BARU pertama terjadi, hakim diadukan ke polisi gara-gara ada kalimat yang keliru dalam amar putusannya. Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya, yang menerima pengaduan ini, tentu saja kaget. Hakim itu adalah Nyonya Moerdijatoen Soeradji dari Pengadilan Negeri Surabaya. Ia diadukan oleh Salim bin Gadi. Ibu Hakim dituduh telah memberikan keterangan palsu. Sebab, dalam amar putusan yang menyangkut perkara Salim, terdapat kalimat: "... tanpa dihadiri oleh Salim atau kuasanya." Bukan masalah ketidakhadiran yang dipersoalkan Salim, melainkan bagian kalimat "Salim atau kuasanya" itulah yang dipersoalkan. Salim menganggap kalimat itu menyesatkan karena ia tak punya kuasa hukum. Kalau dilihat kasusnya, sepele memang karena hanya menyangkut rumusan kalimat yang tak sama dengan fakta. Tapi, dari sudut peristiwa hukum, masalah ini menjadi menarik karena untuk pertama kalinya ada amar putusan dijadikan bahan perkara. Yang menjadi pertanyaan, bisakah kalimat dalam sebuah amar putusan hakim dipersoalkan menjadi perkara tersendiri. Hingga pekan lalu, pihak Polwiltabes Surabaya belum menyelesaikan penyidikannya. Padahal, Salim bin Gadi, 59 tahun, jebolan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, telah melapor pada Maret 1993. Ia tak tahu mengapa penanganannya lamban. Menurut Kapolwiltabes Surabaya, Kolonel (Pol.) S. Bimantoro, polisi tak bermaksud memperlambat. Pihaknya memang bertindak hati-hati agar tak salah langkah. "Saya memang menginstruksikan untuk menanganinya secara hati-hati. Jangan sampai langkahnya bersinggungan dengan lembaga peradilan," tutur Bimantoro. Sampai pekan lalu, kata Bimantoro, penyidikan baru terbatas pada saksi-saksi, belum sampai memeriksa Hakim Nyonya Moerdijatoen Soeradji. Kasusnya sendiri bermula dari ikatan jual beli sebuah bangunan rumah seluas 180 meter persegi yang terletak di Jalan Jakarta 25, Surabaya, milik Salim. Pada Oktober 1990, rumah itu dibeli Ali Masjhur seharga Rp 150 juta. Pada pembayaran awal, Ali menyerahkan Rp 30 juta, dan sisanya dicicil. Ia akan melunasi jika surat-surat tanah sudah lengkap serta penghuni rumah itu sudah pindah (rumah itu dihuni pensiunan ABRI teman Salim). Dalam kesepakatan perikatan jual beli di hadapan notaris, Salim berjanji akan mengosongkan rumah itu paling lambat November 1991. Tapi ternyata janji itu tak dipenuhi Salim. Padahal, uang Ali yang sudah dibayarkan telah mencapai Rp 65 juta. Kedua orang itu kemudian sepakat akan menyerahkan uang dan rumah pada 20 Oktober 1992 di hadapan notaris, tapi lagi- lagi gagal karena Salim tak datang. Dari sinilah ikatan jual beli itu berubah menjadi perkara perdata di pengadilan. Ali menuntut agar Salim mau menerima uang sisa pembayaran sebesar Rp 85 juta dan menyerahkan rumah tersebut. Ali juga minta uang ganti rugi penundaan penyerahan rumah tersebut, sebesar Rp 35 juta. Tentu saja Salim menolak gugatan itu. Malah, ia balik menuduh Ali sengaja mengulur-ulur waktu pembayarannya. Karena telah lewat waktu yang disepakati, menurut Salim, uang yang telah dibayarkan Ali sebesar Rp 65 juta tadi hangus. Moerdijatoen akhirnya mengalahkan Salim. Dan Salim banding. Tapi ia melangkah jauh dengan melaporkan Moerdijatoen ke polisi. Dasarnya, ya, kalimat yang disebutkan tadi. Hakim dituduh memberikan keterangan palsu. "Hakim Moerdijatoen memalsu data. Itu perbuatan kriminal," kata Salim. Sementara itu, Desember lalu, permohonan banding Salim juga ditolak. Tapi mengapa Salim begitu ngotot mengadukan hakim ke polisi? Sekadar cari popularitas? Salim menampik tuduhan itu. Ia terus terang merasa kecewa terhadap sikap hakim. "Hakim cenderung membela lawan perkara saya. Buktinya, hakim menetapkan putusan serta-merta agar lawan perkara bisa menguasai rumah kami dengan segera." Moerdijatoen sendiri kini dipromosikan di Mahkamah Agung. Kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO, ia membantah keras jika disebut melakukan persidangan tidak adil. Ia malah menuduh Salim sering memperlambat jalannya sidang dengan cara menunda- nunda dan mangkir sidang. "Saya tak menerima uang dari siapa pun dalam perkara itu," ujar alumni Universitas Gadjah Mada yang sejak 1958 sudah menjadi hakim itu. Moerdijatoen, yang belum pernah dimintai keterangan oleh polisi Surabaya, merasa heran, bagian dari amar putusannya dipermasalahkan secara pidana lewat pengaduan ke polisi. "Ini tindakan aneh. Kalau ada yang keliru, ya, tinggal diprotes saja, atau dicatat dalam memori banding. Ini kok malah lapor ke polisi?" Menurut Moerdijatoen, memanggil hakim ke pengadilan bukan hal gampang. Dalam hal hakim dipertanyakan kredibilitasnya saat melakukan tugas jadi, bukan karena kasus pidana atau perdata sebagai pribadi Jaksa Agunglah yang mesti minta ke Mahkamah Agung agar menghadapkan hakim ke pengadilan. Artinya, dalam kasus seperti dialami Moerdijatoen sekarang, polisi tak bisa begitu saja memeriksanya. Peristiwa hukum ini juga diikuti dengan cermat oleh ahli hukum Universitas Airlangga, Prof. J.E. Sahetapy. Ia menganggap kasus ini cukup unik. Menurut Sahetapy, memperkarakan hakim ke polisi tak ada salahnya. "Tapi, kalau amarnya yang diadukan, secara yuridis, ya, kurang tepat," katanya. Seharusnya, menurut Sahetapy, Salim melapor dulu ke atasan hakim. "Kasusnya sendiri kan masih berjalan. Mungkin saja waktu itu hakimnya khilaf." Kendati demikian, Sahetapy menyebutkan bahwa kasus ini bisa dijadikan pelajaran bagi hakim agar lebih berhati-hati dalam memeriksa suatu perkara.Aries Margono dan K. Candra Negara (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini