Popularitas Presiden Corazon Aquino menurun, justru menjelang kepulangan Imelda Marcos. Aparatnya dituduh korup, anggota Kongres menilainya kurang tegas. Dan dari tengah masyarakat, terdengar suara-suara mengharap adanya "Marcos Baru". Sebuah laporan tentang Filipina dan Cory belakangan ini oleh Stanley Karnow, penulis pemenang hadiah Pulitzer karena bukunya tentang Perang Vietnam, Sebagaimana di muat di New York Times Magazine edisi Agustus tahun lalu, dan beberapa bahan lain. CORAZON Cojuangco Aquino, dengan gaun cantik warna kuning pastel, melangkah anggun ke dalam ruang resepsi. Dengan menebar senyum ramah sambil berbincang tentang keluarganya, perjalanan, dan cuaca, sang presiden memancarkan ketenangan serta rasa percaya diri yang kuat. Ia memang selalu tampak luar biasa, bahkan dalam keadaan stres berat sekalipun. Konon, ini karena ia sangat percaya bahwa nasib menguasai segala-galanya. Namun, belakangan ini ketenangannya bukan memancarkan kepercayaan diri, melainkan seperti disengaja untuk menutupi semacam kegelisahan. Memang, nyatanya dia dikepung oleh kesulitankesulitan sehubungan dengan pemerintahannya. Bencana alam beberapa kali menimpa Filipina. Gempa bumi yang memorakporandakan Luzon Tengah, wilayah paling padat, Juli tahun lalu. Lalu meletusnya Gunung Pinatubo, yang abunya membuat pangkalan Clark yang disewakan pada Amerika tak bisa dipakai, terjadi di medio tahun ini. Bencana-bencana itu oleh musuh lamanya, Imelda Marcos, bekas ibu negara, disebut-sebut sebagai pertanda ada yang tak beres dalam pemerintahan Cory sekarang. Lalu, Cory, yang dahulu naik ke Istana Malacanang antara lain karena dukungan militer, kini dihantui pula oleh kelompokkelompok militer pembangkang. Enam kali percobaan kudeta dari pihak militer terjadi. Meski akhirnya bisa digagalkan oleh kelompok yang tetap setia padanya, di Manila boleh dikatakan tak ada hari tanpa desas-desus akan adanya kudeta baru, dan salah satunya bakal berhasil sebelum pemilu tahun depan dilaksanakan. Di negeri tempat kekerasan politik telah menjadi semacam penyakit menular, ancaman pembunuhan pun membayangi janda Ninoy Aquino ini. Secara teratur, sejak menghuni Malacanang, 1986, Cory mengatakan dalam pidato-pidatonya bahwa ia telah membangun kembali institusi-institusi demokrasi yang dipreteli oleh Ferdinand Marcos, dan sudah menghidupkan kembali kepercayaan pada ekonomi yang babak belur. Ia pun mengaku telah meredam kekuatan pemberontak komunis, yang pada zaman Marcos tumbuh sampai menakutkan. Kadang, ia pun menyinggung bahwa People Power, gerakannya ketika mendongkel Marcos, ikut mengobarkan perlawanan pada para diktator di seantero Asia, bahkan menyebar ke Eropa Timur. Hal yang masih perlu dibuktikan dahulu kebenarannya. Bagaimanapun, di samping segala keberhasilannya itu, Nyonya Aquino sudah kehilangan keharuman yang dinikmatinya sesudah menggulingkan Marcos, yakni saat dunia memujinya sebagai "ibu rumah tangga nan alim yang berhasil menjinakkan iblis". Tahun lalu tingkat kepopulerannya di Filipina, yang pernah meroket, sudah anjlok sampai di bawah 50%. Toh, para pengritik Cory kedengaran sedih alih-alih marah, tampak kecewa alih-alih memusuhi. "Secara pribadi kami menyukai Cory, tetapi tak ada yang berubah di Filipina selama dia berkuasa," demikian keluhan yang sering terdengar di kota dan kampung. Para pengulas di surat kabar, para politikus, dan para kolomnis tak kurang pedas kritiknya terhadap Cory meski cara menyampaikannya dengan elegan. Tulis Luis Betran, seorang komentator kondang, "Ia, tulus hati, bermoral, dan jujur. Namun, kepresidenan jelas di luar kemampuannya, di luar batas pengalamannya." Kabarnya, Presiden Bush juga agak kikuk dengan kelemahan kepemimpinan Cory. "Kami mengharapkan ia dapat mengatasi masalah," kata seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS. Semua itu bukan tak disadari oleh yang bersangkutan. Menurut sumber yang bisa dipercaya, Aquino sempat juga membuat pembelaan. Kata dia, menurut sumber tersebut, semua kritik itu rupanya tak melihat bahwa kemenangannya atas Marcos adalah semacam keajaiban. Sebenarnya, katanya, ketika itu dirinya dituntun tangan gaib. Kekalahan Marcos, "Semacam simbol kecintaan Tuhan, dan suatu tugas yang dibebankan-Nya pada kita." Armando Doronila, redaktur surat kabar Manila Chronicle, mengkritik keengganan Cory memainkan kekuasaan. "Bagi Cory, jabatan Presiden Filipina hanyalah sebagai figur pemimpin," tulis Doronila. Cory rupanya memimpin pemerintahan dengan memegang teori bahwa institusi politik yang diperbaikinya "menciptakan sendiri dinamisme dan kekuatan gaibnya". Maka, John J. Carrol, seorang pendeta Amerika yang hidup bertahun-tahun di Filipina, menilai Cory "bukan seorang pemikir konseptual". Suasana di Filipina belakangan ini mengingatkan pada kondisi tahun 1960-an. Waktu itu kekacauan, kebingungan, dan keraguraguan membuat banyak warga Filipina mendukung penerapan UU darurat yang diberlakukan oleh Marcos, pada September 1972. Siapa tahu kini sebagian masyarakat pun berharap datangnya Marcos yang lain, dan UU darurat dalam bentuk lain. Soalnya, ada sebuah teori bahwa orang Filipina, walau cinta pada kebebasan, lebih menghargai sistem tangan besi untuk menertibkan masyarakat. Inilah tampaknya yang membuat Marcos "sukses" dengan UU daruratnya. Ia sangat memahami sifat mendua orang Filipina ini dan dengan lihai memanfaatkannya untuk kepentingan mempertahankan kedudukannya. Suara-suara nostalgia tentang Marcos sudah terdengar. Suara itu bukan hanya datang dari kelompok pendukung atau bekas pendukungnya, tapi juga dari para bekas musuhnya. "Dengan segala kesalahannya, ia (Marcos) toh seorang pemimpin yang kuat," ujar beberapa bekas lawan Marcos, sambil menyebut kondisi ekonomi dan disiplin semasa pemerintahan tangan besi sang bekas presiden, yang katanya lebih baik daripada sekarang. Suara-suara yang mendambakan seorang pemimpin yang kuat inilah yang menimbulkan peluang, bagi mereka yang berniat maju dalam pemilu tahun depan, setelah masa jabatan Cory berakhir Februari nanti. Salah seorang di antara mereka adalah Eduardo "Danding" Cojuangco, pengusaha besar dan bekas sekutu dekat Marcos. Danding, konglomerat pemilik perusahaan bir ternama San Miguel, pada Februari 1986 ikut pergi bersama Marcos ke Honolulu, meninggalkan banyak perusahaannya, perusahaan yang mendapat fasilitas khusus dari Presiden Marcos, misalnya dengan pemberian berbagai monopoli perdagangan, meski Danding adalah saudara sepupu Cory. Setelah Marcos meninggal, September 1989 di Honolulu, Danding kembali ke Filipina. Terbetik kabar bahwa Danding, yang berhasil menguasai kembali San Miguelnya, kini mengundang seorang guru khusus, untuk mengursusnya bertingkah laku dan bersikap seperti seorang negarawan. Tujuan Danding, tentunya, Pemilu 1992. Sejak kembali ke tanah airnya, Danding langsung mengatur kampanye, baik untuk mensponsori calon lain maupun menyiapkan dirinya sendiri terjun dalam pemilihan presiden. Sejauh ini Danding berhasil menjaring banyak pengikut, terutama dengan menebar duitnya yang gemuk. Apakah Danding bisa menang nanti, itu soal lain. Namun, kenyataan bahwa seorang pengusaha yang dahulu mendapat bantuan Marcos kini bisa memperoleh dukungan sedemikian besar mencerminkan perasaan frustrasi banyak orang Filipina pada Cory Aquino. "Manila adalah tempat untuk meraih keberuntungan," ujar Cory suatu kali. Sang presiden lalu menyebut-nyebut konstruksikonstruksi baru, perusahaan-perusahaan yang berkembang pesat, dan pasar modal yang hidup. Namun, sang presiden tak menyebut-nyebut apa yang ada di balik gedung kondominium mahal yang menjulang megah dan pesta-pesta gemerlap di rumah-rumah orang kaya. Di belakang itu berjubel gubuk-gubuk rombeng tak berlistrik dan tak punya air bersih. Terasa sebuah jarak yang jauh, jutaan mil dari gedung-gedung megah dan menjulang ke perkampungan kumuh di belakangnya. Jurang perbedaan kekayaan sudah keterlaluan di Filipina. Jangan sebut lagi perbedaan penghasilan antara petani di desa dan orang kota. Tingkat perbedaan itu bisa diukur dari kenyataan ini: Pelayan dari orang-orang kaya di kota punya juga pelayan untuk mereka sendiri. Di kertas, perbedaan itu sama mencoloknya dengan kenyataan yang terlihat sehari-hari. Dalam catatan statistik seperlima penduduk mendapatkan separo dari pendapatan nasional. Pada tahun 1988, Bank Dunia menyebutkan lebih dari setengah penduduk Filipina hidup "di bawah garis kemiskinan". Di pedesaan, tempat tinggal lebih dari separo dari 62 juta penduduk negara ini, kemelaratan itu begitu mencolok. Mereka yang melihat tajam pada diri Presiden Cory sendiri mengatakan menemukan kekontrasan dan kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat Filipina. "Cory sebenarnya punya kesempatan menjadi contoh," ujar Raul Locsin, redaktur sebuah koran bisnis yang terbit di Manila. "Dengan begitu ia bisa membuat dampak moral yang baik, yakni seandainya ia menyerahkan Hacienda Luisitanya pada para buruhnya." Hacienda Luisita, itulah perkebunan tebu milik keluarga Cory. Pemiliknya telah menjaring laba besar dari UU agraria yang ompong, yang mengizinkan para tuan tanah mempertahankan hak mereka asal menjual saham minoritas pada buruh yang telah bekerja sekurangnya 30 tahun, dengan harga yang ditentukan para tuan tanah itu sendiri. Mudah ditebak bahwa harga itu tak terjangkau oleh para buruh umumnya. Lihat, bagaimana kondisi barak-barak tempat tinggal buruh Hacienda Luisita. Mereka dijejalkan ke dalam barak sempit, tak ubahnya kandang ayam milik Jose "Peping" Cojuangco, abang Cory Aquino. Sementara itu, masih di wilayah perkebunan, ada lapangan golf 18 lubang yang cukup luas. Apa boleh buat. Jaringan pemerintahan di Filipina memang dikuasai oleh kaum berduit. Kongres Filipina, yang pemilihan anggotanya pada 1987 disebut-sebut Aquino sebagai pertanda kebangkitan demokrasi, didominasi oleh faksi-faksi kaum bisnis dan tuan tanah, yang lebih suka mempertahankan status quo dan menentang perubahan. Lalu birokrasi, yang bengkak karena besarnya jumlah pegawai, tak tersentuh oleh tangan Cory. Dengan anggaran rutin yang paspasan, gaji pegawai negeri sulit dikatakan cukup. Sebagai akibatnya, pelayanan masyarakat seret, dan dibutuhkan uang pelicin. Para pegawai, terutama yang bergaji minim, hanya mau bekerja jika dijejali uang semir. Itu memang tak dapat dilepaskan dari grafik pertambahan penduduk yang tak bisa direm. Pemerintahan Cory lambat mendukung program keluarga berencana. Padahal, tingkat pertambahan penduduk Filipina sangat tinggi. Salah satu sikap kontradiktif Cory tercermin dari soal ini. Sementara ia dan suaminya merupakan korban kezaliman Marcos, kini Cory mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia oleh kelompok-kelompok "pembalas dendam", yang memihak padanya. Upaya pembatasan pengeluaran negara kandas. Rencana Nyonya Cory Aquino untuk menswastakan perusahaan-perusahaan negara, seperti Manila Hotel dan Philippines Airline, gagal. Sebagian karena mereka yang ditunjuk menjalankan tugas itu sibuk berjuang mencari kesempatan yang menguntungkan diri sendiri. Sebagian sebab lain datang dari seringnya Cory merombak kabinetnya. Kebijaksanaan itu mempertajam perpecahan dan persaingan di antara anggota-anggota kabinetnya. Kejujuran pribadi Cory memang di luar jangkauan untuk dipantau. Yang jelas, pemerintahannya digerogoti korupsi sampai, konon, sekitar US$ 2,5 milyar per tahun. Bila jumlah itu benar, itu berarti mendekati sepertiga anggaran nasional. Bukannya tidak ada kritik terbuka di negeri yang mengaku menegakkan demokrasi itu. Joaquin Roces, penerbit koran terkemuka dan salah seorang pendukung Cory, sebelum meninggal tiga tahun lalu, membuat Cory tersentak dalam sebuah resepsi. Roces secara terbuka menuding Cory mengalah pada "vested interest, kerabat, dan kawankawan". Cory konon tak hanya terpana oleh kritik itu. Tak lama kemudian, dalam suatu wawancara ia menyatakan telah memperingatkan keluarganya dengan keras agar tidak memanfaatkan posisinya untuk meraih keuntungan pribadi. Bila ada yang diketahui melakukannya, "Selain menyuruh mereka pergi mengucilkan diri, saya tak tahu apa lagi yang harus saya lakukan," kata Cory. Pesan dari Gedung Putih Berjalan-jalan di pusat kota Manila memerlukan kelihaian untuk menghindari sampah-sampah yang menggunduk. Kemacetan lalu lintas di ibu kota Filipina ini sungguh mengerikan. Namun, yang membuat investor asing lari dari Filipina bukan itu, melainkan sektor jasa yang kacau, ketidakstabilan politik, meroketnya kejahatan dan kekerasan, di samping korupsi dan kesulitan birokratis. Sejumlah proyek besar terpaksa dipetieskan. Rencana pendirian pabrik petrokimia senilai US$ 360 juta, yang akan dibangun oleh kelompok pengusaha Taiwan, sudah masuk kotak. Demikian pula proyek tenaga listrik, yang tadinya akan dibangun oleh dua perusahaan AS. Dari 388 perusahaan multinasional yang berkantor di Manila pada 1985, tahun lalu tinggal 120 buah. Celakanya, di antara yang tinggal ini pun banyak yang mempertimbangkan untuk menarik diri. Perhatian Cory tampaknya lebih tertuju pada para pembangkang dalam kubu militer. Angkatan bersenjata Filipina, sebenarnya mengikuti pola angkatan bersenjata Amerika sebelum Perang Dunia II, menghindar dari kancah politik. Setidaknya sampai Marcos menerapkan UU Darurat. Marcos menyogok para jenderalnya dengan kegiatan penyelundupan dan perlakuan khusus tak legal lainnya. Inilah, antara lain, yang membuat berang sejumlah perwira muda, yang melihat perlakuan khusus dan tindak korupsi atasan mereka menjegal upaya mereka memerangi komunis. Para perwira muda ini lalu membentuk gerakan Reform Arm Forces yang populer disebut RAM, di bawah perintah Juan Ponce Enrile. Menteri pertahanan di zaman Marcos itu kemudian berbalik menentangnya. Pada Februari 1986, Enrile dan Ramos, saat itu penjabat Panglima AB, melancarkan pemberontakan militer, yang akhirnya membawa Cory ke pucuk kekuasaan. Teringat akan penderitaan suaminya dalam penjara militer selama pemerintahan Marcos, Cory pada awalnya tak mempercayai para tentara pemberontak tersebut. Bahkan, Cory pernah menampik bahwa ia berutang budi pada mereka karena gerakan merekalah Cory kini duduk di pos presiden. Namun, sadar akan kekuatan mereka, Cory akhirnya tunduk pada permintaan-permintaan para perwira tinggi militer tersebut, memberi mereka kebebasan lebih besar untuk memerangi komunis. Hasilnya, mungkin di luar dugaan Cory. Para perwira muda melancarkan percobaan kudeta. Entah karena masih ada solidaritas antara sesama militer, hukuman bagi para pemberontak, antara lain, push-up 30 kali. Cory pun menyetujui "hukuman" itu, dengan pertimbangan agar para pembangkang tak lebih marah. Namun, Agustus 1987, para perwira muda pembangkang melancarkan kudeta serius. Kudeta gagal, dan jatuh korban 53 orang tewas. Cory baru saja pulih dari kagetnya karena kudeta itu, saat 1 Desember 1989, tentara pembangkang kembali menyerang. Hampir saja kudeta militer itu berhasil kalau tidak ada campur tangan Washington. Presiden Bush, setelah diminta oleh Cory, mengirim dua pesawat Phantom dari pangkalan Clark, untuk melindungi Istana Malacanang. Aksi unjuk rasa Phantom AS ini membuat ngeri para tentara pemberontak, yang bisa jadi juga takut pada ancaman Gedung Putih yang akan menghentikan semua bantuan AS jika mereka merebut kekuasaan. Namun, para pemberontak itu tetap melancarkan perlawanan selama sepekan. Lebih dari seratus korban tewas, kebanyakan warga sipil, sebelum akhirnya suatu perjanjian disepakati. Ada satu hal yang bisa menjelaskan mengapa Cory yang banyak dikritik tetap juga dipertahankan oleh rakyat Filipina. Daripada diperintah oleh junta militer, rakyat Filipina tampaknya masih lebih memilih kepemimpinan Cory. Buktinya, rakyat tak menyambut para pemberontak. Walaupun Cory juga terguncang oleh peristiwa Desember 1989 itu, rakyat ternyata juga tak menghambur ke jalan untuk menyambut sang presiden. Apalagi dalam kesempatan itu masih juga muncul kritik: Cory, yang meminta bantuan intervensi Amerika, tentunya bakal tunduk pada kemauan Washington. Khususnya dalam kasus nasib pangkalan militer AS di Filipina. Ternyata bahwa ini benar, dan karena perjuangan Senatlah akhirnya kontrak pangkalan itu tak diperpanjang lagi. Pemberontakan militer juga menyingkap faksi pembangkang baru dalam tubuh militer: The Young Officer Union atau YOU. Kelompok ini terdiri dari para perwira menengah setingkat mayor dan kapten. Mereka lebih ideologis daripada RAM. YOU menuntut apa yang mereka sebut "kebebasan nasional dan sosial yang murni". Enam pekan setelah kudeta gagal, Presiden Bush mengirim utusan khusus ke Manila. Dalam pertemuan empat mata dengan Nyonya Aquino, Robert Gates, deputi Penasihat Keamanan Nasional AS, di samping menjanjikan dukungan Gedung Putih, juga secara blakblakan mengatakan pada Cory agar "membereskan rumah" dengan membenahi militer, mengawasi birokrasi, korupsi, dan melakukan reformasi ekonomi dan sosial. "Masalah paling penting adalah stabilitas. Ini saatnya melancarkan keputusan keras," demikian, konon, Gates memberi kuliah kepada Cory. Para pejabat AS mengatakan bahwa Cory tenang-tenang saja mendengarkan kata-kata Gates. Namun, orang-orang dekat Cory menceritakan bahwa sang presiden begitu "tercengang" mendengarkan pesan Bush. Menurut para pembantu dekat itu juga, ketika para pejabat AS membocorkan pada pers AS tentang isi pesan Bush pada Cory, Cory begitu kecewa. Lebih-lebih lagi setelah Kongres AS menyunat paket bantuan ekonomi untuk Filipina. Kekecewaan Cory bisa ditebak ketika ia menolak bertemu dengan Menteri Pertahanan AS Dick Cheney, yang dijadwalkan singgah di Manila dalam perjalanan dinasnya ke Asia. Tak pernah sebelumnya, seorang pemimpin Filipina menampik bertemu dengan pejabat tinggi AS. Penolakan Cory membuat berang banyak pihak di Washington, di antaranya para anggota Kongres AS. Adapun Presiden Bush, yang mestinya juga kecewa, menyindir dengan halus. "Dengar," kata Bush dalam suatu wawancara. "Tiap kali saya berbincang-bincang dengan Dick Cheney, saya bertambah pintar. Anda bisa banyak belajar dari Cheney, atau dia yang belajar dari Anda." Di Filipina sendiri, penolakan Cory bertemu dengan Cheney disambut hangat. Pokok-pokok berita koran-koran hampir sama nadanya: "Cory mulai keras." Namun, tetap ada sejumlah orang yang mengkritik Cory overacting dan salah tingkah. Mungkin kenyataan itulah yang membuat Cory berani bersikap keras terhadap Juan Ponce Enrile, bekas menteri pertahanannya yang kini jadi senator paling vokal dalam menyerang Cory. Pada Februari 1990, Cory memerintahkan penangkapan Enrile, dengan tuduhan mendalangi "pemberontakan dan pembunuhan" yang "bermotifkan politik". Suatu tuduhan yang pernah ditujukan pada suaminya, Benigno "Ninoy" Aquino, oleh Marcos, yang menyebabkan suaminya itu masuk penjara. Namun, kelanjutan antara Enrile dan Ninoy berbeda. Bak sebuah babak dalam komedi Filipina, Enrile mendekam dalam bui yang berpenyejuk, dilengkapi dengan TV dan pesawat telepon. Selama sepekan sang senator tinggal dalam sel nyaman itu wartawan, kerabat, dan handai tolan selalu merubungnya. Akhirnya, dengan jaminan 100 ribu peso (US$ 4.500) Enrile dibebaskan. Empat bulan kemudian, Mahkamah Agung membatalkan tuduhan, dengan alasan kurang bukti-bukti. Akan halnya Ninoy, seperti sejarah mencatat, mesti dikurung sekitar tujuh tahun, sebelum dibolehkan terbang ke Amerika untuk operasi jantung. Ketika ia kembali ke Filipina pada 1983, untuk ikut dalam pemilu, ternyata hanya menemui ajal yang sudah menunggu di Bandara Manila. Inisiatif lain Cory yang kemudian membuatnya malu, selain kasus penangkapan Enrile, adalah ketika ia memerintahkan salah seorang jenderalnya pergi ke Luzon Utara untuk menangkap Rudolfo Aguinaldo, gubernur provinsi itu yang terang-terangan mendukung percobaan kudeta Desember 1989. Justru jenderalnya tertembak tewas, sedangkan Rudolfo Aguinaldo kemudian buron. Cory juga dibuat malu ketika para juri yang mengadili Imelda Marcos di New York, akhirnya, Juli tahun lalu, memutuskan janda Marcos itu bebas dari tuduhan. Padahal, Cory sangat berharap, jatuhnya hukuman pada Imelda bakal membenarkan tuduhannya bahwa Marcos menjarah uang negara. Adik Kecil yang Cokelat Apa pun kelemahannya, keadaan sulit yang dihadapi Corazon Aquino berakar dari masa lalu. Sebelum bangsa Spanyol datang pada abad ke-16, kepulauan Filipina tak memiliki ikatan atau seorang raja yang menjadi simbol kekuasaan terpusat. Amerika mengambil alih kepulauan ini dari tangan Spanyol pada 1898 dan memerintah sampai 1946. Jadi, sejarah Filipina pada intinya merupakan sejarah kolonial. Pendeknya, "Tiga ratus tahun dalam jajahan Katolik dan setengah abad dalam jajahan Hollywood." Warisan ini menghalangi pembentukan identitas nasional bangsa Filipina. Maka, masyarakat Filipina kini terpecah antara kesetiaan pada keluarga, marga, dan daerah asal mereka. Perasaan bersatu mereka hanya dalam agama Nasrani dan kewarganegaraan Filipina semata. Di luar itu tak ada ikatan apa pun. Di bawah jajahan Spanyol, ekonomi Filipina merana sampai abad ke-19, saat revolusi industri di Barat memerlukan pasokan komoditi semacam gula, rami, dan kopra. Perkebunan-perkebunan pun berkembang, menumbuhkan kelas tuan tanah. Tuan-tuan itu kebanyakan imigran Cina yang kawin dengan perempuan pribumi Filipina. Dinasti tuan-tuan tanah itu kini mendominasi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik Filipina. Buyut Cory datang dari Cina pada 1890, dan di tanah baru ini mereka kemudian memeluk Katolik. Mereka sukses sebagai pedagang, memiliki perkebunan besar, yang sampai kini masih berada di tangan keturunannya. Beberapa saat lalu, Cory mengunjungi Cina untuk menengok kampung leluhurnya. Ada juga sedikit keuntungan orang Filipina. Jika dibanding dengan penjajah Eropa, Amerika agak lebih lunak. Mereka tak begitu memeras. Impian orang Amerika adalah menyetir orang Filipina agar mengikuti pola hidup Amerika. "Adik kecil cokelat kita," demikian William Howard Taff, gubernur sipil pertama di Filipina, menyebut bangsa Filipina. Para guru Amerika pun mengajarkan bahasa Inggris badan-badan politik dan pengadilan berpusat di gedung-gedung bergaya Yunani, meniru Washington. Pada 1907, bangsa Filipina melakukan pemilihan parlemen bebas, yang pertama di Asia. Enam tahun kemudian Kongres AS memutuskan akan memberi kemerdekaan kepada koloninya di Asia ini. Selama Perang Dunia II, rakyat Filipina berjuang bersama tentara Amerika melawan Jepang. Namun, para pejabat AS gagal melindungi para petani dari eksploitasi para tuan tanah dan pemilik perkebunan-perkebunan besar. Para pengusaha Amerika dibolehkan mengekspor produk mereka ke Filipina, bebas pajak. Sebagai gantinya komoditi Filipina dapat masuk AS tanpa pajak pula. Perjanjian kolonial semacam ini terbukti mempertahankan oligarki tanah tradisional. Kongres AS menerapkan sistem perdagangan yang sama setelah kemerdekaan Filipina pada 1946, yakni saat bekas koloni AS itu porak-poranda oleh Perang Dunia II, dan dengan sangat membutuhkan bantuan Amerika. Akibat itu semua, bangsa Filipina rupanya sangat terpikat pada kebudayaan Amerika. Mereka memakai nama panggilan Amerika, menikmati makanan Amerika, dan terpukau pada olahraga Amerika. Namun, nilai-nilai fundamental mereka tetap tak berubah. Karena curiga pada institusi-institusi, orang Filipina bergerak melalui jaringan ikatan pribadi, berdasarkan kewajiban dan kerja sama yang saling menguntungkan. Khususnya hal ini terjadi dalam sektor politik. Partai-partai biasanya terdiri atas sebuah klik, dan para anggotanya lebih mengejar kedudukan daripada bercita-cita memegang pemerintahan dan untuk melaksanakan program tertentu. Mereka hanya ingin menciptakan pekerjaan, kontrak, dan kemudahan lain untuk kepentingan keluarga dan teman-teman. Sebaliknya, teman-teman itu berkewajiban mengusahakan agar mereka terpilih atau mempertahankan kedudukan. Begitu kacaunya penggunaan kekuasaan semacam ini sehingga Marcos menggunakan seperempat anggaran nasionalnya untuk kampanye pemilihan presiden pada 1965. Karena dibatasi oleh UU bahwa masa jabatan presiden hanya bisa terulang sekali, Marcos kemudian menghapus sistem itu, dan tetap dia menjabat presiden dengan cara menerapkan UU darurat. Maka, sebenarnya Filipina tak pernah menjadi "cermin demokrasi", sebagaimana sering disebut-sebut oleh orang Amerika. Politikus Filipina paling terkemuka selama era koloni AS, Manuel Quezon, adalah seorang yang meyakini paham otokrasi. Para dinasti penentang Marcos bukan gusar karena kezaliman sang bekas presiden, melainkan lebih berang pada cara Marcos membagi hadiah-hadiah kepada teman-temannya. Ninoy Aquino sekalipun, sebenarnya, bukan pahlawan kebebasan sipil. Ninoy adalah satu model dengan Lee Kuan Yew dari Singapura dan Jenderal Park Chunghee dari Korea Selatan. Mereka semua sulit disebut sebagai demokrat. Dengan menengok ke belakang sejarah Filipina, banyak pengamat berpendapat bahwa Cory seharusnya menggunakan kepopulerannya untuk mendorong perubahan drastis. Bukannya lalu ia berharap pada proses demokrasi alamiah, yang nyatanya sistem oligarki reaksioner yang sebenarnya berlaku. Langkah-langkah ke arah reformasi drastis tak diambil Cory, mungkin karena ia sebenarnya seorang konservatif sejati. Apa pun masa depan yang dihadapi Cory, dalam Pemilu 1992 nanti, adakah ia akan bersaing dengan Imelda Marcos atau orang Marcos yang lain, masyarakat Filipina masih tetap merupakan masyarakat seperti yang digambarkan oleh Benigno "Ninoy" Aquino dalam majalah Foreign Affairs, Juli 1968. "Inilah masyarakat yang sedikit orang begitu kaya, sementara kebanyakan rakyat sangat papa.... Di sana kebebasan hanya menjadi kenyataan dalam kelompok minoritas, dan tetap hanya berupa ilusi bagi rakyat jelata. Inilah daerah yang ditahbiskan untuk demokrasi, tapi dijalankan oleh plutokrasi. Wilayah yang dipersembahkan untuk persamaan, tapi terperosok pada sistem kasta yang kolot. Pemerintahnya nyaris bangkrut, badan-badan negara dibebani utang, dan dibelit korupsi. Ekonominya dalam tekanan yang menyedihkan. Orang Filipina mengalami depresi dan putus asa, tanpa tujuan, dan tanpa disiplin. Melemahkan kepercayaan, harapan, dan kemauan. Namun, inilah kesalahan mereka sendiri. Mereka mengaku mencintai negaranya, tapi lebih mencintai diri mereka sendiri sebagai individu." FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini