Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cicak penghibur

Sukamsi kertajaya, warga tambakrejo, cilacap selatan, jateng menjadikan cicak dan tokek sebagai komoditi ekspor, selain ikan hias, ular dan kodok.

1 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-DIAM cicak Indonesia menjadi BHK alias binatang hiburan khas di mancanegara. Cikcak, decak kagum buat Sukamsi Kertajaya, 43 tahun. Warga Desa Tambakreja, Cilacap Selatan, Jawa Tengah, ini juga mengetahui bahwa bagi banyak orang Jawa ada kepercayaan, jika kejatuhan cicak itu alamat sial. "Tapi kalau saya, itu berarti kejatuhan rejeki," kata Nyonya Sukamsi, 35 tahun. Di rumahnya yang wah, keluarga lima anak ini melibatkan cicak sebagai komoditi ekspornya. Itu baru dua tahun ini dikembangkannya, setelah sukses dengan bisnis ekspor ikan hias air laut selama sepuluh tahun. Sukamsi punya hobi memelihara ular, kodok, dan tokek, yang kesudahannya dijadikan komoditi bisnis pula. Sukses lagi. Sampai pada suatu hari di Jakarta, Nyonya Sukamsi mendengar dari seorang Eropa, kenalannya, bahwa di mancanegara orang juga mengimpor cicak dan tokek untuk piaraan. Ia lalu mengontak penduduk Desa Jeruklegi, Cilacap. Terkumpul 50 orang sebagian besar petani yang bersedia berburu cicak dan tokek. Klompencitok atau kelompok pengumpul cicak tokek itu bekerja dua-dua orang. Mereka berburu di rumah penduduk, menggunakan jaring sederhana buatan sendiri. "Yang agak sulit menangkap cicak pohon," kata seorang pemburu cicak. Cicak pohon bisa terbang, karena punya selaput tipis mirip sayap. Meski cicak pohon panjangnya mencapai 20 cm, lebih gesit. Tampangnya seram mirip mini Dinosaurus. "Maka, harganya lebih mahal," kata Nyonya Sukamsi. Kepada klompencitok ia membayar Rp 50 per ekor cicak rumah. Dan untuk cicak pohon bisa Rp 750 seekor. Berapa nilai ekspornya, juragan bisnis cicak ini tidak bersedia menyebutkannya. "Pokoknya, tiap bulan, paling tidak, sekali ada ekspor cicak," katanya kepada Moch. Faried Cahyono dari TEMPO. Untuk sekali kirim sekitar 500 cicak pohon, 500 ekor tokek, dan lebih dari 2.000 ekor cicak rumah. Sebelum melanglang ke mancanegara, cicak dan tokek itu istirahat dulu seminggu di belakang rumah. Dalam masa penantian itu sang cicak dan tokek tentu perlu makan. Menu cicak, ya, nyamuk. Untuk menyiapkan ribuan nyamuk sekaligus belum perlu tim pemburu. Cukup menyediakan jentik alias bibit nyamuk di baskom, dan itu ditaruh di bawah penjara cicak tadi. Cuma memelihara jentik mirip main api, bisa menjadi biang penyakit. Menurut Nyonya Sukamsi, mulanya nyamuk yang baru menetas itu lari ke rumah. Juga ke tetangga. Kini kandang cicak itu dikelambui. Mengurus tokek lebih mudah. Selain jentik nyamuk, tokek doyan makan belalang. Ukuran belalang tak serumit nyamuk. Jadi, bisa diburu klompencitok. Tiba hari ekspor, mirip awak pesawat antariksa, cicak dan tokek ini dipindahkan satu persatu ke dalam kapsul terbuat dari bambu. Tanpa perlu dikursus bahasa sono lagi cicak dan tokek itu diterbangkan ke mancanegara. Sebagai barang piaraan, boleh jadi mereka lebih bahagia di rumah barunya. Atau sebaliknya: malah sengsara lantaran menghadapi empat musim yang silih berganti, atau menu nyamuk yang berbumbu keju dan alkohol.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus