Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Jendela di Tepi Donau

Di kawasan Mexicoplatz di pinggiran timur Wina, sebuah gereja Katolik menyediakan tempatnya untuk ibadah bermacam agama.

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misa petang masih tiga jam lagi, tapi Gereja Santo Fransiskus Asisi di Mexicoplatz sudah dipadati jemaat. Hari itu Sabtu, 5 Agustus 2012. Romo Hans Monteiro, pastor pendamping di paroki itu, mengajak Tempo masuk ke gereja yang padat oleh umat: suatu kontras dari apa yang kerap kita baca tentang gereja-gereja Eropa yang kian melompong dari tahun ke tahun. Penuhnya umat hari itu sudah mirip gereja-gereja di Flores, Nusa Tenggara Timur, atau pada misa-misa akhir pekan di Jakarta.

Di altar, paduan suara melagukan nyanyian dalam bahasa yang ”aneh”—bukan dari rumpun bahasa Eropa. Sepasang pengantin menerima berkat imam, lalu menjura ke arah hadirin, disambut tepuk tangan bertalu-talu. ”Ini misa perkawinan ala Gereja Suriah Ortodoks (Syrisch-Ortodoxe Trauung),” Hans menjelaskan. Seorang nenek amat sepuh, entah berapa dekade usianya, menghapus air mata—agaknya terharu—sembari dibujuk-bujuk oleh anak keturunannya yang berjejer sebelah-menyebelah.

Sudah enam tahun ini Gereja Asisi membuka pintunya bagi gereja-gereja Kristen lain—bahkan umat agama lain—yang ingin meminjam tempat ibadat. Hans, 41 tahun, imam asal Indonesia yang sedang mengambil studi doktorat teologi di Universitas Wina, menjelaskan parokinya punya sekitar sembilan ribu orang. ”Tapi gereja hanya penuh pada Natal dan Paskah,” katany a. Mario Maggi OSST, 79 tahun, pastor kepala, sedang mudik musim panas ke Italia tatkala Tempo berkunjung. ”Pastor Maggi mengatur agar gereja ini bisa digunakan umat agama lain, walau mulanya ada tentangan dari warga paroki,” kata Hans.

Apa yang terjadi di Mexicoplatz adalah satu contoh dari tren besar yang tengah melanda Austria, dan mungkin negeri-negeri Eropa lain. Gedung gereja butuh biaya pemeliharaan besar. Pada musim dingin, misalnya, semua bangku umat harus diberi pemanas agar orang tidak beku kedinginan. Maka berkembanglah tren, setidaknya di Wina, berbagi tempat ibadat dengan jemaat dari gereja lain sekalian ­mengurun biaya pemeliharaan.

Kami bercakap-cakap di dalam dapur pastoran di samping gereja. Rosemaria Cauder, 71 tahun, tukang masak merangkap juru bebersih—yang sudah 35 tahun di situ—menyeduh teh untuk kami bertiga. Dia mengeluarkan potongan sosis, menyiapkan keju dan pasta. Sudah hampir pukul 16.30. Sembari menyiapkan makan malam bagi enam rohaniwan di rumah itu, dia menyambar sehelai kertas, lalu menyodorkannya kepada Tempo. Di kertas itu tertulis jadwal-jadwal ibadat bagi umat Paroki Asisi, serta beberapa gereja non-Katolik.

”Saya ini orang kuno, jadi jujur saja, awalnya sulit saya menerima gereja kami digunakan oleh jemaat lain,” ujarnya. Angin berembus dari Sungai Donau. Pemandangan bukan main indahnya dari jendela dapur itu. ”Ya, ya, saya menyaksikan banyak hal datang dan pergi dari jendela itu,” ujar Maria sembari tertawa, seakan-akan dia menebak isi kepala saya. ”Tiga generasi sudah lewat sejak saya kanak-kanak, menikah, membaptis anak-anak, dan membesarkan mereka di seputar gereja kami,” dia menambahkan.

Alhasil, tatkala empat tahun lalu tiga agama merayakan ibadat di gereja tersebut, ibu dua anak itu mengaku sudah tak terlalu kaget. Hans bergabung ke dapur dan meneruskan cerita itu. Tersebutlah, empat tahun lalu, di suatu malam musim panas, Gereja Asisi dipadati 500-an orang. Umat tiga agama, Katolik, Islam, dan Judaisme, datang menghadiri pembacaan kitab suci mereka. Pembacaan dilakukan dalam bahasa Jerman, Arab, dan Ibrani. ”Ini langkah amat baru, yang mungkin di Indonesia dan sejumlah negara lain belum bisa dilaksanakan,” ujar Hans.

Tapi Austria, kata pastor Indonesia itu, adalah negeri multikultur, dengan sejumlah organisasi multikultur yang percaya betul bahwa mengenal kemajemukan keyakinan adalah cara meluaskan toleransi. ”Setidaknya,” kata Hans, ”ada peluang yang dibukakan secara luas bagi generasi muda untuk saling menerima.”

Hermien Y. Kleden (Wina, Austria)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus