Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA Wahyu Dhyatmika, biasa disapa Komang, baru saja menginjak lantai dua rumah makan Satay House Senayan, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Wahyu Muryadi mendekat. Ketika itu malam menjelang hari pertama puasa 2009. “Kamu lulus program M2, selamat,” kata Wahyu, yang saat itu menjabat redaktur eksekutif. Komang mengira itu ucapan selamat biasa. Dia tersenyum. Tapi tiba-tiba, byurrrr, tubuhnya diguyur air putih, cendol, es teh, es jeruk, es kelapa, bahkan air kobokan.
Bersama Yandhrie Arvian dan Philipus Parera, Komang baru saja lulus program Magang 2 alias M2, dan berhak menyandang “pangkat” redaktur. Beberapa waktu sebelumnya, Toriq Hadad, yang saat itu menjabat pemimpin redaksi, telah mengumumkan berita baik ini di Wisma Tempo Sirnagalih, Cisarua, Bogor. Ritual selanjutnya adalah setelah kejar-mengejar, para redaktur baru itu diceburkan ke kolam kehijauan yang airnya berbulan-bulan tak pernah dikuras.
Sayangnya, Komang tak hadir di Puncak saat itu karena sakit. Itulah sebabnya kawan-kawannya memutuskan memindahkan prosesi inisiasi ke rumah makan Satay House.
Acara makan-makan ini sebenarnya syukuran atas keberhasilan Tim Investigasi memenangi dua penghargaan Mochtar Loebis Award. Entah siapa penggagasnya, kelompok kecil di sudut belakang lantai dua Satay House malam itu—antara lain ada Budi Setyarso, Bagja Hidayat, dan Harun Mahbub—sepakat untuk menyempurnakan inisiasi Komang sebagai redaktur di sana. Melalui proses cebur-menceburkan atau siram-menyiram, lengkaplah sudah inisiasi pendidikan dari satu jenjang ke jenjang berikutnya. Itu inisiasi gaya Tempo.
Tempo memang sebuah sekolah yang tak pernah selesai mendidik muridnya. Wartawan belajar jurnalistik di kelas formal ataupun di ruang redaksi setiap hari, pada setiap jenjang.
Tentu saja, pada tahun-tahun awal berdirinya Tempo, para reporter belajar menulis hanya dengan duduk di belakang redaktur yang mengedit tulisan mereka. Ini berlangsung hingga awal 1980-an.
Toriq Hadad, mantan pemimpin redaksi, sekarang kepala pemberitaan korporat, bercerita, dia sering duduk di belakang Syu’bah Asa dan Marah Sakti Siregar. “Dulu para seniman sudah bisa menulis semua. Angkatan pertama nonseniman adalah angkatan Bambang Harymurti. Dia tiga tahun di atas saya.” Toriq bergabung dengan majalah ini pada 1985.
Karena jumlah jurnalis nonseniman terus bertambah, adalah Yusril Djalinus—yang saat itu menjabat koordinator reportase—yang menggagas program belajar dan penjenjangan yang lebih teratur. Kelas formal itu terdiri atas calon reporter, M1 (magang 1), M2, dan M3.
Ketika itu M1 secara sederhana diartikan belajar membuat tulisan satu halaman, M2 menulis dua halaman atau lebih dan bisa mengkoordinasi pengumpulan bahan, sedangkan M3 bisa menulis panjang serta menyunting. “M3 dulu itu, yang cepat Mas Susanto Pudjomartono dan Mas Bambang Bujono,” kata Toriq.
Sistem penilaian yang diciptakan Yusril Djalinus zaman itu sudah rapi dan teratur. Setiap wartawan membuat usul tertulis kepada kepala biro; lalu usul diajukan ke rapat redaksi untuk disetujui atau ditolak, setelah itu kepala biro akan membagikan penugasan kepada reporter. Setiap reporter yang menyerahkan laporan tertulis harus menyertakan lembar kuning penilaian. Lembar penilaian itulah yang akan diisi oleh setiap redaktur yang menggunakan laporan tersebut. Dari pekerjaan itu pula, setiap wartawan akan terhitung produktivitas dan mutu laporan serta tulisannya.
Tahun-tahun awal, program pelatihan langsung ditangani oleh Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad. Redaktur lain, seperti Isma Sawitri dan Putu Wijaya, terkadang membantu. “Para M1 angkatan saya langsung diajar oleh GM (panggilan akrab Goenawan Mohamad), awalnya kami semua langsung ciut,” kata Leila S. Chudori, sekarang redaktur senior.
Leila bergabung pada 1989. Dia baru selesai menempuh pendidikan di Kanada. Goenawan Mohamad dan beberapa wartawan senior lain menawarkan posisi calon reporter kepada Leila. “GM bilang, ‘Ayo masuk, tapi di sini kamu harus mengikuti jenjang.’ Tentu saja saya bersedia,” Leila mengisahkan.
Selain kelas formal, Leila menceritakan di masa lalu para reporter dan penulis banyak belajar di ruang redaksi melalui diskusi informal. Baru dua minggu, Leila mulai diminta menulis resensi film. Menurut Leila, GM selalu mewanti-wanti dua hal dalam menulis: hindari kata-kata klise, dan selalu berusaha mencari lead yang bagus.
“Di luar kelas formal, saya sering menggali ilmu dari GM, Mbak Isma, dan Mas Putu tentang teknik meresensi film. Mas Putu kasih pelajaran, kalau menulis resensi, jangan menggunakan teori,” kata Leila. GM menambahkan, jangan menggunakan istilah-istilah yang rumit, resensi harus seperti bercerita kepada teman, tentang film, apa yang menarik dari film itu, dan mengapa dianggap menarik.
Baru saja dia lulus M1, pemerintah Soeharto membredel Tempo pada 1994. Leila tak sempat mengikuti program M2 dan M3. “Kami berpencar, belajar dan bekerja di mana-mana. Begitu terbit lagi, saya langsung jadi Redaktur Pelaksana Seni dan Internasional,” katanya.
Kini program pendidikan dan penjenjangan semakin rapi dan memiliki struktur yang ketat. Sistem penilaian yang dulu harus menggunakan lembaran kertas, kini sudah ditransformasikan melalui intranet, sehingga seorang editor bisa mengerjakan penyuntingan dari mana saja, di rumah, di kafe. Tapi, akibat kedahsyatan teknologi ini, tentu saja “proses” belajar menyunting dengan duduk di samping editor yang sedang mengedit tak berlaku lagi.
“Saya biasanya memperhatikan GM atau Susanto Pudjomartono menyunting tulisan saya dari balik pundaknya. Mereka mengedit sambil menyampaikan apa yang perlu dibuang dan ditambahkan,” kata Leila. Proses seperti ini sudah tergantikan oleh versi praktis Internet, BlackBerry Messenger, dan bahkan milis otokritik. Lebih cepat, praktis, ringkas, meski memang kurang sentuhan personal.
Namun, dengan berkembangnya teknologi dan maraknya persaingan media di zaman meningkatnya berita online dan TV, sistem pendidikan juga semakin diperketat. Wartawan Tempo yang masuk dari jenjang calon reporter, jika mulus, bisa mencapai kursi redaktur utama dalam delapan tahun. “Tapi belum ada yang begitu, rata-rata ya 10 tahun,” kata M. Taufiqurohman, kepala biro eksekutif dan pendidikan. Biro ini dibentuk tahun lalu untuk menata pelatihan internal dan jenjang karier.
Setelah terbit kembali pada 1998, majalah Tempo kini punya lima saudara sekandung: Tempo Interaktif, Koran Tempo, U Magazine, Travelounge, dan Tempo TV. Agar bisa melayani semua media tersebut, sejak 2008 sistem pelatihan dan penjenjangan dengan paradigma majalah—mendidik wartawan hanya untuk menjadi penulis feature--mulai ditinggalkan.
Calon reporter berada di bawah naungan Tempo News Room dan mendapatkan pelatihan jurnalistik dasar: 5W + H, wawancara door stop, dan menulis breaking news serta straight news. “Mula-mula mereka dididik menjadi wartawan Interaktif dan koran,” kata Taufiqurohman.
Lulus menjadi reporter, baru mereka mulai mengenal jurnalisme majalah. Silabusnya antara lain: in-depth reporting, one-on-one interview, dan penulisan feature.
“Yang paling krusial M1. Di jenjang ini potensi reporter dilihat, apakah cocok untuk ke majalah atau koran,” kata Taufiqurohman, yang kini juga menjabat Redaktur Eksekutif Koran Tempo. Lepas dari M1, si wartawan masuk jajaran staf redaksi. Yang bagus dalam penulisan feature masuk majalah, yang sergap dan pandai membuat berita langsung ke koran.
Yang paling esensial untuk menjadi wartawan Tempo yang andal adalah mampu menembus berita dan mencintai kegiatan menulis serta membaca. “Menulis bagus itu dimulai dari membaca bagus,” kata Redaktur Senior Amarzan Loebis.
Di masa kepemimpinan Goenawan Mohamad, menurut Amarzan, membaca fiksi dan media asing adalah kewajiban setiap wartawan Tempo. “Goenawan sering mendadak mendatangi meja seseorang dan bertanya, “Sedang baca apa?”
“Kalau kita tak membaca buku, atau katakanlah feature The New Yorker atau majalah asing, malulah kita,” kata Amarzan. Membaca buku atau media yang baik membantu menempa seseorang menjadi penulis (berita) yang baik.
Proses pendidikan yang lebih tertata lagi juga dilahirkan dengan adanya Evaluasi Selasa oleh Amarzan Loebis dan Leila Chudori. Ini adalah tradisi yang biasa dilakukan Tempo sejak dulu. Sementara di masa lalu Goenawan Mohamad biasa mengadakan evaluasi setiap Rabu, kini kelas evaluasi diisi oleh Amarzan Loebis dan Leila Chudori. Evaluasi itu membicarakan isi edisi pekan sebelumnya, dari soal titik-koma, pilihan kata, lead, hingga logika tulisan. Sekolah di sini memang tak akan pernah selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo