Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebelum Mas Pamit Jadi Tentara

Soedirman melawan pasukan bentukan Jepang dari dalam. Pesimistis jadi tentara karena pernah patah kaki.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DITINGGALkan Soedirman dalam usia satu tahun, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi mendengar cerita tentang ayahnya itu dari sang ibu, Siti Alfiah, termasuk kisah tentang Soedirman ketika mengawali karier militernya.

Menurut Teguh, ayahnya sempat ragu masuk dunia militer. "Saya cacat, tak layak masuk tentara," kata Soedirman, seperti yang didengar Teguh dari ibunya.

Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah terkilir pada saat bermain sepak bola, yang membuat sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangat khawatir terhadap kondisi suaminya.

Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, Soekanto menuliskan dialog pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta). "Jadi Mas mau jadi tentara?" kata Siti Alfiah. Soedirman mengangguk, seolah-olah meminta pengertian dari sang istri.

Tak langsung mengiyakan, Alfiah men-cecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman yang kurang terang. "Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu…."

"Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya," katanya. "Saya harap Ibu berhati mantap." Soedirman lalu pergi mengambil wudu, dan berjalan ke kamar untuk salat tahajud.

Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. "Mungkin Dik Dirman akan diangkat menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat," kata Dimyati.

Dimyati berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik daripada Belanda.

Nyatanya Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.

Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.

Pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut bergabung. Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua daidancho dan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.

Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. "Karena itu, umurnya tak muda lagi," kata Nina Lubis, penulis buku PETA Cikal Bakal TNI. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion.

Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho. Teguh mengenang cerita ibunya bahwa tentara Jepang sebenarnya tidak suka dengan masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia sering menentang instruksi tentara Jepang. "Namun saat itu Jepang berkepentingan membentuk pasukan bersenjata untuk menghadapi serangan tentara Sekutu," katanya.

Sebelum membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang. Namun Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri atas orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang. Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang, tak satu pun di antara mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.

Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta.

Untuk menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau kota madya (shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan. Seleksi dilakukan pada awal Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian.

Angkatan kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, kata Nina dalam bukunya, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.

Tempat Soedirman berlatih itu kini menjadi monumen dan Museum Peta di Kompleks Pusat Pendidikan Zeni TNI Angkatan Darat. Menurut Kepala Museum Peta, Letnan Satu Suroso, kompleks peninggalan Belanda itu dibangun pada 1745, usianya kini sudah 276 tahun. Patung Soedirman berdiri tegak di depan museum yang terdiri atas dua ruangan, yang memiliki 14 diorama dengan adegan sejarah perjuangan Peta menuju kemerdekaan, itu.

Diorama menceritakan adegan pemberontakan Peta, pendidikan Peta, Rengas Dengklok, Proklamasi RI, pembentukan TNI, dan pemilihan Soedirman sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat, serta diorama peperangan Ambarawa yang dipimpin Soedirman. Suroso mengatakan museum itu tidak hanya menonjolkan Soedirman. "Karena dia di sini sama dengan prajurit lain, hanya mengikuti pendidikan," katanya.

Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi pedang samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho, Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.

Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. "Saya menjadi daidancho di sini (Cilacap)," katanya.

Ujian pertama Soedirman dilalui pada 21 April 1945, saat pasukan Peta di bawah komando Bundancho Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap. Peristiwa itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan Peta Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir.

Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho itu sebenarnya tahu gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu menunda gerakan. Kata dia, "Kita harus bergerak pada waktu yang tepat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus