehkan kembali 15 tahun kemudian. Kekuasaan lokal diambil alih oleh penduduk suku Ossetia. Sejak saat itu, perlawanan antara kedua suku itu sering terjadi, dalam bentuk tembak-menembak di tengah kota ataupun di daerah pedalaman. Tahun lalu, 200 orang tewas ketika warga dari kedua suku itu berperang kecil. Tak aneh jika barang yang paling mudah dijualbelikan adalah senjata. Di pasar-pasar, secara terbuka siapa saja bisa membeli pistol Makarov seharga 400 ribu rubel (Rp 850 ribu) atau senapan otomatis Kalashnikov dengan harga 250 ribu rubel (Rp 500 ribu). Granat dan alat peluncurnya dihargai satu juta rubel. Pasaran senjata ini, baik yang baru maupun bekas, merupakan industri yang amat menguntungkan. Sebab, pembelinya bukan saja para kelompok penjahat di Rusia sendiri, tetapi juga kelompok-kelompok teroris di Timur Tengah dan pemberontak di Afrika. Rute penyelundupannya biasanya lewat jalan daratan, melalui Turki dan Afganistan. Dengan latar belakang kerawanan itulah penduduk Chechnya hidup sehari-harinya. Namun, justru reputasi daerah itu sebagai sarang tokoh-tokoh mafioznik menjadi kebanggaan bersama. Mereka bahkan terus terang mengaku Grozny adalah markas kelompok-kelompok penjahat yang biasa beroperasi di Moskow dan St. Petersburg. Di sana juga tempat penyimpanan barang hasil rampokan. Seolah pakaian nasionalnya, warga pria Chechnya selalu memakai topi gaya Al Capone, penjahat ternama pada tahun 1940-an di Chicago. Senjata, besar atau kecil, tak pernah ketinggalan, bahkan saat tidur pun selalu melekat di badan. Senjata merupakan kebutuhan sehari-hari bukan saja bagi pria, tapi juga bagi wanita dan pemuda. Sejak berusia belasan tahun mereka dilatih untuk bisa menggunakannya. Tak jarang pemudanya menjadi tentara bayaran yang direkrut oleh kelompok pemberontak dari Afganistan dan lain-lain. Sementara itu, Moskow tetap melakukan tekanan ekonominya agar pemerintah Dudayev menyerah dan kembali ke dalam Federasi Rusia. Dan tampaknya, tak lama lagi blokade ekonomi itu akan berhasil. Soalnya, dampaknya sudah mulai dirasakan. Banyak pegawai yang belum menerima gaji dan pensiun. Rumah sakit dan sekolah menderita kekurangan suplai listrik. Dan harga makanan naik terus. Ada tanda-tanda, perlawanan terhadap Moskow itu akan melunak. "Terus terang, kami ingin menghidupkan hubungan ekonomi kami dengan Rusia," kata Wakil Presiden Zelimkhan Yandarbir. Satu-satunya orang yang bisa memperbaiki hubungan itu, menurut Yandarbir, adalah Ruslan Khasbulatov. "Oleh sebab itu, kami di Chechnya sangat mengharapkan pembebasan Ruslan," kata Yandarbir. Namun, mungkinkah pemberontak itu dilepaskan Yeltsin dalam waktu mendatang? Para pengamat di Moskow menganggap kemungkinan itu kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini