GEROMBOLAN perampok mengacau di kampung Laban Bongkok, Kecamatan Lemah Abang, dua puluh kilometer di timur Kota Bekasi. Penduduk menuduh mereka orang suruhan. Kebetulan, para korban termasuk yang belum bersedia menjual rumah dan tanahnya kepada PT Gunung Cermai Inti, developer pembangunan Bekasi Industrial Estate di Lemah Abang. Tiba malam, penduduk yang ketakutan mengungsi ke rumah keluarga atau kawan. Teks ini ditulis Yudhi Soeryoatmodjo berdasarkan laporan Susilawati Suryana. Foto esei oleh Robin Ong KALAU dunia ini sandiwara, maka peristiwa Bekasi adalah teater absurd Putu Wijaya. Sebuah tembakan meletus di tengah malam. Sebuah keluarga diserang sekawanan perampok. Mereka mendobrak pintu dan menuntut uang hasil pembebasan tanah. "Belum ada," jawab yang ditodong. Di antara tanah dan rumah di Kampung Laban Bongkok, milik Namin salah satu yang belum tergusur. Alhasil, gerombolan itu cuma menjarah beberapa gram emas dan sedikit uang tunai. Mereka beralih ke rumah-rumah sebelah. Aksi yang sama, jawaban yang sama, penjarahan yang sama. Pagi hari, penduduk mengusap mata dan menengok sekelilingnya. Mereka melihat buldoser yang siap bekerja. Mereka melihat kampung yang sudah diratakan. Segelintir rumah berdiri, pulau di laut kering. Pers buru-buru menyambut. Polisi bungkam. Yang dituduh balik menuduh. "Banyak persaingan dalam proyek ini," ujar kepala proyek. "Tak mustahil ada pihak ketiga yang sengaja menyebarkan isu." Moral dari cerita ini ialah bahwa tak ada lagi moral. Ketika pembangunan tinggal soal uang, lahirlah rasa curiga. Ketika rakyat digeser ke sana kemari, tanpa alasan yang dipahami, lahir dendam. Ketika hukum jadi komoditi, yang berlaku hukum pasaran: setiap mulut -orang kampung, pengusaha, pers, pejabat -menjadi sebuah kebenaran. Dan setiap kata adalah peluru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini