Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALIHARA, Selasa malam, 21 Oktober 2008. Selasar dan ruang-ruang di pusat kebudayaan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu sesak dan riuh. Di meja panjang terhampar hidangan bufet, sate ayam, bakso, siomay, plus martabak, samoza, dan kue lumpur. Juga wine yang terus dituang tiada putus.
Petang itu ada sesuatu yang sungguh penting: Reuni Tempo 1971-1994. Inilah pertemuan besar pertama seluruh awak Tempo dari berbagai kelompok yang bersitegang setelah pembredelan. Hadir sekitar dua ratus tamu.
Ada deretan pemimpin redaksi media massa: Karni Ilyas (TVOne), Budiono Darsono (Detikcom), Saur Hutabarat (Media Indonesia), Yopie Hidayat (tabloid Kontan), Gatot Triyanto (Trans TV), juga Bambang Halintar (Pemimpin Perusahaan SWA). Tak ketinggalan trio petinggi Gatra: Herry Komar, Hendrik Hidayat, dan Nico Tampi. Juga alumni yang tersebar ke berbagai profesi: seniman Putu Wijaya, diplomat Susanto Pudjomartono, penulis Martin Aleida, dosen A. Dahana, dan banyak lagi. Mereka bergabung dengan awak Proklamasi 72 dan Kebayoran Centre—melelehkan kebekuan 14 tahun setelah bredel.
Goenawan Mohamad dalam pidatonya menyatakan dengan takzim: “Tak usah lagi mempersoalkan Gatra, Editor, atau apa pun. Kita semua adalah satu Tempo. Permusuhan dan perseteruan tak boleh selamanya.” Gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai mengiringi sambutan GM.
Menurut Redaktur Senior Amarzan Loebis, inilah pernyataan “resmi” pertama GM tentang rekonsiliasi awak Tempo. Seperti ungkapan dalam bahasa Jawa, inilah: ngumpulke balung pisah. Mengumpulkan tulang yang terpisah atau menyatukan mereka yang telah terserak.
Diaspora Tempo sejatinya dimulai pada Sabtu, 11 Juli 1987. Kala itu, 32 karyawan mundur dan mendirikan majalah baru: Editor. “Pimpinan” eksodus ini, antara lain, Syu’bah Asa dan Saur Hutabarat. “Mereka mau keluar, silakan saja, tapi kenapa harus di hari deadline?” kata Fikri Jufri.
Enam tahun beroperasi, Editor tak secerah harapan semula. Maka banyak karyawan, yang notabene eks Tempo, berlompatan ke media lain. Ini menjadi awal menjalarnya orang Tempo ke berbagai media. Ada pula majalah baru milik Soetrisno Bachir, Prospek, yang juga menggamit orang-orang Tempo. Salah satunya Praginanto.
Setelah peristiwa bredel pada 21 Juni 1994, awak Tempo bukan hanya tercerai secara fisik, tapi juga “ideologi”. Ketika ada yang berusaha memikirkan sekoci-sekoci untuk mantan karyawan setelah pembredelan, ada pula yang memilih naik ke kapal baru milik Muhammad “Bob” Hasan: Gatra. Inilah satu titik perpecahan yang menyebabkan “perang dingin” di antara keluarga besar Tempo. Berikutnya terjadi lagi perpecahan di dalam Gatra sehingga lahirlah media baru: Gamma. Persebaran orang Tempo pun kian luas.
Selain “bedol desa” macam Editor dan Gatra, warga Tempo ada yang memilih menekuni dunia seni. Jika melongok sejarah, sebagian dari pendiri media ini memang berasal dari kalangan seniman. Salah satu wartawan yang hijrah ke jalur seni adalah Putu Wijaya.
Saat masih di Tempo, Putu ditugasi menjadi Pemimpin Redaksi Zaman—majalah dalam Kelompok Grafiti Pers. Zaman berhenti terbit, Putu, yang memimpin Teater Mandiri sejak 1971, memutuskan menekuni bidang teater dan sastra. Hingga kini ia sudah menulis sekitar 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerita pendek, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Juga skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri.
Ada pula Jim Supangkat, mantan penanggung jawab rubrik Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang pada awal 1990-an memilih jalur kurator seni. Sebelumnya ada Bur Rasuanto, penulis novel dan cerpen yang meraih aneka penghargaan sastra. Belakangan, pada 1990, mantan Redaktur Pelaksana Tempo ini ditunjuk menjadi Direktur Pusat Kebudayaan Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Tak sedikit yang keluar karena kembali ke “khitah” akademis. Misalnya A. Dahana, yang 17 tahun menjadi wartawan Tempo. Saat menjadi mahasiswa pascasarjana di Cornell University dan menggondol gelar doktor di Universitas Hawaii, dia tetap setia bersama Tempo. Bahkan, saat menjadi Ketua Jurusan Sastra Cina di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia tetap memegang jabatan penanggung jawab rubrik Luar Negeri. Pada 1992, dia memilih menanggalkan kartu pers Tempo untuk memanggul jabatan lain yang cukup membanggakan: Direktur Eksekutif Fulbright, sebuah badan pemberi beasiswa di bawah Lembaga Kerja Sama Indonesia-Amerika (Aminef).
Yang juga keluar untuk mengajar antara lain George Junus Aditjondro, yang menempuh studi S-2 dan S-3 di bidang sosiologi di University of Newcastle, Australia. Ia lalu mengajar di universitas itu. Di Indonesia, dia juga menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah.
Dalam daftar ini ada juga Salim Said, yang meninggalkan Tempo untuk menempuh pendidikan master dan doktor di bidang politik di Ohio State University, Amerika Serikat. Ia kemudian menjadi pengamat militer sekaligus film. Ini sejalan dengan posisi terakhirnya di Tempo: penanggung jawab rubrik Luar Negeri dan Film. Pada 2007, dia dilantik sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Cek.
Selain Salim, ada diplomat “lulusan” Tempo: Susanto Pudjomartono. Dia sebelumnya menduduki kursi Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, hingga akhirnya menjadi Duta Besar RI untuk Rusia pada 2003-2008.
Namun tetap saja kebanyakan mantan wartawan Tempo setia di bidang pers—media cetak atau televisi. Seperti Karni Ilyas yang kini menjadi Pemimpin Redaksi TV One. Posisi terakhirnya di Tempo adalahRedaktur Pelaksana Hukum. Karena kepiawaiannya di bidang hukum, Karni lalu ditugasi memimpin majalah Forum pada 1991-1999. Tahun berikutnya, ia menjadi komisaris di majalah itu. Dia kemudian menjadi komandan Liputan 6 SCTV, ANTV, dan sejak 2007 dipercaya menangani TV One. Selain Karni, ada Gatot Triyanto, yang menjabat Pemimpin Redaksi atau Kepala Divisi News di Trans TV.
Alumni yang kini menjadi pejabat negara adalah Dahlan Iskan, Direktur Perusahaan Listrik Negara sejak Desember 2009. Semula Dahlan adalah koresponden Tempo di Samarinda, Kalimantan Timur. Pada 1982, dia lalu ditugasi ke Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Di tangan Dahlan, Jawa Pos dalam waktu lima tahun menjadi surat kabar bertiras 300 ribu eksemplar. Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network , salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia yang memiliki 134 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan. Juga stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru. Meski telah lama menanggalkan status wartawan Tempo, Dahlan menyatakan selalu merasa sebagai orang Tempo—bahkan ketika sudah menjadi Direktur PLN.
Tempo juga memiliki alumni yang menjadi juru bicara penting di negeri ini. Pertama, Yopie Hidayat. Mantan Pemimpin Redaksi Kontan ini dipercaya menjadi juru bicara Wakil Presiden Boediono. Lalu, di generasi yang lebih muda, ada Johan Budi S.P., yang menjadi juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi.
Banyak juga wartawan Tempo generasi sesudah 1998 yang telah menyeberang atau mendirikan media lain. Meski berbeda haluan, alumni tetap merasa bagian dari keluarga besar Tempo. Walaupun tak lagi di bawah satu atap, mereka—seperti kata Dahlan Iskan—tetap nempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo