Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perangkap bagi Sang Menteri

Menteri Hamid Awaludin memberi kesaksian yang berbeda di pengadilan korupsi. Ia bisa dituduh berbohong.

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiada pilihan yang mudah bagi Hamid Awaludin. Sudah dua kali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini dipanggil oleh jaksa untuk bersaksi di pengadilan korupsi. Jika tidak hadir dalam panggil-an ketiga, ia akan dijemput paksa. Tapi, kalau bersaksi, keterangan bekas anggota Komisi Pemilihan Umum ini akan berbeda dengan saksi-saksi sebelumnya. Ini sebuah perangkap, karena Hamid bisa dijerat dengan pasal kesaksian -bohong.

Akhirnya sang Menteri memilih meng-hindari pemanggilan paksa. Selasa pekan lalu, Hamid hadir di Pengadil-an -Korupsi Jakarta Pusat. Ia bersaksi- dalam perkara Daan Dimara, bekas anggota KPU yang didakwa melakukan korupsi pengadaan segel sampul kertas suara pada pemilihan presiden 2004.

Dia ditunggu keterangannya karena fakta persidangan menyinggung diri-nya. Tiga saksi yang sudah diperiksa menyebut Hamid pernah memimpin rapat pada 14 Juni 2004 di kantor KPU. Dalam pertemuan dengan bos PT Royal Standard, Untung Sastrawijaya, disepakati harga segel Rp 99 per keping. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan, gara-gara penetapan harga yang terlalu tinggi ini negara rugi Rp 3,5 miliar.

Ketiga saksi itu adalah Untung se-bagai rekanan KPU dan dua anggota panitia pengadaan segel, yakni Bakrie Asnuri dan Boradi. Di luar mereka sebenarnya ada dua lagi saksi lain yang belum memberikan keterangan di peng-adilan. Tapi, dalam berkas pemeriksa-an, keterangan mereka seragam: menyatakan Hamid sebagai penentu harga segel. Jika dihitung, bakal ada lima ke-saksian yang melawan Hamid.

Jangan heran bila Hamid langsung dicecar pertanyaan begitu duduk di kursi saksi. ”Apa benar Saudara memimpin rapat menentukan harga?” tanya hakim I Made Hendra Kusumah. ”Banyak rapat di KPU, tapi saya tidak pernah hadir dan memimpin dalam rapat itu,” jawab Hamid. Hakim Made lalu mengingatkan Hamid untuk bersaksi secara jujur. ”Anda disumpah!” katanya. ”Ya, sangat benar,” Hamid menyahut tak -kalah cepat.

Pengakuan Daan Dimara sebelumnya juga dibantahnya. Ini tentang ucapan Hamid di ruang Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin, 14 Juni 2004 siang, setelah pertemuan itu. Kata Daan, Hamid berkata, ”Meneer Daan, harga segel itu ja-ngan diubah-ubah. Sudah OK, tinggal meneruskan dan mengawasi saja.”

Hamid berdalih ucapan itu hanya un-tuk mengingatkan agar proses peng-adaan segel dipercepat. ”Karena ada kaitannya dengan saya selaku ketua pengadaan surat suara. Tidak ada gunanya surat suara selesai kalau segel tidak selesai,” katanya.

Tak puas dengan kesaksian itu, E-rick- S. Paat, pengacara Daan Dimara, menuduh Hamid berbohong. ”Saya minta majelis mengkonfrontir dengan saksi lain dan menahan Saudara Saksi (Hamid) karena kesaksian palsu,” katanya ketika mendapat giliran bertanya.

Rasa kecewa juga menghinggapi -Da-an. Ia menganggap koleganya ber-bohong dan menutupi persoalan. ”Saya cuma jadi korban. Hamid yang me-nentukan. Tapi dia tak mau mengaku,” kata dosen di Universitas Cenderawasih Ja-yapura ini.

Ketua majelis hakim, Gusrizal, terkesan hati-hati menghadapi desakan peng-acara terdakwa. Dia malah melempar persoalan ke jaksa. ”Kalau ada kesaksian palsu, harusnya jaksa penuntut bertindak,” katanya kepada Tempo se-usai sidang. Maksudnya, jaksa bisa menjadikan saksi sebagai tersangka kasus sumpah palsu atau kesaksian bohong.

Dalam praktek pengadilan, tuntutan kesaksian palsu memang bisa diminta oleh jaksa maupun terdakwa dengan penetapan hakim. Pelaku sumpah palsu bisa dihukum 7 atau 9 tahun penjara. Perkara pokok bisa dihentikan sementara menunggu putusan tetap atas kasus sumpah palsu tersebut. Tujuannya agar diperoleh kesaksian yang benar untuk memutus perkara itu.

Kasus sumpah palsu pernah di-alami oleh John Anggrek, seorang pengusaha ternama di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dia disangka berbohong saat bersaksi dalam sidang perkara penye-lundupan 77 koli kayu cendana pada 1988. Saat itu, terdakwa A.T. Ibrahim menyebut sebagian kayu selundupan itu diambil dari gudang milik John di daerah Osmok, Kupang.

Dalam sidang, John membantahnya. ”Kunci gudang saya pegang sendiri, saya taruh di kamar tidur sehingga tak mungkin diambil orang lain,” kata John di persidangan. Hakim lalu menetapkannya sebagai tersangka sumpah palsu. John sempat dihukum satu tahun penjara oleh pengadilan negeri, walau akhirnya di-bebaskan oleh pengadilan banding.

Jika majelis hakim kasus Daan bersikap tegas, bisa saja Hamid ditetapkan sebagai tersangka sumpah palsu. Ke-mungkinan ini memang belum tertu-tup. Gusrizal menyatakan akan melihat perkembangan fakta di persidangan. ”Sidang ini kan belum selesai,” katanya.

Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus