Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Hutan Botak & Suku Terasing

Sulawesi tengah sedang menggalakkan reboisasi dan penurunan suku terasing dari hutan. dinas kehutanan bekerja sama dengan kanwil sosial. disediakan tempat penampungan rettlement kehutanan.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINAS Kehutanan Sulawesi Tengah sedang sibuk mengurus dua hal: reboisasi dan penurunan suku terasing dari hutan. Dua kesibukan ini menyangkut usaha untuk menghijaukan kembali hutan gundul agar kembali lestari dan bisa menghindarkan ancaman erosi serta banjir. Sebab berdasarkan hasil survey baru-baru ini, di Sulteng terdapat tanah kosong dalam kawasan hutan 229.356 ha dan tanah kritis (di luar kawasan hutan) 147.044 ha merupakan sumber banjir dan erosi. Jika diperinci lagi dari 4 kab upaten kedua situasi rawan itu masing-masing terdapat di Donggala 153.960 ha, Poso 140.025 ha Banggai 81.275 ha dan Buol/Tolitoli 1150 ha. Daerah yang dianggap paling kritis justru lembah Palu (kabupaten Donggala) yang bukan saja mengancam pedesaannya tapi juga ibukota propinsi sendiri. Dengan alasan ini kabupaten Donggala mendapat prioritas menjadi lokasi proyek nasional inpres penghijauan dan reboisasi. Baik Dinas Kehutanan maupun Kanwil Sosial (yang mengurus penurunan suku terasing) sefaham penyebab rusaknya kelestarian hutan ini adalah suku terasing. Mereka tersebar di pegunungan terutama di atas ketinggian 500 meter. Dengan sistim pertanian berpindah-pindah mereka membuka dan membakar hutan terutama di hutan lindung. Kebiasaau1 ini membuat areal alang-alang dan belukar setiap tahun makin bertambah luas. Atau terbiar tetap gundul bak kepala botak manusia. Berdasarkan pengukuran dengan planimeter areal di Sulteng yang terletak pada ketinggian 500 meter dari muka laut meliputi luas 2.639 680 ha atau 38,80% dari luas daratan yang 6.803.300 ha. Di antaranya seluas 1.758.466 ha terhisab hutan lindung dan sisanya seluas 811.214 ha masih dapat dijadikan tanah pertanian atau perkebunan. Namun areal luas yang bisa membawa musibah ini belum bisa terkontrol. Kawasan-kawasan yang terhisab hutan lindung justru pula menjadi tempat pemukiman suku terasing. Bergincu Menurut perkiraan Kanwil Depsos yang sudah menangani penurunan suku terasing selama 7 tahun, di Sulteng masih terdapat 30.Q0,() suku terasing. Walaupun mereka itu tinggal di hutan tetapi tidaklah begitu liar lagi. Suku Tolare di lembah Palu adalah yang dominan (sampai 50% dari jumlah seluruh suku terasing di Sulteng) sudah biasa berkunjung ke desa sekitarnya atau malah masuk ke kota Palu. Sekedar datang menjual lombok dan tomat sambil membeli tembakau dan garam. Ada juga datang ke kota Palu untuk mengeksploitir demam anggrek yang sedang menghinggapi para nyonya-nyonya pembesar dengan membawa berbagai anggrek hutan. Yang masih setengah liar dan belum berhasil dihubungi hanya rumpun Tajio di timur Kabupaten Donggala dan rumpun Kayumarangka di Bungku Selatan Kabupaten Poso. Tapi jumlahnya pun tak seberapa. Oleh sebab itu penurunan suku terasing dari hutan, sebagaimana diterangkan drs Sri Rachmadi WS kepala Kanwil Depsos, bukan hanya terletak pada kepentingan membudayakan mereka sebagaimana banyak ditafsirkan. Tapi juga pada masalah menjaga kelestarian hutan. Dan jangan heran jika ada status suku terasing yang ditarik turun dari hutan itu ada yang sempat memakai arloji tangan atau kaum wanitanya bergincu. Sayangnya selama ini penurunan suku terasing yang telah menelan biaya dan tenaga cukup banyak itu di propinsi Sulawesi Tengah baru berhasil 15% atau persisnya 723 kepala keluarga (3565 jiwa). Hambatannya selain teknis dan biaya juga sikap hidup masyarakat terasing itu sendiri masih terlalu sukar dibujuk meninggalkan hutan. Tentu karena di hutan dirasa hidup mereka bebas ketimbang di tempat pemukiman yang penuh aturan-aturan walaupun disediakan rumah tinggal dan tanah garapan cuma-cuma. Untuk membantu memperbesar jumlah penurunan suku terasing ini maka Dinas Kehutanan pun ikut turun tangan. Sejak September 1976 lalu instansi ini sudah berhasil menarik 105 KK atau 588 jiwa suku terasing dari hutan kritis Gawalise di lembah Palu. Rencana seluruhnya akan diturunkan 300 KK dan akan ditampung dalam resetlement kehutanan seluas 600 ha di sekitar Tangoa desa Palolo 53 km dari Palu. "Mustahil penghijauan bisa berhasil apabila tak diatasi penyebabnya", ucap ir. V.L. Tobing Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulteng kepada TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus