Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Guy Pauker dan Para Cendekiawan Itu

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada tamu penting yang datang ke kantor RAND Corporation di Santa Monica, California, Amerika Serikat, pada 1962. RAND adalah lembaga pemikiran nirlaba yang didirikan Douglas Aircraft Company pada 1946 dan dikelola oleh Komandan Angkatan Udara H.H. "Hap" Arnold.

Tamu itu adalah Kolonel Soewarto, Wakil Komandan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Lulusan pusat pelatihan militer Fort Leavenworth, Amerika Serikat, itu datang atas undangan Guy Jean Pauker, ahli Asia Tenggara di RAND, penasihat Dewan Keamanan Nasional Amerika (NSC), dan konsultan CIA.

Selain belajar banyak hal tentang masalah internasional di RAND, Soewarto melihat bagaimana RAND menghimpun akademikus Negeri Abang Sam sebagai konsultan. Menurut Pauker, Soewarto kemudian punya gagasan baru ketika pulang ke Bandung. Intinya, para intelektual, baik Amerika maupun Indonesia, yang antikiri mengajar di Seskoad dan menjadi penasihat sipil tingkat tinggi bagi Tentara Nasional Indonesia.

Peran Pauker di Indonesia itu disampaikan oleh William Bradley Horton, guru besar madya tamu di Waseda University, dalam simposium tentang Peristiwa 1965 di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, pertengahan September lalu. Pauker beberapa kali datang ke Indonesia dan menjalin hubungan dengan TNI. Secara rutin pakar politik yang antikomunis ini menulis kajian tentang Indonesia, yang menjadi bacaan bagi Dewan Keamanan Nasional Amerika, Kementerian Pertahanan Amerika, Kementerian Luar Negeri Amerika, dan Presiden Amerika.

Pauker menulis sejumlah kajian mengenai Indonesia. Dia menerbitkan, antara lain, makalah "The Indonesian Doctrine of Territorial Warfare and Territorial Management" pada 1963, yang menggambarkan doktrin baru TNI, doktrin perang wilayah, dan pembinaan wilayah. Pengamatannya terhadap Partai Komunis Indonesia melahirkan, misalnya, Recent Communist Tactics in Indonesia pada 1960 dan Communist Prospects in Indonesia pada 1964. Menurut Horton, Pauker mampu menggambarkan profil PKI secara lengkap, baik tokoh, struktur, ideologi, maupun strategi partai itu. "Catatan Pauker tentang PKI selama 1960-1964, detailnya sangat mengesankan. Dia benar-benar mengerti PKI," kata Horton.

Horton selanjutnya melihat peran Pauker sangat besar dalam melawan sarjana Amerika lain yang cenderung berpihak ke kaum kiri. Pada 1966, Benedict Anderson dan Ruth McVey dari Modern Indonesia Project, misalnya, menulis makalah "A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia", yang dikenal sebagai Cornell Paper. Makalah itu menyimpulkan bahwa kudeta pada 30 September bukan didalangi oleh PKI seperti dikatakan TNI, melainkan lebih merupakan masalah internal angkatan bersenjata.

Tatkala pada 1967 Soewarto mampir ke RAND lagi, Pauker membicarakan soal Cornell Paper. Pauker menyarankan Soewarto menulis buku berbahasa Inggris untuk menangkisnya. Soewarto kemudian mengirim Brigadir Jenderal Nugroho Notosusanto, pemimpin Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, dan Letnan Kolonel Ismail Saleh, jaksa mahkamah militer luar biasa yang mengadili tersangka G-30-S, ke Amerika untuk menemui Pauker. Dengan bantuan Pauker, Nugroho dan Ismail menulis The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia (1968), yang menggambarkan PKI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat sebagai pelaku kudeta.

Cendekiawan terkenal lain yang terkait dengan Pauker adalah Clifford Geertz, antropolog University of Chicago, yang terkenal berkat adikaryanya, The Religion of Java (1960). Geertz, sebelum 1966, banyak meneliti dan menerbitkan buku berkat dana Ford Foundation dan diatur sebagai bagian dari proyek Massachusetts Institute of Technology yang banyak melibatkan Pauker. Salah satu tesis utama Geertz dalam The Religion of Java adalah bahwa masyarakat Jawa terbelah menjadi tiga golongan, yakni abangan, santri, dan priayi.

Horton, dalam simposium di LIPI itu, melihat pengelompokan masyarakat oleh Geertz ini lalu digunakan sebagai cara melihat peta politik pada 1965. Abangan diasosiasikan dengan PKI, santri dengan kelompok Islam, dan priayi adalah Sukarno. Dengan bantuan dana yang besar, buku Geertz kemudian diedarkan luas di kalangan TNI. "Semua orang militer pada waktu itu membaca Religion of Java," tutur Horton. Dan, "Konsep santri-abangan-priayi justru dipakai tentara untuk mengidentifikasi masyarakat."

Adakah Geertz tahu bahwa tesis antropologinya malah dipakai untuk hal politik semacam itu? "Geertz kecewa tulisannya dipakai untuk itu," kata Horton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus