Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Bantuan Dana sampai Pengiriman Intelektual

Operasi CIA meliputi kampanye hitam yang menyudutkan PKI sampai menerjunkan para intelektual Amerika untuk melakukan brain washing terhadap petinggi militer.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kawasan Phoenix Road di Singapura pada Senin siang pertengahan September lalu tampak ramai. Banyak orang asing berkulit putih lalu-lalang di sebuah pusat belanja di sana. Daerah itu adalah pusat perkantoran, permukiman, dan sekolah Avondale Grammar School. "Umumnya perumahan di sini dihuni warga asing," kata Benny Tai, pengemudi taksi yang membawa Tempo ke sana.

Sebelumnya, daerah yang terletak hanya sepelemparan batu dari Orchard Road itu adalah kompleks perkantoran Kementerian Dalam Negeri Singapura dan kepolisian, yang pindah ke New Phoenix Park di Irrawaddy Road sejak 2001. Situs web Dewan Warisan Sejarah Nasional Singapura (NHB) menyatakan Phoenix Park beralamat di 300 Tanglin Road. Tapi, dari penelusuran Tempo, di sana hanya terdapat blok 302-318. "Tidak ada blok 300," kata seorang petugas keamanan di sana.

Setengah abad lalu, kawasan Phoenix menjadi markas militer dan kantor Departemen Penelitian Informasi (IRD), yang berada di bawah Kementerian Luar Negeri Inggris. IRD bukan kantor biasa. Kantor ini tempo dulu adalah pusat mata-mata Inggris, MI6, untuk menyebarkan propaganda antikomunis dan kegiatan spionase lain di masa Perang Dingin. Di sanalah juga agen-agen CIA yang mengawasi perkembangan politik Indonesia sekitar 1965 sering berkeliaran.

Menurut Bradley Simpson, peneliti Indonesia di University of Connecticut, pada masa itu badan intelijen Amerika Serikat (CIA) bekerja sama erat dengan MI6 dan berbagi informasi intelijen. Namun, kata Simpson, tujuan MI6 dan CIA berbeda. CIA ingin mendorong Tentara Nasional Indonesia menyingkirkan Partai Komunis Indonesia, sedangkan MI6 ingin membuat TNI mustahil melanjutkan Konfrontasi Malaysia.

"Pemerintah Inggris kemudian dibujuk oleh pemerintah Amerika untuk menunda tujuan luasnya demi tujuan jangka pendek buat menghancurkan PKI," kata penulis Economists with Guns: Authoritarian Development and US-Indonesian Relations, 1960-1968 (2008) ini kepada Tempo, September lalu.

Campur tangan Amerika, Inggris, dan negara lain untuk menyingkirkan Presiden Sukarno dan PKI salah satunya digambarkan dengan terang dalam "Memorandum yang Disiapkan untuk Komisi 303", dokumen rahasia CIA bertanggal 23 Februari 1965 yang dirilis pada 2001.

Komisi 303 adalah komisi khusus Dewan Keamanan Nasional Amerika (NSA) di masa Presiden Lyndon B. Johnson yang mengendalikan semua operasi rahasia Amerika. Memorandum itu menyatakan Komisi setuju bahwa CIA melakukan aksi politik untuk menghancurkan komunis di Indonesia lewat "kerja sama diam-diam untuk mendukung kelompok-kelompok antikomunis, operasi surat gelap, operasi media, termasuk radio gelap, aksi politik di dalam organisasi dan lembaga Indonesia".

Ketika kudeta Letnan Kolonel Untung pecah pada 30 September 1965 dan dibalas dengan kudeta tandingan oleh pasukan Mayor Jenderal Soeharto, CIA dan MI6 pun bergerak. Kantor IRD lalu mengeluarkan berita-berita propaganda mengenai kekejaman PKI dan intervensi komunis Cina. Mereka menyiarkan aneka berita menyesatkan kepada stasiun radio dan surat kabar di Indonesia.

"CIA dan MI6 menyebarkan berbagai kabar palsu ke wartawan Barat yang berbasis di Singapura, yang kemudian menggabungkan informasi itu ke berita mereka, yang biasanya dengan mengutip 'pejabat Barat'," kata Simpson kepada Tempo.

Sebagian berita yang diproduksi IRD itu kembali ke Indonesia. Dalam telegramnya kepada Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, diplomat Inggris, Norman Reddaway, mengklaim bahwa "berita" itu hampir langsung kembali ke Indonesia melalui BBC, radio pemerintah Inggris.

Menurut rohaniwan dan sejarawan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Baskara Tulus Wardaya, SJ, orang Indonesia saat itu lebih percaya kepada pemberitaan luar negeri ketimbang media dalam negeri. "Kadang beritanya tidak benar. Tapi, karena sumbernya BBC, maka dipercaya," katanya.

* * * *

Peran CIA seputar 1965 tak hanya melakukan "joint venture" propaganda hitam dengan intelijen Inggris dari Singapura. CIA di Jakarta memiliki banyak ahli yang diduga membantu militer. Yang paling kontroversial adalah Robert J. Martens, mantan pejabat politik Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Dia disebut-sebut menyerahkan daftar ratusan nama anggota PKI yang disusun dan kemudian diserahkan ke Adam Malik (lihat tulisan "Sukendro, Adam Malik, dan Tas Hitam").

Pada 2001, Tempo menemui Robert Martens di rumahnya di Maryland, tak jauh dari Washington. Ia telah sepuh. Umurnya 75 tahun. Saat itu Martens menolak tudingan bahwa ia sengaja memberikan daftar tersebut kepada tentara. Tapi hal ini diragukan oleh Simpson. "Mustahil Martens tidak tahu bahwa kemungkinan besar orang dalam daftar yang dia berikan kepada mereka akan dibunuh," kata Simpson.

Menurut Simpson, intelijen Amerika saat itu melihat kemampuan pengumpulan informasi intelijen TNI buruk. TNI tak punya informasi dasar tentang kepemimpinan PKI di daerah. "Kedutaan Amerika memberi TNI daftar nama yang lebih panjang yang mereka yakini TNI ingin cari," ujarnya. "Mereka tahu TNI telah membunuh banyak orang yang ditangkap."

Bagi William Bradley Horton, guru besar madya tamu di Waseda University, Jepang, orang CIA yang amat membantu militer bukan Martens, melainkan Guy Jean Pauker, ahli Indonesia terkenal di lembaga pemikiran RAND Corporation, Amerika. Pauker telah menulis kajian mendalam tentang PKI, para tokoh, struktur partai, dan strategi politik sebelum dilakukan Martens. Kajiannya jelas lebih lengkap daripada sekadar daftar nama Martens (lihat boks "Guy Pauker dan Para Cendekiawan Itu").

* * * *

Sejumlah dokumen CIA juga menyebut adanya bantuan obat-obatan, peralatan medis, walkie-talkie, dan radio. Bantuan kemanusiaan semacam obat-obatan kepada TNI ini mencurigakan karena diputuskan oleh Komisi 303, bukan parlemen. Komisi 303 seperti dikatakan di atas adalah komisi khusus Dewan Keamanan Nasional Amerika (NSA) di masa Presiden Johnson yang mengendalikan semua operasi rahasia Amerika.

Sesungguhnya, menjelang kudeta 1965 pecah, masyarakat Amerika mengira Kongres telah menghentikan bantuan ke Indonesia karena pada Maret 1964 Presiden Sukarno menyatakan: "Go to hell with your aid!". Tapi Peter Dale Scott dalam bukunya, The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967, menyodorkan data bahwa gara-gara keputusan Komisi 303 itu bantuan ekonomi ke Jakarta memang dipangkas, tapi bantuan militernya ke TNI Angkatan Darat justru melonjak.

Adakah dana dari Amerika yang bertambah sebagaimana dinyatakan Scott itu pada 1965 digunakan untuk operasi-operasi penumpasan PKI? Tak ada yang menjawab terang-benderang. Yang jelas, tindakan pembasmian itu rantai komandonya dari Jakarta ke daerah.

Di Grobogan, Jawa Tengah, misalnya. Di daerah yang menjadi salah satu basis kuat PKI itu, Komandan Kodim 0717 Purwodadi Letnan Kolonel Tedjo Suwarno langsung memberi komando kepada elemen masyarakat. "Lebih baik kalian (masyarakat) membersihkan (komunis) sendiri daripada saya yang membersihkannya," kata Tedjo, sebagaimana dikutip Poncke Princen, aktivis hak asasi manusia, dalam biografinya, Kemerdekaan Memilih.

Tindakan Tedjo ini sebenarnya merupakan perintah atasannya. Menurut seorang sumber Tempo, ada radiogram langsung dari Panglima Kodam VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono, yang meminta Kodim 0717 melakukan operasi pembersihan PKI. Bukti adanya perintah dari pusat juga tertuang dalam memori intelijen serah-terima jabatan Kepala Staf Kodam Diponegoro tertanggal 23 Juli 1968. Memori intelijen ini secara gamblang menyebutkan jumlah anggota PKI yang telah ditangkap dalam Operasi Kikis II: 172 orang klasifikasi A, 248 orang klasifikasi B, dan 472 orang klasifikasi C. "Biasanya yang klasifikasi A itu yang kategorinya berat dan pasti dihabisi," kata sumber Tempo.

Bukan hanya di Jawa, operasi komando dari pusat itu terjadi di daerah mana pun, misalnya Aceh. Jess Melvin, peneliti dari Universitas Melbourne, pada 2008 datang ke Aceh melakukan penelitian mengenai pembantaian massal PKI 1965 di Aceh.

Kantor-kantor di Aceh saat itu setelah tsunami sebagian masih belum terurus. Di bekas kantor arsip Badan Intelijen Negara di Banda Aceh, Melvin menemukan kardus 3.000 halaman dokumen rahasia militer yang berisi instruksi pembantaian dari Jakarta.

Instruksi itu langsung di bawah kepemimpinan Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto, lalu turun ke Wakil Menteri Panglima Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera, Mayor Jenderal J. Mokoginta, dan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, Ishak Djuarsa. Rantai komando itu melalui kodam dan Komando Ganyang Malaysia, yang sebelumnya dikenal sebagai Komando Operasi Tertinggi, di seluruh Sumatera

Dari dokumen itu dapat dibaca, pada tengah malam 1 Oktober 1965, Mokoginta mengeluarkan perintah agar semua anggota angkatan bersenjata secara sungguh-sungguh memusnahkan PKI dan semua pengkhianat sampai ke akar-akarnya.

Dokumen yang ditemukan Jess Melvin itu cocok dengan apa yang tertera dalam dokumen CIA yang sudah dibuka atau dideklasifikasi. Dalam dokumen bertanggal 2 Oktober, CIA memberikan informasi kepada Presiden Johnson bahwa konsulat Amerika di Medan menerima kabar bahwa di Sumatera pembersihan komunis akan segera dilakukan militer.

Kedutaan Besar Amerika Serikat menyatakan dokumen-dokumen CIA yang sudah dideklasifikasi itu terdiri atas hampir 2.500 Daftar Intelijen Presiden selama 1961-1964 dan 2.500 Risalah Harian Presiden (PDB) sejak Desember 1964 hingga Januari 1969. "Rilis sistematis PDB pada skala ini tak pernah terjadi sebelumnya dan menggarisbawahi komitmen demokrasi kami demi keterbukaan dan transparansi," kata juru bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus