Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berthold Damshauser
Sebagai dosen bijaksana, saya suka sekali kalau mahasiswa banyak bertanya. Sebab, melalui bertanya-tanya, mereka akan berkembang menjadi ilmuwan sejati. Maka saya suka mengadakan "diskusi bebas", dengan mengizinkan mahasiswa menyampaikan pertanyaan ataupun gagasan apa pun. Diskusi yang terjadi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn itu, seperti biasa, saya tuliskan di sini.
"Pak," seorang mahasiswi memulai, "saya ingin bertolak dari pembicaraan Bapak dengan Sutan Takdir Alisjahbana (almarhum). Saat itu Bapak bercerita kepada kami, Bapak mendiskusikan perihal bahasa dan filsafat dengan ahli bahasa dan budayawan Indonesia terkemuka itu yang sepertinya banyak merenungi jiwa alias hakikat bahasa Indonesia. Bapak mengutip Takdir yang mengatakan bahwa berfilsafat dalam bahasa Indonesia akan membuka kemungkinan untuk menghasilkan gagasan atau ide yang sublim dan canggih. Apakah pernyataan Takdir ini bisa dikaitkan dengan pemikiran Humboldt?"
"Hmm," saya mendehem penuh wibawa. Padahal saya ragu sekaligus mencari waktu untuk memikirkan jawabannya. "Wilhelm von Humboldt (1767-1835) memang seorang filsuf bahasa. Jelas ada kaitan antara dia dan Indonesia, karena Humboldt adalah penulis buku Mengenai Bahasa Kawi di Pulau Jawa, termasuk Pengantar mengenai Perbedaan Sistem Bahasa-bahasa Sedunia dan Dampak Perbedaan itu terhadap Perkembangan Intelektual Bangsa-bangsa."
"Itu saya tahu," komentar mahasiswi tak sabar, "tolong dong kaitkan dengan pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana itu."
"Andai terkaitkan, tentu akan saya kaitkan," jawab saya bergurau sambil membungkus rasa bingung yang mulai menerpa saya.
"Mungkin saya bisa membantu Bapak," terdengar sebuah suara cerdas dari arah kanan. "Rekan saya kiranya bertolak dari pernyataan Humboldt, bahwa ‘bahasa adalah alat untuk berpikir’. Ia berpandangan bahwa tiap bahasa mendeterminasikan cara kita menginterpretasikan dunia. Ludwig Wittgenstein, juga seorang filsuf bahasa, bahkan mengatakan bahwa manusia tak sanggup berpikir di luar bahasanya. Maka pemikiran selalu sepadan dengan struktur bahasa yang digunakan, dan ini…."
"Iya, saya juga tahu," ujar saya, berupaya meraih kembali kendali kuliah ini, "dan semua itu berpuncak pada Hipotesis Sapir-Whorf. Kedua linguis Amerika itu mengatakan bahwa pikiran tertentu dalam bahasa tertentu bahkan tak mungkin dipahami oleh orang yang tidak menguasai bahasa itu. Bagi saya, semua ini tak masuk akal!"
"Tapi, Pak," tegur suara lain, "sebenarnya penelitian terbaru telah membuktikan kaitan antara struktur bahasa dan cara berpikir. Mari kita secara serius merenungkan cara berpikir yang dideterminasikan oleh bahasa Indonesia, sebuah bahasa yang tidak mengenal tenses, tidak memaksa penutur untuk membedakan antara definite dan indefinite, juga tidak membedakan antara tunggal dan jamak. Maka, kalimat ‘ibu datang’, misalnya, cukup banyak padanannya dalam bahasa-bahasa Eropa. Misalnya: The/a woman/women come/came/will come/would come...."
"Ya, memang," terdengar suara lain lagi, "ketaksaan demikian yang sangat mewarnai bahasa Indonesia. Tapi, untuk kembali kepada Sutan Takdir Alisjahbana, apa kiranya dampak bertutur secara taksa atau ambigu itu atas cara berpikir atau berfilosofi dalam bahasa Indonesia?"
"Tak terkaitkan, tak terjawabkan!" kata saya dengan setegas mungkin. "Pak, jangan terlalu cepat menyerah! Mungkin kita perlu sedikit berspekulasi. Misalnya perihal kala. Ahli fisika mengatakan bahwa beralirnya kala cuma sebuah kesan yang ditimbulkan oleh bahasa, tak ada cara untuk menggambarkannya melalui formula matematika atau fisika. Nah, bahasa Indonesia sepertinya lebih terbuka untuk melihat fenomena kala tanpa prasangka, agak hati-hati atau luwes membahasakan keadaan yang disangka."
"Ini memang spekulatif, tapi menarik," kata mahasiswa lain, "barangkali justru ketaksaan bahasa Indonesia memungkinkan interpretasi dunia yang tidak atomistis, tapi holistis. Ini pandangan dunia yang berseberangan dengan yang dihasilkan penutur-penutur bahasa Eropa yang oleh struktur bahasanya selalu terpaksa berpikir eksplisit sehingga akhirnya cuma melihat pohon-pohon, tak sanggup lagi melihat hutan. Tentu ini bisa dianggap kurang tepat, juga kurang sublim. Barangkali Sutan Takdir Alisjahbana berpikir ke arah itu."
Saya merasa sudah saatnya untuk menutup diskusi tak subur ini: "Kita ini ilmuwan, bukan spekulan. Sutan Takdir Alisjahbana pun tipe ahli bahasa yang terlalu filosofis. Idenya terlalu banyak, terlalu kreatif. Mungkin juga terlalu banyak merenung. Zaman sekarang orang Indonesia yang ahli bahasa lebih realistis, tak buang waktu untuk menemukan jiwa, hakikat, atau apa pun namanya dari bahasa nasional. Sebaiknya kita bercontoh kepada mereka. Minggu depan kita urus lagi imbuhan -i dan -kan, kemudian menghitung lagi jumlah bahasa daerah di wilayah RI."
*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia, Universitas Bonn; Pemimpin Redaksi Orientierungen; dan redaktur Jurnal Sajak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo