Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampul muka edisi pertama majalah Panjebar Semangat itu tampak lusuh. Meskipun tersimpan rapat di bingkai kaca dan rapi menempel di dinding ruang redaksi, lembaran tersebut juga bukan asli dari tahun 1933. "Aslinya ada di museum di Jakarta," kata Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat Arkandi Sari dua pekan lalu.
Seperti kondisi salinan halaman muka tersebut, bangunan kantor Panjebar Semangat yang berada di Jalan Gedung Nasional Indonesia di Surabaya ini terlihat muram. Bangunan berlantai dua yang berada di samping makam Dr Soetomo itu hampir tak berubah sejak pertama digunakan pada 1970-an. Sebelumnya, kantor redaksi Panjebar Semangat menjadi satu dengan percetakan, tak jauh dari kantor redaksi sekarang. Meski bagian dalamnya telah mengalami beberapa kali perubahan, itu tak mengurangi kesan kusam dan tua kantor media yang sudah uzur ini.
Tahun ini, tepatnya 2 September lalu, majalah berbahasa Jawa itu genap berusia 80 tahun. Layaknya manusia yang sudah uzur, bukan seperti perusahaan yang makin tua makin besar, Panjebar Semangat kini tertatih untuk bertahan hidup.
Oplahnya kini tinggal 25 ribuan. Padahal, pada masa puncaknya, 1960-an, tiras majalah ini mencapai sekitar 85 ribu. Saat ini iklan pun sangat minim. Hanya ada dua iklan yang setia bertengger, yaitu iklan tentang pengobatan dan radio. "Itu pun menggunakan sistem barter," ujar Kurnan dari bagian sirkulasi.
Apalagi juga kurang terlihat terobosan untuk memperbarui majalah yang memang sudah tua ini. Menurut seorang anggota staf redaksi, M. Wijotohardjo, 69 tahun, dari dulu saat ia menjadi pembaca kecil hingga kini dia menjadi redaktur, isinya hampir tak ada perubahan.
Rubrik Alaming Lelembut (Dunia Gaib) tetap menjadi rubrik favorit. Berita aktual hanya sebagai tambahan. Sedangkan seni dan budaya, khususnya Jawa, menjadi prioritas. Hanya kosakata yang kadang disesuaikan. Tidak jarang anggota staf redaksi, yang berjumlah lima orang, harus berembuk lebih dulu untuk menentukan istilah Jawa yang akan dipakai.
Selain itu, regenerasi penulis tak berjalan baik. Menurut Wijotohardjo, tidak banyak penulis Jawa andal sekarang ini. Sebagian besar penulis yang ada sudah tua. "Bahkan sebagian sudah tidak sanggup lagi menulis," katanya.
Meski demikian, keluarga pengelola tetap ngotot meneruskan kehidupan majalah ini. "Amanah dari Kakek, mati-urip majalah ini harus dilanjutkan," kata Arkandi, generasi keempat pemimpin Panjebar Semangat, yang memang selalu menjadi perusahaan keluarga. Tentu bukan pekerjaan mudah untuk merealisasi tekad tersebut.
Panjebar Semangat bermula dari tabloid sederhana yang didirikan tokoh pergerakan nasional, Dr Soetomo. Pendiri Budi Utomo ini meminta Imam Soepardi, yang waktu itu pengelola surat kabar Soeara Oemoem, menjalankan majalah berbahasa Jawa ini.
Dalam editorial edisi pertama, Soetomo mengatakan alasan pemilihan nama Panjebar Semangat adalah "Semangat kang kita sebarake, yaiku semangat kang mbangunake kesadharan kang bisa nglairake gumregahe bangsa kita ngabdi marang kebeneran, tundhuk marang kesucian sarta sumarah marang keadilan" (Semangat yang kita gelorakan, yaitu semangat yang dapat membangunkan kesadaran dan bisa melahirkan tekad bangsa kita, untuk mengabdi kepada kebenaran, tunduk pada kesucian serta pada keadilan).
Dalam tajuk berjudul "Tujuan lan Kekarepan" (Tujuan dan Kemauan), Soetomo mengemukakan alasan memilih medium bahasa Jawa dalam menerbitkan Panjebar Semangat. Intinya, begitu banyak rakyat saat itu belum bisa berbahasa Indonesia. Hal itu terlihat jelas dalam pergaulan sehari-hari dan juga pada saat rapat. Apakah bangsa kita yang masih belum bisa berbahasa Indonesia itu tidak perlu dididik agar mau berkecimpung di lingkungan pergerakan kita? Demikian Soetomo.
Sejak pertama muncul, sambutan terhadap Panjebar Semangat cukup bagus. Setiap tahun tirasnya terus bertambah. Dari yang hanya 2.000 saat terbit menjadi dua kali lipat dalam waktu dua tahun. Pada 1937, saat Soetomo pergi ke luar negeri, ia menyatakan harapannya ke Imam agar mendapat kabar gembira sepulangnya. Harapan itu terwujud karena tiras media ini meningkat menjadi 8.000 dalam waktu yang tak terlalu lama. Menjelang Jepang masuk Indonesia, pada 1941-1942, tiras Panjebar Semangat telah mencapai 13 ribu. "Sebuah oplah yang paling besar untuk ukuran media cetak pada saat itu," kata Suprawoto, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Budaya, dalam bukunya: Panjebar Semangat di Tengah Tantangan Zaman.
Setelah Jepang datang, seperti halnya nasib media cetak lainnya, sesuai dengan peraturan Osamu Seira Nomor 16, Panjebar Semangat dilarang terbit. Dari hasil penelitian Suprawoto, pelarangan terbit ini sebenarnya disebabkan oleh hal sepele. Seorang tentara Jepang datang ke kantor redaksi sambil membawa poster propaganda untuk segera diterbitkan. Tapi, setelah dicetak, hasilnya kurang memuaskan karena ada bagian tertentu dari poster itu yang tertutup tinta. Jepang menganggap hal itu sebagai kesalahan serius. Majalah dibredel, mesin cetak dirampas. Imam Soepardi diasingkan ke Malang, sebelum dipindahkan ke Kediri. Panjebar Semangat vakum selama tujuh tahun.
Pada Maret 1949, Imam kembali ke Surabaya dan berupaya mengumpulkan sisa-sisa awak yang ada. Imam juga mengajak Soebagijo Ilham Notodidjojo (meninggal pada 4 September lalu dalam usia 89 tahun) untuk bersama-sama menghidupkan kembali Panjebar Semangat. Ternyata ia berhasil. Tirasnya terus meningkat hingga mencapai puncak pada 1960-an, ketika oplahnya tercatat 85 ribu eksemplar. Menurut Suprawoto, hanya majalah berbahasa Indonesia, Star Weekly, pimpinan P.K. Ojong (pendiri Kompas), yang tirasnya hampir menyamai Panjebar Semangat. Sebelum ditutup pada 1958, tiras Star Weekly menembus 52 ribu. Pada saat yang sama, oplah Panjebar Semangat 60 ribu eksemplar.
Dengan oplah yang besar, Panjebar Semangat menjadi media yang berpengaruh. Pada 1957, majalah tersebut mengirim Soebagijo ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, untuk meliput debat tentang status Irian Barat antara delegasi Indonesia dan Belanda di Majelis Umum PBB. Namun, tak lama setelah itu, Soebagijo mundur dari redaksi, kemudian bekerja ke kantor berita Antara.
Namun timbulnya krisis ekonomi pada akhir 1960-an serta meninggalnya Imam Soepardi memukul Panjebar Semangat. Tiras Panjebar terjun bebas hingga tinggal 16 ribu eksemplar. Adik Imam, Muhammad Ali, mengambil alih kemudi Panjebar. Sempat membaik menjadi 66 ribu pada 1982, tiras Panjebar kembali merosot memasuki 1990-an. Titik terendah terjadi saat krisis ekonomi pada 1998. Oplah tinggal 12 ribu. Tak hanya tiras merosot, jumlah halaman pun terpaksa dipangkas untuk menekan ongkos operasional. Harga tinta, kertas, dan pelat melambung. Misalnya saja, kertas koran yang biasanya Rp 1.250 per kilogram melonjak menjadi Rp 6.200.
Harga majalah, baik langganan maupun eceran, tidak bisa dinaikkan. Panjebar Semangat pun patah semangat mengurusi pengiriman langganan. Sebanyak 35 persen pelanggan Panjebar Semangat ada di Jawa Tengah, khususnya Semarang dan Solo. Sisanya di Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur, serta daerah tempat orang Jawa bermigrasi ke luar negeri, seperti Suriname, Belanda, dan Australia. "Ongkos pengiriman lebih mahal daripada harga langganan," kata Bambang Sudiyanto, redaktur Panjebar Semangat sejak 1978.
Pada 2 September 1998, bersamaan dengan ulang tahun Panjebar Semangat ke-65, jumlah halaman yang semula 52 tinggal 24. "Kado pahit sekaligus pukulan terberat dalam sejarah," kata Bambang. Meski tertatih-tatih, akhirnya jumlah halaman Panjebar kembali pulih. Pada 2000, jumlah halaman kembali menjadi 52. Namun menarik lagi pelanggan yang telanjur keluar bukan pekerjaan mudah. Oplah Panjebar pun tak pernah bisa kembali besar seperti semula.
Sudah 30 tahun lebih Yoyon Mudjiono membaca Panjebar Semangat. Ia mengenal majalah ini dari ayahnya, yang merupakan pembaca setia. "Setiap hari libur, ayah saya pasti membaca majalah ini di depan saya," ujar Yoyon.
Kini ia pun meniru apa yang dilakukan ayahnya. Ia membeli Panjebar Semangat dan mengenalkannya kepada anak-anaknya. "Saya biasakan anak-anak saya membaca majalah ini agar pintar berbahasa Jawa halus. Kalau bahasa yang lain gampang," katanya.
Tapi pembaca seperti Yoyon tidak banyak. Regenerasi pembaca Panjebar Semangat bisa dikatakan gagal. "Sangat jarang ada penerusnya bila orang tuanya berhenti berlangganan karena faktor usia atau sudah meninggal," kata Sri Makarti, pegawai di bagian tata usaha yang mengurusi langganan.
Selain menganggap bahasa Jawa itu kuno, generasi muda sekarang tidak lagi mendapatkan pengajaran bahasa Jawa di sekolah. Dulu bahasa daerah ini diajarkan hingga bangku SMP. Tapi kini hanya diajarkan di SD. Itu pun tak di semua sekolah.
Arkandi Sari pun mengungkapkan keinginannya ada campur tangan pemerintah. Sebab, Panjebar Semangat bisa dikatakan sebagai cagar budaya. Maka, kalau ada kebijakan agar sekolah atau instansi berlangganan, itu tidak hanya membantu kelangsungan hidup majalah ini, tapi juga menjaga kelestarian bahasa Jawa. "Kalau tidak ada perhatian, bahasa Jawa suatu saat bisa hilang," ujarnya.
Purwani Diyah Prabandari | Kukuh S. Wibowo | Agita Sukma Listyanti | Arief Rizky Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo