CEMBURU membakar Supriyanto. Petani berusia 37 tahun ini pun membayar mahal. Kini, setelah menganiaya Waryati, istrinya, ia terpaksa tidur di Polres Purwokerto, Jawa Tengah. Waryati, 30 tahun, meski tamat sekolah dasar, giat dalam berbagai kegiatan. Ia ini ibu tiga anak. Pintar bicara dan liat di PKK, ia juga sering jadi panitia di desanya. Warga Masaran di Kecamatan Bawang yang rajin di organisasi wanita sejak akhir 1970-an ini bahkan kondang sampai tingkat kabupaten, di Banjarnegara. Karena kegiatannya, Waryati biasa menerima undangan untuk menghadiri pertemuan dan rapat. Kegiatan sang istri mengundang kecurigaan bagi Supriyanto. Apalagi yang mengantar surat selalu seorang lelaki. Yang menambah kecurigaannya adalah: sehabis itu surat dibaca serius, Waryati segera pergi. Sejak itu, Supriyanto kian sesak memendam cemburu. Hingga tiba hari Minggu, 28 Oktober lalu. Sehabis makan bersama, Waryati menghangatkan sisa sayur dan lauk di dapur. Supriyanto gelisah di kamarnya. Ia payah tidur. Anak-anak sudah tidur. Malam pukul 21.00. "Pak, mbok kamu segera tidur. Bapak kan capek, kenapa nggak tidur," ujar Waryati. Tak ada jawaban. Namun, begitu Waryati masuk kamar tidur, Supriyanto menyerangnya dengan pisau: dihunjamkan ke muka, telinga, tubuh, dan lengannya. Waryati tidak siap menangkis, menjerit minta tolong. Supriyanto lari ke luar rumah, dan berteriak, "Istriku mati saya sembelih. Istriku mati saya sembelih." Anak-anak mereka melolong. Para tetangga berhamburan ke rumah Waryati. Perempuan yang mandi darah dan mukanya tidak berbentuk lagi itu dilarikan ke Rumah Sakit Islam Banjarnegara. Tubuh dan mukanya, luar dalam, mengalami 106 jahitan. Giginya yang bawah rontok tiga buah, atas dua buah. Kuping kirinya hilang separuh. "Kok suamiku tega. Boleh dicek, saya pergi hanya untuk PKK," ujar Waryati kepada Nanik Ismiani dari TEMPO. Bicaranya pelan. Jumat pagi pekan lalu ia bersedia menerima suaminya yang datang menjenguknya dengan dikawal polisi. Supriyanto menangis. Ia minta maaf dan menyesali perbuatannya. "Tidak usah disesali. Keadaannya seperti ini, diterima saja. Jangan dipikir terus, nanti Bapak kurus," kata Waryati, yang masih kesakitan, berusaha menghibur. Mau lagi hidup serumah dengan Supriyanto? "Saya pikir-pikir. Bila ingat peristiwa itu, saya takut dan ngeri," kata Waryati. Supriyanto, yang buta huruf itu, jatuh kalap. Dikiranya, setiap surat yang diantarkan oleh lelaki itu adalah surat cinta kepada istrinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini