Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tangan Langley Dalam Pembasmian 1965

Misteri peran badan intelijen Amerika Serikat, CIA, dalam tragedi pasca-G-30-S di Indonesia pelan-pelan terkuak. Diduga berhubungan erat dengan Angkatan Darat.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA tahu dari mana nomor telepon saya?" Suara Bernardo Hugh Tovar di Washington terdengar bergetar. Pada 2001, Tempo dari Jakarta menelepon kakek 80 tahun itu, yang pada 1965-an memimpin kantor CIA di Jakarta.

Tovar sangat terkejut mendengar pertanyaan yang sangat sensitif: apakah benar Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta dan CIA terlibat penumpasan PKI. Ketika itu, wartawan Amerika, Kathy Kadane, baru saja menulis informasi kontroversial bahwa Kedutaan Amerika di Jakarta pada 1965 memberi Angkatan Darat daftar nama penting anggota PKI yang harus diburu. Kadane menyatakan seluruh datanya diperoleh dari Robert J. Martens, anggota staf bagian politik Kedutaan Amerika di Jakarta pada tahun itu.

Dengan suara bergetar, ketika itu Tovar membantah: "Amerika tidak membantu AD dengan cara apa pun. Komunis mencoba mengkudeta. Kemudian AD bertindak balik." Ia melanjutkan, "Tidak ada alasan menuduh Amerika. CIA tidak melakukannya." Ia lalu meminta Tempo membaca buku Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Marshall Green atau Paul F. Gardner.

Wartawan Tempo di Washington saat itu juga menjumpai Robert J. Martens. Umurnya 75 tahun. Rumahnya berada di kawasan asri Bethesda, Maryland, kira-kira setengah jam berkendaraan dari pusat Kota Washington. Martens memang spesialis komunisme. Tadinya ia bertugas di Moskow, lalu pada September 1963 pindah ke Indonesia. Bahasa Rusianya fasih.

Menurut Martens, tugasnya di Jakarta adalah mengikuti perkembangan aktivis-aktivis PKI, Pemuda Rakyat, Gerwani, Baperki, serta partai afiliasinya, seperti Partindo, Murba, dan PNI. Karena itu, semenjak awal, dia aktif mencatat nama-nama tokoh PKI yang menonjol. "Misalnya, saya baca di koran ada seorang pemimpin partai di Semarang berpidato, maka saya tulis di kartu. Dalam dua tahun, kartu saya bertambah terus," ujarnya mengenang. Ia menolak tuduhan bahwa kartu-kartu itu dipersiapkannya khusus untuk membantu Angkatan Darat. "Tidak, tidak seorang pun memerintahkan saya…," katanya saat itu dengan suara meninggi.

Menurut Martens, seluruh data nama tokoh PKI itu ia kumpulkan dari koran Harian Rakjat. Ia bercerita, seorang utusan Adam Malik mengunjunginya seminggu setelah peristiwa 30 September. "Kami tahu bahwa Anda lebih paham tentang PKI dibandingkan dengan siapa pun di Indonesia," Martens menirukan ucapan utusan itu. Ia kemudian menyerahkan daftar nama tersebut kepada sang utusan. Ia mengaku tak tahu-menahu apabila daftar nama yang ia buat jatuh ke tangan Angkatan Darat.

Bila Oktober ini Tempo mengangkat kembali laporan CIA, itu karena sejak Juli lalu badan intelijen Amerika yang bermarkas di Langley, Virginia, Amerika Serikat, tersebut kembali mendeklasifikasi surat-suratnya yang selama ini tertutup bagi publik. Kali ini yang dibuka adalah periode September-Oktober-Desember 1965, bulan-bulan terjadinya tragedi nasional itu.

Surat-surat yang dideklasifikasi itu sebenarnya merupakan laporan harian CIA kepada Presiden Amerika Serikat (The President's Daily Brief). Laporan-laporan itu dulu berklasifikasi top secret. CIA memberi informasi mutakhir situasi-situasi negara yang dilanda konflik, seperti negara-negara di Amerika Latin, negara-negara di Timur Tengah, Vietnam, India, Pakistan, dan Indonesia. Informasi ini dipasok ke Presiden Lyndon B. Johnson untuk bahan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan Amerika di negara-negara tersebut.

Bahan untuk presiden itu ditulis singkat-singkat, tak lebih dari sepuluh alinea, dan disampaikan setiap hari. Sayang, tidak seluruh teks itu dibuka untuk publik. Banyak alinea yang diberi kotak putih, mungkin berisi deskripsi yang masih dianggap sensitif.

***

Dalam materi yang dikeluarkan pada periode 1 Oktober sampai akhir November 1965, informasi mengenai situasi politik Indonesia selalu diletakkan di urutan pertama. Di awalnya selalu dipampangkan peta Indonesia. Di situ terdapat garis-garis hitam, menggambarkan lokasi komando daerah militer di seluruh Indonesia. Setrip-setrip itu diduga disajikan untuk memberikan gambaran kepada Presiden Lyndon B. Johnson tentang distribusi kekuatan militer di Indonesia.

Pada 1 Oktober, sehari sesudah pembunuhan para jenderal, para agen menyampaikan informasi kepada Presiden Johnson bahwa komunis Indonesia ada kemungkinan menyiapkan bentrok melawan tentara. Di situ ditulis, semua bergantung pada kondisi Presiden Sukarno. Jika Sukarno mati atau terluka serius, perang saudara tak bisa dicegah. Keesokan harinya, pada 2 Oktober, CIA memberikan info bahwa konsulat Amerika di Medan melaporkan tentara telah bersiap menggelar operasi pembersihan komunis.

Pada 4 Oktober, CIA menginformasikan kepada Presiden bahwa sejumlah lingkaran jenderal Angkatan Darat percaya itu saatnya menggulung komunis. Hari berikutnya, disampaikan siaran radio Jakarta yang menyebutkan 300 orang komunis dikumpulkan militer. Setelah informasi itu, alinea berikutnya diputihkan. Pada 6 Oktober, CIA menginformasikan selebaran ganyang komunis di Jakarta banyak beredar di Jakarta.

Pada 7 Oktober, CIA memasok info kepada Presiden Lyndon B. Johnson bahwa pemakaman Ade Irma Suryani, putri Jenderal A.H. Nasution, berhasil membangkitkan amarah kaum muslim, yang diperkirakan akan melakukan kekerasan terhadap kalangan kiri. Esoknya, CIA menyebutkan gerakan antikomunis mulai membakar kantor-kantor dan rumah anggota PKI. Kepada Presiden Johnson, hari itu CIA melaporkan bahwa semua jenderal di Indonesia sepakat menunjuk Jenderal Soeharto sebagai pemimpin operasi menumpas PKI.

Selanjutnya, pada 12 Oktober, CIA mem-briefing Presiden Johnson bahwa kantor pusat Gerwani diserang. Kolonel Untung juga ditangkap. Setelah keterangan pencidukan Untung, alinea berikutnya kosong. Pada 14 Oktober, CIA memberitahukan informasi bahwa Aidit tertangkap. Di Jakarta juga terjadi penyerangan terhadap Universitas Res Publica, yang pro-Peking, untuk membangkitkan gerakan anti-Cina. Pada 18 Oktober, CIA melaporkan otoritas militer di Jakarta mengumumkan pembekuan Partai Komunis Indonesia di Jakarta dan onderbouw-onderbouw-nya. Esok harinya, tertulis kelompok muslim di Sumatera Utara mulai membersihkan komunis. Disebutkan, tentara berada di belakang kelompok itu.

Pada 21 Oktober, CIA memberi tahu Presiden Lyndon B. Johnson bahwa penangkapan-penangkapan dan sweeping terhadap para anggota komunis makin hebat di Jakarta. Sejak 21 sampai 26 Oktober, CIA terus melaporkan perkembangan penangkapan anggota PKI oleh tentara. Pada 27 Oktober, CIA menginformasikan, untuk penumpasan PKI di Jawa Tengah, tentara telah mengirim pasukan dari Jakarta dan menggalang kekuatan di Jawa Tengah. Pada 28 Oktober, CIA menyampaikan kepada Presiden Johnson bahwa Sukarno dalam pidatonya masih berusaha membela PKI. Pada 29 Oktober, CIA melaporkan, Kedutaan Amerika di Jakarta mengabarkan bahwa situasi keamanan Indonesia makin buruk. Di Jawa Tengah, diperkirakan ketegangan akan terus meningkat.

***

Secara umum tidak ada informasi yang secara tegas menunjukkan keterlibatan CIA, termasuk memberikan pendanaan, dalam operasi penumpasan PKI. Namun dokumen itu memberikan gambaran kepada Presiden Johnson bahwa dari hari ke hari, posisi komunis Indonesia semakin lemah. Pesannya jelas: angin politik berada di pihak tentara.

Bahkan, pada laporan 24 November, CIA menginformasikan sikap Adam Malik yang menyetujui operasi-operasi militer terhadap komunis. Adam Malik disebutkan melihat Jenderal Nasution cenderung menunggu terlalu lama. Laporan CIA mengenai sikap Adam Malik ini bisa jadi berhubungan dengan cerita Robert J. Martens mengenai daftar tokoh PKI yang dibuatnya. Menurut dia, daftar itu pernah diserahkan kepada seorang kepercayaan Adam Malik.

Bukan tidak mungkin, setelah membaca laporan CIA, Presiden Johnson memutuskan membantu Angkatan Darat. Beberapa buku menyebutkan, pada 1965, Angkatan Darat meminta bantuan obat, peralatan komunikasi, dan senjata ringan kepada Kedutaan Amerika di Jakarta. "Mereka memang minta peralatan komunikasi dan AS memberikannya. Tapi kami tidak memberikan senjata ringan atau senjata jenis apa pun. Semua peralatan komunikasi dikirim ke Jenderal Soeharto lewat atase militer," kata Bernardo Hugh Tovar ketika diwawancarai Tempo.

Pengamat militer Indonesia, Ulf Sundhaussen, dalam satu tulisannya menyebutkan Angkatan Darat membagi-bagikan senjata kepada mahasiswa dan anggota serikat pekerja muslim. Alat-alat komunikasi yang dipasok CIA digunakan untuk mengkoordinasi komando daerah militer di seluruh Indonesia. Penulis lain menyatakan, pada November 1965, Amerika mengirim bantuan obat-obatan dengan jumlah yang sangat besar. Sesuatu yang aneh karena di Indonesia tidak terjadi bencana alam. Bantuan itu diperkirakan hanya kamuflase untuk pengiriman senjata.

Ulf Sundhaussen juga pernah menyatakan pasukan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo yang bergerak ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali bisa jadi disponsori CIA. Pasukan itu di Jawa Tengah melakukan pelatihan terhadap orang sipil yang diambil dari banyak kelompok organisasi atau mahasiswa. Tempo mendapat kesaksian dari seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang pernah dilatih markas Resimen Para Komando di Batujajar, Bandung. Dia mengaku bersama ribuan pemuda lain dididik untuk berani membunuh anggota PKI. Ketika diwawancarai, ia berdalih bahwa ketika itu dalam suasana perang. Ia menyatakan tak menyesal terlibat pembunuhan anggota PKI karena menganggapnya sebagai bela negara.

Edisi ini juga ingin melacak adakah kemungkinan bantuan negara lain untuk Angkatan Darat, seperti Inggris dan Australia. Sebab, kantor CIA di Singapura juga bersatu dengan markas intelijen Inggris. Temuan baru bahkan menunjukkan ada pejabat Jepang yang ikut mendistribusikan dana untuk penumpasan PKI.

Pembaca, pada setiap akhir September, kami menerbitkan edisi sejarah yang berhubungan dengan peristiwa G-30-S. Pada tahun-tahun sebelumnya, pusatnya adalah tokoh seperti Aidit, Njoto, juga Sarwo Edhie Wibowo. Kali ini, kami menulis teka-teki keterlibatan intelijen asing pada bagian paling kelam dalam sejarah Indonesia itu.

Selamat membaca.


Tim Liputan Khusus 1965
Penanggung Jawab: Seno Joko Suyono Pimpinan Proyek: Kurniawan, Dody Hidayat, Philipus Parera, Agustina Widiarsi Penyunting: Kurniawan, Dody Hidayat, Philipus Parera, Agustina Widiarsi, Seno Joko Suyono, Budi Setyarso Penulis: Seno Joko Suyono, Kurniawan, Dody Hidayat, Agus Supriyanto, Sunudyantoro, Nurdin Kalim, Abdul Manan, Pramono, Maria Rita Hasugian, Heru Triyono, Rina Widiastuti, I Wayan Agus Purnomo, Penyumbang Bahan: Natalia Santi (Jakarta), Hari Tri Wasono (Blitar), David Priyasidharta (Lumajang), Pito Agustin Rudiana, Shinta Maharani (Yogyakarta), Edi Faisol (Salatiga), Ahmad Rafiq (Boyolali), Ika Ningtyas (Banyuwangi), Rumbadi Dale (Singapura) Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Foto: Ratih Purnama, Ijar Karim Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Kendra Paramita, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus