Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Daan Dimara: Hamid Seharusnya Jadi Tersangka

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bila tak ada sidang, Da-an Dimara sering menghabiskan waktunya untuk membaca koran. Meringkuk di tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya sejak Februari lalu, lelaki 62 tahun ini rupanya terus mengikuti perkembangan perkara yang membelit dirinya. Bekas anggota Komisi Pemilihan Umum ini sekarang diadili dalam kasus pengadaan segel sampul pemilihan presiden 2004.

Dia selalu berharap kasus- korupsi di KPU diusut secara tuntas. "Sebab, saya melihat sepertinya ada tebang pilih," ujar dosen Universitas Cen-derawasih ini. Selain itu, Daan juga mengaku kerap mendapat tekanan jika memberi kesaksian yang menyudutkan Hamid Awaludin, rekannya di KPU yang kini jadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Wartawan Tempo Maria- Ha-su-gian mewawancarai orang- Biak, Papua, itu pada -Ka-mis pekan lalu. Berikut petik-an-nya.

Menjelang sidang di Peng-adilan Korupsi Jakarta Pusat, Sela-sa pekan lalu, Anda sem-pat ber-temu dengan Hamid Awa-lu-din. Apa yang Anda bicarakan?

Sebelum sidang dimulai, Ha-mid datang ke ruang terdak-wa. Saya di sana bersama pe-ng-a-cara saya, Erick S. Paat dan Pablo Christallo. Dia lalu me-rangkul saya dan mena-nyakan keadaan saya. Hamid meng-ajak saya ke ruang saksi. Dia menyatakan prihatin ter-hadap saya dan mau membantu secara ekonomi keluarga saya. Sa-ya menyatakan terima kasih atas perhatiannya. Saya bilang, jangan bantu saya karena saya ada gaji dari Universitas Cenderawasih. Istri saya juga mendapat gaji.

Saya katakan, kalau mau bantu, bantu semua teman KPU di sini. Saat saya mau keluar ruangan, dia bilang lagi, "Saya minta titip pesan, pengacara An-da ja-ngan membuat pertanyaan-perta-nyaan yang memojokkan saya. Kalau terus menerus begini, ini sudah meng-arah ke masalah pribadi."

Lalu, apa jawaban Anda?

Saya katakan, baiklah nanti saya sampaikan ke Pak Erick S. Paat, pengacara saya. Setelah itu saya kembali ke ruang terdakwa dan saya beritahukan ke Pak Erick. Lalu saya telepon istri saya. Istri saya bilang, "Jangan terima bantuan Hamid. Bapak dipermalukan seperti itu. Kita punya harga diri, kita punya gaji." Anak perempuan saya juga mendengar dan meminta saya menolak bantuan -Hamid.

Bagaimana reaksi Erick sendiri?

Di dalam persidangan, ia mena-nyakan hal ini kepada Hamid. Tapi majelis hakim menolak adanya pertanyaan ini karena dianggap telah keluar dari konteks sidang.

Anda menilai ucapan Hamid itu se-bagai ancaman?

Ya. Sebelumnya, saya dan Pak E-rick sudah beberapa kali menerima te-lepon ancaman. Saya pernah menerima telepon sekitar pukul 21.00. Penelepon b-ilang, jangan ganggu-ganggu Pak H-amid-. Terus saya ganti nomor telepon.

Sewaktu proses penyidikan, apakah Anda sering mendapat ancaman?

Seusai saya diperiksa Ko-misi Pemberantasan Korup-si, saya jelaskan kepada war-tawan bahwa Hamid bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilihan presiden pertama dan kedua. Lalu, keesokan harinya pukul 08.00, Hamid menelepon saya. Dia bilang, "Meneer (Daan), kenapa nama saya dibawa-bawa?" Saya ja-wab, "Bapak sejak jadi menteri sudah lupa-lupa." Lalu te-lepon saya tutup.

Anda pernah menyebut ada banyak fakta yang belum diungkap dari kasus segel sampul surat suara.

Ya, soal Hamid yang memimpin rapat pada 14 Juni 2004. Ada lima saksi membenarkan Hamid memimpin rapat. Apakah lima saksi itu bukan bukti formal? Me-reka juga belum dikonfrontasi. Sa-ya dikonfrontasi, tapi tidak dalam kaitan dengan pertemuan itu, melainkan pernyataan soal harga segel surat suara. Fakta lain, Hamid kan mendapat surat dari PT Ro-yal Standard, tapi ia mengaku tidak terima dan tidak mem-bacanya. Ini benang kusut yang perlu diurai secara perlahan-lahan. Hamid juga menerima uang US$ 30 juta dan Rp 12 juta seperti saya. Kena-pa KPK takut menangkapnya?- Apa karena ia sekarang ber-ada pada lingkaran kekuasaan? (Soal uang itu, Hamid pernah membantah dan mengatakan tidak menerimanya.)

Bagaimana seharusnya status Hamid?

Jika merujuk pada kriteria tersangka menurut KPK, Hamid tentu sudah memenuhi syarat jadi tersangka korupsi. Kriterianya, melibatkan penyelenggara negara, meresahkan masyarakat, dan merugikan negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Tapi penyidik KPK menyatakan alat bukti terhadap Hamid kurang.

Lima saksi membenarkan Hamid memimpin pertemuan 14 Juni. Bagi saya, lima saksi itu sudah melampaui kebenar-an yang diinginkan majelis hakim dan jaksa. Karena itu, saya minta majelis mengkonfrontasi lima saksi itu dengan Hamid. Jika tidak, saya dan pengacara saya akan walk out.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus