KE mana tujuan bemo dan daihatsu kecil itu? Dulu hanya untuk
pinggir kota selatan dan utara. Sejak dua bulan ini rute
kendaraan angkutan penumpang, dalam kota telah ditambah. Selain
rutenya yang telah menjadi lima, juga frekwensi dan jumlah
kendaraannya telah bertambah banyak. Tapi rupanya penduduk Ujung
Pandang masih lebih suka naik roga alias roda tiga bin becak
daripada naik bemo. Terutama untuk jarak dekat, meskipun
diliwati oleh si bemo. "Enak, tidak berdesakan", kata dua orang
bakul jamu dari Jawa, "tapi pulangnya saya naik bemo, sudah
tidak membawa beban berat", tambahnya.
Sebelum ini, Ujung Pandang juga mempunyai taksi dalam kota,
dengan puluhan sedan Toyota Corona, milik Morante. Corona boleh
dihentikan dan disuruh ke mana saja di dalam kota, hanya dengan
biaya Rp 25/Rp 50 waktu itu per orang. Keengganan memakai jasa
kendaraan motor beroda empat di dalam kota ini masih berlangsung
sampai sekarang. Mobil Morante kini tinggal beberapa biji karena
sebagian besar ditarik ke daerah lain yang menguntungkan. Yang
adapun tidak lagi melayani jauh dekat Rp 25/Rp 50 itu tapi
mengurus penumpang ke mana saja dengan harga tawar menawar.
Tidak beda dengan taksi gelap yang jumlahnya ratusan di Ujung
Pandang.
Daihatsu kecil muncul, jumlahnya sudah sekitar tiga ratusan.
Penumpang masih ogah-ogahan. Supirnya mengeluh. "Pajak setoran
Rp 3.500 per hari tapi pemasukan tidak sampai sekian. Lumayan
bila punya Daihatsu sendiri", keluh salah seorang supir yang
dulunya aktif kuliah. Pembagian trayek tidak dipatuhi lagi. Para
supir mengambil rute seenaknya, pokoknya ada penumpang, ke
sanalah kendaraan ditujukan. Terhadap kebebasan ini rupanya
fihak penertib belum mengambil tindakan, barangkali - dengan
pertimbangan Pancasila yang mempunyai peri-kemanusiaan itu.
Rute Sepi
Rute yang nampaknya ingin membantu angkutan mahasiswa Unhas
yaitu rute yang menyinggung kompleks Unhas, Jl. Masjid Raya, Jl.
Sunu sampai ke Tello. Rute ini sepi. Kurang jelas, apakah para
mahasiswa yang enggan ataukah bemonya yang masih malu-malu.
"Jaraknya cukup dekat tapi dengan Rp 50 juga. Bila berdua lebih
enak naik becak dengan Rp 100. Ongkos sama atau mungkin lebih
murah tapi tenang", kata seorang mahasiswa.
Kendaraan-kendaraan kecil itu berangkat dan pulang bermula dan
berakhir di stasiun bemo, di sebelah stasiun bis dekat Pasar
Sentral. Sebuah papan besar sengaja dipasang untuk menunjukkan
pengelompokan trayek baru yang lima itu. Tarifnya hampir
rata-rata Rp 50 per orang jauh dekat. Hanya satu yang bertarif
Rp 75, yaitu yang terus menerobos ke kabupaten Cowa,
Sungguminasa. Alhasil, trayek yang paling laris masih tetap
seperti dahulu, yaitu yang menjangkau daerah selatan dan utara.
Akan halnya yang ke Jongaya, Cenderawasih dan Tello, kurang
mendapat perhatian.
Untuk menjalani rute yang sepi ini, para supir pun berfikir
ekonomis. Banyak bensin habis tapi penumpang tak ada. Belum
lagi kalau petugas LLAJR suka main-main berdiri di pinggir
jalan.
Ada juga yang mengatakan bahwa pembagian trayek ini belum
waktunya. Orang masih suka memakai becak dengan pengeluaran
uang-yang dapat ditawar sedang bemo jauh dekat dengan tarif
yang sudah pasti. Tentu-akan menjadi lain nantinya bila sudah
ada pembebasan jalanan dari daeng roga hingga mereka terpaksa
mengayuh, hanya pada jalanan tertentu di pinggir kota. Harap
maklum, jumlah roga yang sekitar 20 ribu sudah melebihi jumlah
yang pantas buat Ujung Pandang. Mereka enak saja menjelajahi
jalanan besar meskipun sudah disediakan jalur tersendiri di
bagian pinggir jalanjalan tertentu. Rupanya masing-masing, bemo,
roga, penumpang dan pengatur lalulintas, masih saling tenggang
rasa. Itulah repotnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini