USAI menggelar Nol dengan penonton yang nyaris nol di Taman Ismail Marzuki, Agustus 1976, Putu Wijaya istirahat dengan konsep "teater bodoh"-nya. Sampai dengan Nol, Teater Mandiri sudah menggelar tiga lakon yang "tak jelas ujung pangkalnya", teater tanpa naskah. Sebelumnya ada Lho dan Entah, yang penontonnya lumayan. Kini, lebih dari sepuluh tahun setelah itu, tepatnya 6-7 November lalu di arena yang sama, Putu Wijaya kembali menghidangkan teater tanpa naskah. Judulnya Yel. Pada awalnya, kata Putu Wijaya, judulnya Bom -- walau tak ada hubungan dengan cerita pendeknya yang berjudul sama. Setelah melewati proses latihan, judul itu diganti Yel sedangkan Bom menjadi subjudul untuk bagian ketiga. Bagian pertama berjudul Aeng, dan bagian kedua Aut. Lakon ini bisa bebas untuk ditafsirkan, atau tidak. Yang hadir adalah gerak, suasana, ekspresi, gejolak, dan keindahan. Di bagian pertama, yang dimainkan anak-anak Teater Mandiri, gerak dan gejolak itu muncul dalam bayangan-bayangan seperti pertunjukan wayang kulit. Dengan musik yang begitu kuat dari tangan Harry Roesli dan sorotan cahaya yang tepat (supervisor tata lampu adalah Rudjito), wayangan ini menghadirkan suasana seram dan aneh yang membawa kita berkelana ke alam batin yang jauh, tapi tak jelas. Ada sosok angker di bayangan itu: mulut. Lalu, sejumlah orang, sejumlah benda, satu per satu ditelan Sang Mulut. Keserakahan, kekuasaan, ketamakan seperti dihadapkan pada ketakberdayaan. Musik riuh berbau Bali, seperti bunyi gender yang ribut pada adegan perang dalam pementasan wayang kulit Bali. Pada bagian kedua, Aut, yang dimainkan mahasiswa semester tiga IKJ (Institut Kesenian Jakarta), barulah lakon ini mulai lebih mudah ditebak-tebak. Putu seolah mengajak kita untuk memahami persoalan yang membelenggu kehidupan manusia, khususnya dalam hal mempertanyakan masa depan. Layar putih di belakang yang tadinya berfungsi sebagai kelir sudah tak digunakan lagi. Pemain keluar, mula-mula dalam gerak lamban seperti gerak taichi. Irama kemudian dipercepat dengan entakan-entakan keras, tapi tetap dengan komposisi yang manis. Berbeda dengan tiga lakon Putu terdahulu (Lho, Entah, dan Nol), Yel pada subjudul Aut ini jauh dari adegan yang sadistis. Konflik dilukiskan dengan pergolakan "di dalam" dan "arif". Ada dialog-dialog yang puitis, tapi itu bukanlah pemaparan suatu cerita, dialog lebih pada penekanan irama. Di bagian ketiga, Bom, kembali anak-anak Mandiri yang main. Putu mengetengahkan "kehidupan manusia" yang tak pernah putus-putusnya dijerat persoalan yang diciptakan manusia itu sendiri. Lolos dari persoalan yang satu, muncul persoalan lain yang tetap membelenggu sang nasib. Visualisasi ini dilukiskan dengan jaring besar yang jatuh dari atas. Ia mengurung manusia. Ketika mereka berusaha keluar dari cengkeraman jaring itu, ada jaring lain yang menggantikannya. Pada akhirnya bukan sekadar jaring, tapi gelombang raksasa yang siap mempermainkan kehidupan ini. Pesimistis? Entahlah. Tapi Putu mengaku cuma menggambarkan sketsa-sketsa tentang kehidupan manusia. Sebuah renungan yang bisa dikaji terus-menerus sesuai dengan kemampuan yang mengkaji. Dalam menghadirkan sketsa ini pun Putu menyesuaikan dengan pendukung lakonnya. Misalnya pada bagian kedua itu. Karena yang main anak-anak IKJ, yang dibedah adalah persoalan masa depan sebuah generasi. Seorang ibu ingin membentuk anaknya, tetapi si anak tak ingin menjadi pemuda masa depan atau pemuda masa lalu, ia ingin menjadi pemuda masa kini. Cermin dari pencarian kebebasan yang kemudian (pada bagian ketiga) ternyata kebebasan itu tak pernah ada karena manusia senantiasa tak bisa menghindar dari jaring-jaring kehidupan. Menggembirakan bahwa penonton hampir memenuhi Teater Arena. Barangkali ada semacam kekangenan untuk melihat jenis teater yang lain, yang jarang-jarang ada -- apalagi memang bagus. Ataukah ini betul-betul sebagai langkah awal kembalinya TIM dengan kesenian yang bermutu? Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini