Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indra Herlambang,
Aktor dan Pembawa Acara Televisi
GEDUNG di Jalan Proklamasi 72 ini sudah berkali-kali saya lewati. Sejujurnya tidak pernah ada sedikit pun keinginan untuk bisa masuk ke dalamnya. Dalam bayangan saya, suasana dapur majalah berita mingguan Tempo pasti superkaku. Ini media serius. Dan sungguh berani. Tidak perlu menoleh ke belakang untuk mengingat betapa keberanian mereka pernah membuat “bredel” jadi kata yang begitu akrab. Cukup intip saja halaman Opini dan baca dengan jelas di mana posisi mereka berdiri. Karena itu, undangan untuk bertandang ke dalam gedung ini saya sambut dengan antusiasme yang setara dengan ketika diajak mampir ke ruang praktek dokter gigi.
Kepala saya sudah dipenuhi beragam asumsi saat melangkah masuk ke markas majalah ini di satu Rabu siang yang panasnya setengah mati. Pasti isi kantor ini tidak jauh dari ruang-ruang dan partisi yang diisi tumpukan kertas serta langkah kaki tergesa dari manusia-manusia yang berlarian mengejar deadline. Pasti perbincangan yang ada di dalamnya akan membuat otak bebal saya meledak karena dijejali informasi berlebihan. Pasti saya akan perlahan mati dibunuh bosan. Apalagi kunjungan pertama ini akan dimulai dengan sebuah kegiatan yang membuat saya agak bergidik mendengarnya: rapat redaksi.
Oh, my God. Bakal intimidating banget enggak sih meeting untuk menyiapkan materi majalah ini? Apalagi buat orang seperti saya yang punya ketertarikan minim perihal politik. Tapi tenang, demi menghadapinya, sudah saya siapkan satu senjata brilian: sebuah laptop. Jika memang suasana rapat berlangsung terlalu membosankan, saya akan beringsut ke sebuah sudut, membuka komputer mini, berpura-pura menyimak sambil mengetik sesuatu, lalu main game. Rencana yang sempurna.
Pertama kali melangkah masuk ke dalam ruangan, hidung saya langsung ditusuk aroma kopi yang tajam. Sepertinya dugaan saya benar. Rapat ini akan berjalan kaku sehingga para pesertanya harus disuplai kafein agar bisa tetap terjaga.
Hal berikutnya yang menarik perhatian saya adalah warna yang menghiasi seluruh sudut ruangan. Saya pikir tempat itu akan didominasi warna merah. Seperti beberapa elemen sentral dalam desain interior bangunannya (termasuk pegangan tangga). Seperti list merah yang dulu sempat membingkai sampul majalah ini. Seperti warna logo mereka yang gagah, tegas, dan berani. Ternyata ruang rapatnya bernuansa biru. Kursi, karpet, dinding, dan lukisan semua biru.
Kombinasi wangi kopi dan warna biru cukup membuat indra saya kebingungan. Kopi menyegarkan. Biru menenangkan. Jadi ini harus semangat atau ngantuk? Dan kebingungan itu semakin menjadi saat saya menyaksikan sendiri bagaimana rapat itu berlangsung. Pertemuan 12 orang dalam ruangan itu memang membahas hal yang sangat serius. Apa yang mereka cermati dari layar proyektor di ruangan rapat terlihat cukup rumit. Di sana ada daftar panjang setiap tulisan yang harus disiapkan untuk edisi mendatang. Dan satu demi satu poin itu dikupas teliti dari beberapa sisi. Mulai kesiapan artikel, perkembangan terbaru sebuah berita, hingga perubahan angle yang mungkin terjadi, atau semua hal lain yang harus dikerjakan.
Isu yang dibahas adalah kelanjutan babak baru dalam drama terbaru di panggung politik Indonesia (Megawati dan KPK. Taufiq Kiemas dan ketidakhadirannya di MPR. Benarkah ada cek untuk partai?), perkembangan teranyar dari dunia internasional (Kondisi terakhir Libya. Bencana alam di Selandia Baru. Mana yang harus didahulukan?), dan berita terbaru yang sedang hangat merebak di tengah masyarakat. Meskipun demikian, rapat ini jauh sekali dari suasana kaku, bahkan terkesan sangat rileks.
Contoh sederhananya saja, ketika mereka membahas kasus susu formula. Saat seorang peserta rapat memaparkan bahwa sudah ada informasi lebih dalam dari departemen terkait, seorang pria lain menimpali dengan sebuah pertanyaan yang brilian sekali: “Departemen apa? Departemen kesusuan?”
Dalam situasi lain, mungkin kalimat itu tidak terlalu lucu. Tapi, karena hadir di tengah rapat redaksi yang saya harapkan akan berjalan membosankan, ini adalah siraman air segar yang mampu menggelitik semua saraf tawa saya. Hingga sepanjang rapat redaksi pun saya tak bisa berhenti tergelak.
Setengah jalan rapat berlangsung, masuklah seorang pria bergaya seru. Suasana rapat yang sudah cair pun semakin mbleber. Serius, saya agak kaget ketika diberi tahu bahwa beliau adalah pemimpin redaksi majalah ini, Wahyu Muryadi. Dia santai sekali. Tidak terlihat seram atau seangker yang saya bayangkan. Sambil membahas setiap detail yang harus dikerjakan, dia tidak henti melontarkan lelucon. Tanpa kehilangan waktu, salah satu peserta rapat akan dengan sigap menanggapinya dengan lelucon lain.
Saya berharap datang untuk melihat rapat. Ternyata malah disuguhi pertunjukan lawak. Semua asumsi negatif di kepala saya pun lenyap.
Rapat redaksi yang serius tapi santai itu selesai tepat saat makan siang: sayur asem, lalapan dan sambal, ikan bumbu kuning, tahu, tempe, ikan asin, dan kerupuk. Semua peserta rapat yang sedari tadi duduk pun mulai berdiri satu per satu menuju meja di belakang ruangan untuk mengambil santap siang.
Di saat inilah untuk pertama kalinya saya melihat dengan jelas sebuah pemandangan yang mengejutkan: Ahmad Taufik, salah seorang anggota redaksi, ternyata selama rapat mengenakan bawahan sarung. Ya. Bukan celana pendek. Bukan celana panjang. Tapi sarung.
What? Rapat redaksi kok pakai sarung? Ini aneh banget. Sebab, buat saya biasanya sarung cuma pas dikenakan saat nongkrong di pos kamling, hang out di musala, atau sehabis sunatan. Gong dari segala gong adalah ketika akhirnya saya tahu bahwa lelaki bersarung itu adalah redaktur rubrik Gaya Hidup. (Buset, pas benar. Hidupnya memang gaya.)
Suasana makan siang berlangsung menyenangkan. Di tengah denting sendok beradu piring dan suara kunyahan kerupuk garing meluncur serangkaian obrolan seru yang cukup penting. Tentu saja masih berhubungan dengan current issues dan cerita di balik layar politik kita yang sungguh juicy untuk diikuti. Siapa ngerjain siapa, siapa bohongin siapa, siapa manfaatin siapa, sampai pejabat mana yang pakai tas merek apa. (Lah? Kayaknya yang terakhir lebih pas buat obrolan ibu-ibu sosialita.)
Setelah mengikuti rapat redaksi, saya berkeliling kantor itu. Setiap redaktur punya area masing-masing. Suasananya seru. Hectic tapi santai. Deretan cubicle lengkap terisi berbagai macam barang yang sejujurnya sama sekali tidak rapi. Bahkan agak berantakan. Tapi bisa dimengerti sih. Para wartawan pasti selalu dikejar-kejar deadline. Mungkin sampai titik di mana mereka tak punya banyak waktu luang dalam kehidupan pribadi mereka.
Biarpun begitu, saya yakin teman-teman ini pasti sehat walau olahraga pun sudah tak sempat. Bagaimana tidak? Gedung tiga lantai plus satu area rooftop itu tidak menyediakan lift. Yang ada hanya tangga terjal untuk naik-turun. Bayangkan saja berapa kalori yang bisa mereka bakar setiap hari hanya untuk tiba di meja kerja masing-masing. (Seharusnya saya melakukan tes ukuran betis untuk melihat keabsahan teori ini, tapi untuk memintanya saja tidak cukup berani.)
Setelah puas berkeliling ke semua ruangan, saya dibawa ke lantai paling atas. Sebuah kejutan lain. Di tengah atap beton yang gersang itu tersimpan satu sudut taman sedikit sejuk, mengelilingi sebuah balai-balai kecil yang bisa digunakan untuk duduk-duduk. Dan sepetak kolam kecil berisi beberapa ikan merah hadir melengkapi suasana tenang itu. Kurang absurd bagaimana pemandangan ini?
Kantor Tempo berhasil mengejutkan saya berkali-kali dalam satu hari. Saya yakin di tahun-tahun yang akan datang, mereka pun akan selalu bisa memberikan kejutan berarti dan berani di setiap lembar halaman untuk pembacanya. Jika tidak, saya akan datang lagi ke sini dan ikut nongkrong lagi di meeting redaksi. Paling tidak saya bisa selalu terhibur dengan cara mereka menjalankan rapat-rapatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo