JUSTRU bukan soal bahaya radiasi nuklir yang menjadi kekhawatiran penduduk kawasan Gunung Muria. Penelitian tim Antropologi Universitas Gadjah Mada, sejak 1992 hingga 1993 lalu, menemukan penduduk di sana menganggap pembangunan PLTN merupakan kekuatan yang akan memaksa mereka meninggalkan kampung halaman. "Mereka umumnya melihat PLTN sebagai persoalan penggusuran ketimbang masalah produk energi nuklir itu sendiri," kata Dr. P.M. Laksono, dosen Antropologi UGM yang memimpin penelitian itu. Jadi, pada umumnya bahaya PLTN itu dianggap sejenis dengan proyek waduk atau jalan raya. Penelitian kualitatif ini bertujuan mendata pengertian umum mengenai PLTN bagi orang yang terlibat atau merasa terlibat dengan masalah PLTN. Data dikumpulkan dari wawancara dengan warga di kaki Muria (terutama di daerah Ujung Lemahabang, Ujung Genggrengan, dan Ujung Watu, tiga calon lokasi PLTN), dari kalangan birokrat, publikasi di media massa, maupun seminar- seminar tentang PLTN. Hasilnya diklasifikasikan berdasar sikap pro dan kontra terhadap proyek yang mengundang debat itu, lalu dibukukan penerbit Gadjah Mada University Press. Para peneliti -- terdiri atas dua dosen dan beberapa mahasiswa membuktikan bahwa pemerintahlah yang sepenuhnya mengendalikan inisiatif pembicaraan mengenai PLTN. Seminar-seminar digelar untuk memasyarakatkan dan memaparkan proyek itu. "Sekitar 80% seminar nuklir diselenggarakan pemerintah, termasuk perguruan tinggi negeri," kata Laksono. Kalau sudah begitu, penduduk di sekitar calon lokasi pembangunan itu seakan menjadi objek yang pasif belaka. Barangkali tak ada pendapat penduduk setempat yang dijadikan masukan bagi para pengambil keputusan di atas. Adalah penelitian yang merupakan kerja sama antara Jurusan Antropologi UGM dan lembaga swasta Kophalindo ini yang mengungkapkan suara masyarakat yang bakal menjadi "korban" pembangunan PLTN. Menurut penelitian, masyarakat cenderung dalam posisi tegang, takut, dan tidak peduli dengan masalah itu. Hidup mereka sehari-hari saja susah, apalagi untuk urun rembuk soal teknologi tinggi. "Itu jauh dari dunia mereka," kata Laksono. Yang menjadi persoalan, sebagian warga desa termasuk cikal bakal yang masih menyimpan kenangan pahit saat membuka hutan. Lalu, bila wilayah itu nantinya dikosongkan, "Mau ke mana lagi kami dipindahkan?" tanya mereka. Dengar apa kata Nyonya Kotidjah, warga desa di lereng Muria, yang mengaku takut dan sedih membayangkan pembangkit berdaya raksasa itu bakal merombak jalan hidupnya. "Ngeri kalau seperti Chernobyl. Kalau terjadi kebocoran, bisa kena radiasi," ujarnya. Ia tahu ada berita kecelakaan di Chernobyl dari surat kabar. Ketika peneliti bertanya lebih jauh mengenai radiasi, Bu Kotidjah pun menjawab, "Radiasi ya ... saya nggak paham, pokoknya berbahaya." Penduduk setempat umumnya memahami program PLTN bukan dari sisi produk energi yang dihasilkannya. Tapi, para peneliti juga menemukan, aparat pemerintah daerah pun sama pula sikapnya: mereka tak mempunyai gambaran jelas tentang PLTN. "Yang ada di benak mereka, PLTN ini merupakan program nasional dan harus disukseskan," ujar Laksono. Maka, bayangkan saja nasib penduduk setempat kelak bila proyek itu jadi digarap.Ardian Taufik Gesuri dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini