Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Darah Muda Buangan Jepang

Nama Soedirman menggema di organisasi kepemudaan, kepanduan, dan keguruan di seantero Banyumas. Menikahi sesama aktivis.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah. Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir 1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima. Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan, mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam lalu memperkenalkan diri. "Saya Soedirman, dan ini Pak Isdiman."

Seorang murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah kaget. Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti teman-temannya, bocah sepuluh tahun itu hanya tertegun. "Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon," ujarnya. Pria berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan bercelana krem panjang sedikit di bawah lutut itu melanjutkan kalimatnya. "Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara."

Serentak murid-murid menjawab, "Nggih, Pak!" Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.

Berselang 69 tahun, Taufik—Juni lalu genap 79 tahun—masih ingat betapa gaduh kelasnya ketika dia bersama kawan-kawan memekikkan salam perpisahan sekaligus doa. "Selamat berjuang, Pak! Semoga berhasil!" katanya kepada Tempo, akhir September lalu. Beberapa tahun setelah kejadian itu, nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Soedirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI. Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto dalam pertem-puran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.

Dari cerita kawan seangkatannya, Taufik, yang kini menjadi Dewan Penasihat Organisasi Angkatan '45 Cilacap, mengetahui Soedirman dan Isdiman juga berpamitan ke beberapa sekolah lainnya sebelum bergabung dengan tentara sukarela bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). "Pak Dirman memang guru," katanya.

Lulus dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Parama Wiworotomo—setingkat SMP—pada 1934, Soedirman sempat melanjutkan pendidikan di Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) alias Sekolah Guru Bantu di Solo, Jawa Tengah. Tak tamat, dia kembali ke Cilacap setahun kemudian.

Soedirman lantas bertemu dengan R. Mohammad Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap. Berkat guru pribadinya itu, dia diangkat menjadi guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap.

Bangunan HIS Muhammadiyah, tempat Soedirman dulu mengajar, kini tak berbekas. Sejak 1993, bangunan tua di tepi Jalan Jenderal Soedirman, Cilacap, itu dirobohkan. Sebagai gantinya, tepat di lokasi tersebut berdiri Taman Kanan-Kanak Aisyiah 1.

Sekolah usia dini yang terdiri atas dua kelas dan satu ruang guru tersebut bersembunyi di balik Gedung Dakwah Soedirman, bangunan dua lantai markas Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap. "Ini untuk mengenang sekaligus tak mengubah fungsi lokasi tersebut sebagai tempat pendidikan," kata Arif Romadlon, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Cila-cap, September lalu.

Sardiman, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman (2008), menuturkan Soedirman berhasil menarik perhatian murid-muridnya saat mengajar.

Marsidik, salah satu murid HIS Muhammadiyah yang diwawancarai Sardiman pada 1997, menuturkan cara mengajar Soedirman tak monoton, terkadang sambil bercanda, dan acap diselingi pesan agama dan nasionalisme. "Soedirman juga sering mengambil kisah-kisah pewayangan," kata Sardiman kepada Tempo.

* * *

PERKENALAN Soedirman dengan Muhammadiyah bermula di bangku MULO Wiworotomo. Tak hanya aktif dalam kegiatan intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo, Soedirman, yang gemar berorganisasi untuk melatih kedisiplinan, juga bergabung dalam Pemuda Muham-madiyah dan Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah.

Pada usia 17 tahun, Soedirman menduduki posisi mentereng: Menteri Daerah Hizbul Wathan Banyumas—kini setingkat ketua kwartir daerah. Selain Cilacap, wilayah yang dikuasainya meliputi Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Berbagai aktivitas itu membuka jalan untuk berkenalan dengan Sastroatmo-djo, pengusaha sukses di Cilacap. Pengurus Muhammadiyah Cilacap ini mempunyai seorang putri bernama Siti Alfiah, yang kelak menjadi istri Soedirman.

Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, mengulang cerita ibunya. Soedirman muda kerap datang ke rumah Mbah Sastro membicarakan berbagai masalah organisasi. Lambat-laun dia menjadi akrab dengan Alfiah, yang aktif di Nafsiah, organisasi keputrian Muhammadiyah.

Setahun setelah menjadi guru, pada 1936, Soedirman menikahi Alfiah. Alih-alih surut, setelah menikah, semangat berorganisasi Soedirman semakin menggelora. Dari cerita ibunya, Teguh mengetahui bahwa kakak tertuanya bernama Achmad Tidarwono lahir prematur pada 1937, setelah Soedirman dan Alfiah mengikuti kong-res Muhammadiyah di Bukit Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

"Ibu kecapekan. Mas Tidar lahir dalam perjalanan pulang," ujarnya. Nama Tidarwono, yang berarti Hutan Tidar, disematkan untuk mengenang peristiwa tersebut.

Soedirman juga tak pernah absen dalam perkemahan Hizbul Wathan. Letnan Satu (Purnawirawan) Hayyun Suritman, 86 tahun, masih ingat kejadian saat perkemahan tiga malam di Batur, Banjarnegara, 1941. Ketika itu dia masih berusia 15 tahun, mewakili Hizbul Wathan Purwokerto.

Hari mulai gelap ketika hujan turun disertai sambaran petir. Saking derasnya hujan, Hayyun bercerita, air merembes hingga pelan-pelan membasahi bagian dalam tenda. Sebagian dari seratusan peserta dari Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara berteduh ke rumah-rumah penduduk. "Tapi Pak Dirman tetap berada di dalam tenda," kata Hayyun, yang juga Ketua Hizbul Wathan Cilacap, kepada Tempo.

Karier mengajar Soedirman tergolong moncer. Baru beberapa tahun Soedirman menjadi guru, para pengajar di HIS Muhammadiyah sepakat menunjuk dia sebagai kepala sekolah. Jabatan itu diembannya hingga sekolah tersebut terpaksa tutup pada 1941-1942.

Belanda mengambil alih HIS Muhammadiyah dan mengubahnya sebagai markas dadakan di Cilacap. "Ketika itu Jepang mulai datang, Belanda kewalahan dalam Perang Asia Timur Raya," kata Sardiman, yang juga mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.

Penutupan paksa HIS Muhammadiyah tak memadamkan dedikasi Soedirman. Bersama beberapa temannya, dia mendirikan dan mengetuai Perkoperasian Bangsa Indonesia (Perbi), untuk membantu perekonomian masyarakat yang mulai krisis di bawah pendudukan Jepang. Tak perlu waktu lama, beberapa koperasi lainnya lahir di Cilacap, sehingga menimbulkan persaingan tak sehat.

Lagi-lagi Soedirman turun tangan menyatukan koperasi-koperasi tadi dalam Persatuan Koperasi Indonesia Wijayakusuma. Tak cukup di situ, dia pun membentuk Badan Pengurus Makanan Rakyat, yang mengumpulkan bahan makanan dan mendistribusikannya kepada masyarakat yang membutuhkan.

Sejak saat itu, namanya melambung di Cilacap. Jepang kepincut dan mengangkatnya sebagai anggota Syu Sangikai alias Dewan Pertimbangan Karesidenan Cilacap. Badan makanan yang didirikannya diambil alih Jepang, yang kemudian menjadikannya alat untuk menarik upeti. Beberapa kali Soedirman sendiri yang ditugasi menagih hasil panen rakyat.

Tapi Soedirman selalu kembali menghadap tentara Jepang tanpa hasil. Rupanya, dia diam-diam membangkang. Soedirman menghasut warga agar tak menyerahkan bahan pangan jika keluarga sendiri lebih membutuhkan.

Jepang marah besar setelah mengetahui pembangkangan Soedirman. Agar dia tak mengganggu, Dai Nippon mengirimnya ke Bogor pada 1943 untuk mengikuti pendidikan calon daidancho atau komandan batalion Peta. "Bapak sebenarnya dibuang Jepang masuk Peta," kata Teguh, menirukan cerita ibunya. Tak dinyana, dari pembuangan itu, Soedirman mengawali kiprah gemilangnya dalam sejarah perjuangan Republik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus