KELAKUAN ganjil Subagio, 23 tahun, dianggap berkah bagi Desa Sanggrahan,b Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Di situ ada sepokok pohon kelapa tingginya sekitar 10 meter, di halaman keluarga Subani, 60-an tahun. Orang sedesa serta mereka yang lewat tertegun, lantaran Subagio bertengger di pucuknya. Sampai Kamis pekan lampau ia sudah lebih 50 hari di sana. Anak sulung dari tiga bersaudara pasangan petani Subani dan Sringah itu dikenal pendiam. Dan sampai menjelang pemilihan umum yang silam ia masih normal. Berperawakan tinggi besar dan hitam dengan rambut ikal, anak muda itu berada di sana dengan posisi bersila di celah pelepah daun dan buah kelapa. "Muduno to le, mesakke Bapak lan Ibu (turunlah nak, kasihan Bapak dan Ibu)," kata Camat Boyolangu, Djoko Sunarjo. "Moh, aku wedi dipateni (tidak mau, saya takut nanti dibunuh)," sahutnya sambil melipat badannya di lututnya. Dua hari gagal membujuknya, Pak Camat menyarankan pasang jaring di bawah pohon. Itu diambil dari tiang gawang lapangan bola. Untuk makan, tiap hari orang tuanya bergantian mengantar ke atas pohon. Juga pakaian dikirim tiap tiga hari sekali. Sama tak jelasnya dengan alasan nangkring di pucuk pohon itu adalah teganya Subagio melihat bapak dan ibunya tersaruk-saruk memanjat pohon kelapa tiap hari. Dukun didatangkan atas instruksi camat pada lurah setempat. Ada dukun dari Trenggalek, ada pula dari Pacitan dan ada lagi dari Surabaya. Semua mantera hongkatepong menguap bersamaan asap kemenyan. Yang tersisa cuma sampah pembakaran kemenyan di sekitar si pohon. Merasa kurang mangkus dengan cara halus, ada yang usul untuk menebangnya. "Bisa saja. Namun itu tidak manusiawi," kata Pak Camat, seperti dikutip Edy Hafidl dari TEMPO. Langkah manusiawinya, pemuda Karang Taruna dikerahkan jaga bergilir tiap malam di bawah pohon. Tengah malam memasuki hari ke 23, tiba-tiba terdengar suara: "buk". Subagio jatuh. Ketika bapaknya dan beberapa hansip menjemput, ia lari, dan tangkas bagai beruk naik lagi ke pucuk pohon. "Aku wedi dipateni," ujarnya. Belum diusut apa kiranya di balik ketakutan Subagio. Tapi ada yang bilang lantaran guna-guna. Ada lagi yang mengatakan akibat ia kecewa tidak diterima menjadi polisi. Menurut orang tuanya, selepas SMA di Tulungagung, 1988, ia ingin masuk Secaba Milsuk (Sekolah Calon Bintara Militer Sukarela). Sempat tes fisik dan psikologi di Mojokerto. Saat pengumuman, namanya tak tercantum. Kemudian tiga bulan ia bekerja sebagai kuli batu di proyek pembangunan ruang tunggu VIP Bandara Juanda di Surabaya. Lalu, ia mudik membantu orangtuanya bertani selama beberapa tahun. Setelah itu kerja di sebuah pabrik keramik di Tulungagung, Mei lalu. Sebulan. "Nggak betah, nggak biasa kerja di pabrik," katanya. Dan di minggu tenang menjelang pemilihan umum Subagio masih membantu orang tuanya di sawah. Malamnya, tiba-tiba pikirannya berubah untuk naik ke pucuk kelapa di pekarangan rumahnya itu. Sekarang sedikitnya 25 orang tiap hari menonton Subagio. Hari Minggu, raturan orang yang berekreasi ke Pantai Prigi atau Popoh, menurut Camat Djoko Sunarjo, selalu mampir melihat Subagio. "Itu hikmahnya, jadi orang semakin mengenal Desa Sanggrahan. Lumayan promosi pariwisata gratis," ujar camat yang alumnus Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta itu. Sekitar 8 km dari ibu kota Kabupaten Tulungagung, di desa ini terdapat Candi Gayatri dan Candi Dadi menurut riwayat pesanggrahan Putri Gayatri dan Raja Majapahit. Tanpa perangai aneh Subagio, tampaknya Desa Sanggrahan layak dikunjungi. Langkah manusiawi Pak Camat selanjutnya tentu tak membiarkan Subagio menjadi Tarzan desa. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini