POSISI Djali Ahimsa selaku Dirjen Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) memang rawan terhadap omelan. Keinginannya membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di kaki Gunung Muria, Jawa Tengah, bolak-balik dihadang kritikan. Kali ini gelombang kritik datang lagi, antara lain lewat Ketua Umum NU Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. "Kalau PLTN jadi dibangun, saya akan puasa di sana," ujar Gus Dur, lugu tapi tajam, khas gaya NU. Urusan Gus Dur dengan reaktor nuklir itu menyangkut masalah umat NU, yang banyak berdiam di sekitar Semenanjung Muria. Ia khawatir bila terjadi apa-apa, umatnya jadi korban. Maka, ia lebih suka memegang prinsip ihtiyati, mengutamakan kehati- hatian. "Selama masih ada keraguan akan bahayanya, lebih baik dibatalkan," ujarnya seperti dikutip Kompas pekan lalu. Kritik Gus Dur itu tampaknya terlontar untuk menanggapi perkembangan baru: studi kelayakan dan laporan data awal tapak (lokasi) PLTN Gunung Muria itu telah selesai dikerjakan oleh Newjec Inc., sebuah konsultan dari Jepang. Hasil studi itu diserahterimakan dari Newjec ke Djali, 30 Desember lalu. Menurut rencana, kalau tak ada aral, Dirjen Batan itu akan menghadap Presiden Soeharto pekan ini untuk melaporkan hasil studi itu. Serangan yang datang menjelang laporan itu memang membuat posisi Djali serbarepot. Tapi ia kalem saja, dan hanya menangkis tembakan Gus Dur itu dengan pasal yang agak klise: "Kalau terus dilanda ketakutan yang tak keruan, kita sulit bergerak maju. Kita akan makin tertinggal." Dan Djali tampaknya bergeming. "Saya tetap optimistis PLTN akan terlaksana, layak diterapkan di Indonesia," katanya mantap. Pegangan Djali adalah studi mutakhir dari Newjec tadi, yang menyangkut banyak aspek: ya teknologinya, sistem keselamatan, penanganan limbah, pembiayaan, masalah ekonomi, manajemen operasi. Masalah lokasi pun diteropong, mulai dari segi geologi, oseanologi, meteorologi, hidrologi, sampai ke hal- ihwal kemungkinan gempa. Penelusuran dari segala penjuru itu, menurut Djali, akhirnya memilih Ujung Lemahabang, Kabupaten Jepara, sebagai calon terkuat lokasi reaktor. Pantai di kaki Muria itu dipandang aman, jauh dari kemungkinan gempa atau tanah longsor. Daerah itu dapat menampung instalasi nuklir untuk kapasitas 7.000 megawatt. Kalau setiap reaktor menghasilkan 600 MW, sebagaimana disarankan Newjec, di situ bakal dibuat 12 unit. Soal lokasi dianggap oke. Teknologi yang tersedia dinilai dapat menjamin keselamatan lingkungan, investor gampang dicari, dan ada jaminan uang yang ditanam bakal cepat kembali. "Maka, secara umum, dapat saya katakan bahwa PLTN layak dibangun di Semenanjung Muria," kata Djali. Tapi ia menolak menjelaskan detail teknis "kelayakan" itu. Budi Hardjono, anggota Komisi VI DPR RI yang gemar mengamati masalah energi, setuju dengan gagasan PLTN. Menurut Budi, PLTN memang sedang menjadi trend dunia. Semakin hari jumlah dan porsi sumbangan listrik dari reaktor nuklir, kata anggota Fraksi PDI itu, kian besar. Saat ini, katanya, ada 496 unit reaktor nuklir pembangkit listrik. "Dan ada 65 unit lainnya sedang dibangun," tambah mantan calon Ketua Umum PDI yang kandas di tangan Megawati Soekarnoputri itu. Namun, pertumbuhan PLTN itu tak terjadi di semua tempat. Negeri-negeri yang punya kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) cerewet seperti Inggris, Belanda, Jerman, Kanada, dan Amerika sulit membangun PLTN baru. Di Amerika misalnya, sepanjang tahun 1980-an tak satu pun reaktor baru berdiri. Baru belakangan di sana mulai dibangun 3 PLTN lagi, memperkuat jaringan 109 unit yang sudah ada. Inggris juga hanya dapat menambah 1 buah dari 37 yang ada. Bahkan di Italia PLTN diharamkan. Di sana, tak ada pejabat yang berani mendukung proyek reaktor, kecuali kalau mau terlempar dari pentas politik. Seperti halnya Gus Dur, orang Italia alergi mendengar kata PLTN. Tapi listrik asal reaktor dihalalkan, sepanjang tak diproduksi di dalam negeri. Maka, Italia mengimpor listrik dari tetangganya, Prancis, yang kini sedang menambah lima PLTN. Prancis kaya akan PLTN. Di sana ada 56 PLTN yang menyumbang 74% dari produk listrik nasional. Protes anti reaktor nuklir, ya, ada saja. Tapi PLTN jalan terus. Begitu pula dengan Rusia dan Ukraina. Dua negeri bekas Uni Soviet itu ngebut membuat PLTN. Rusia menambah 18 unit dari 28 yang sudah ada. Sedangkan Ukraina, seperti melupakan bencana ledakan reaktor Chernobyl hampir tujuh tahun silam, menambah lagi 6 unit dari 15 yang sudah ada. Apa boleh buat, Rusia dan Ukraina harus memacu produksi listriknya demi memikat investor. Kawasan lain yang juga bersemangat memanen listrik dari reaktor ialah Asia Timur: Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Cina. Jepang sudah punya 45 reaktor yang memasok 29% kebutuhan listrik domestik, dan akan menambah lagi 6 buah PLTN baru. Korea Selatan, diam-diam, punya 9 PLTN yang menyumbang 43% kebutuhan listriknya, dan kini sedang membangun 3 buah reaktor baru. Taiwan punya 6 PLTN dan kini sudah mengambil ancang- ancang untuk menambah lagi. Cina baru punya dua unit PLTN: sebuah di Qinshan, Provinsi Zhejiang, berkapasitas kecil (300 MW), dan satu lagi di Teluk Daya, Guangdong, berkekuatan besar (950 MW). PLTN Qishan mulai beroperasi penuh awal 1991, sedangkan reaktor Teluk Daya mulai berproduksi secara komersial akhir tahun lalu. Dalam waktu lima tahun nanti, Cina setidaknya akan menambah dua unit lagi, satu di Hainan dan yang lain di Teluk Daya. Menjamurnya reaktor-rektor baru itu memang menunjukkan bahwa listrik PLTN cukup kompetitif. Di Jepang harga listrik dari PLTN hanya 10,14 yen (sekitar Rp 185) per kilowatt jam (kwh), lebih murah daripada setrum dari pembangkit bertenaga gas bumi yang 10,64 yen, batu bara 10,94 yen, atau minyak bumi (BBM) yang 11,51 per kwh. Ini harga 1992 ketika harga minyak beberapa dolar lebih mahal dari sekarang. Pada tahun yang sama, di Amerika biaya listrik PLTN itu juga relatif mampu bersaing. Harga per kwh-nya US$ 7,2 sen, sekitar Rp 145, hanya sedikit di atas tarif listrik di Indonesia. Angka itu sedikit lebih mahal dari listrik batu bara, tapi hanya 2/3 dari listrik minyak bumi atau gas alam. Bahkan PLTN Wolf Creek di Kansas berani menjual listriknya separuh dari tarif listrik gas alam atau minyak bumi. Bisa jadi, kalau PLTN itu diboyong ke tanah Jawa, harga listriknya juga kompetitif dengan pendahulunya: listrik tenaga air, minyak bumi, batu bara, atau panas bumi. Paling tidak, Batan yakin sekali atas perkiraan itu. Maklum, bukan kali ini saja Batan punya kalkulasi harga setrum dari pelbagai sumber. Pada awal 1980, Batan membuat studi kelayakan dengan bantuan konsultan, satu di antaranya dari Italia. Hasilnya: PLTN dapat bersaing, dan lokasinya pun telah ditetapkan di kaki Muria. Namun, hasil studi itu konon tak menarik minat para teknokrat. Walhasil, tak ada tindak lanjut. Pertengahan 1980-an studi yang pertama diperbarui. Nasibnya serupa, berhenti di laci birokrasi. Baru di 1990 Pemerintah lebih serius menanggapi soal PLTN itu. Maka, studi yang lebih mendalam pun dilakukan. Newjec terpilih menjadi konsultan, dan mulai bekerja sejak akhir 1991. Studi kelayakannya telah diserahkan kepada Djali Ahimsa dan observasi lanjutan mengenai situasi tapak akan berlanjut sampai pertengahan 1995. Setelah itu Pemerintah baru akan mengambil keputusan bulat tentang soal nasib PLTN ini. Tapi tentu bukan soal mudah untuk memutuskannya. Satu unit PLTN berkapasitas 600 MW konon memerlukan investasi sampai US$ 1,5 miliar. Jelas ini tergolong megaproyek. Dengan kerawanannya terhadap kritik, hanya kemauan politik yang berani yang dapat mengegolkannya.Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini